Kios Dieksekusi PN Besok, 5 PKL Tapa Pepe di Depan Keraton Yogya

Kios Dieksekusi PN Besok, 5 PKL Tapa Pepe di Depan Keraton Yogya

Pradito Rida Pertana - detikNews
Senin, 11 Nov 2019 16:44 WIB
Lima PKL Jalan Brigjen Katamso tapa pepe di depan Bangsal Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (11/11/2019). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom
Yogyakarta - Lima orang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Brigjen Katamso, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta melakukan tapa pepe di depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal itu karena kios tempat berjualan mereka akan dieksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Selasa (12/11) besok.

Pantauan detikcom, kelima PKL mengenakan pakaian adat Jawa berjalan dari utara menuju ke depan pintu gerbang Bangsal Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sesampainya di depan gerbang tersebut, kelimanya langsung duduk bersila menghadap Keraton.

Seorang PKL yang tapa pepe, Sugiyadi (53), mengatakan bahwa ia dan keempat rekannya melakukan tapa pepe untuk bertemu Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Mereka ingin mengadu kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ya maunya kita menghadap Sultan (HB X), agar sithik edhing (kesediaan untuk berbagi rasa dan ruang) untuk menempatinya, menempati lokasi itu (yang mau digusur besok pagi)," ujarnya di sela tapa pepe, Senin (11/11/2019).


Sugiyadi mengaku ia sudah menempati lahan yang akan dieksekusi, yakni di pinggir Jalan Brigjen Katamso, sekitar 20 tahun untuk berjualan bakmi.

"Terus mau mengadu ke Sultan, bagaimana pendapat Sultan kalau rakyatnya yang kecil ini mau digusur (besok), gimana solusinya," ucap Sugiyadi.

Tempat Jualan Akan Dieksekusi, 5 PKL Tapa Pepe di Depan Keraton YogyaPKL Jalan Brigjen Katamso juga membawa poster dalam tapa pepe di depan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (11/11/2019). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Sedangkan keempat rekannya, yakni Sutinah dan Budiono berjualan minuman saat siang hari. Selanjutnya Agung membuka jasa perbaikan kunci saat siang hari, lalu Suwarni yang berjualan minuman di sampingnya saat malam hari.

"Karena tidak ada mata pencaharian yang lain mas, hanya ada itu (lapak jualan di pinggir Jalan Brigjen Katamso) dan itu juga peninggalan orang tua," katanya.

Sugiyadi menjelaskan bahwa para PKL terlibat kasus hukum perdata dengan pemilik surat kekancingan bernama Eka Aryawan. Di mana Eka menginginkan tanah kekancingan di depan rukonya bersih dari PKL karena hendak dibangun akses jalan menuju garasi.

"Tahun 2010 itu kita mengajukan surat kekancingan (ke Panitikismo), tapi bilangnya sudah tutup. Tapi dari pihak yang menggugat (Eka) itu tahun 2012 kekancingan keluar. Terus waktu itu (PKL) dipanggil ke Keraton sampai 3 kali, 3 kali kami datang tapi dari pihak Eka tidak datang," katanya.

"Lha terus bilangnya dari Keraton, itu nanti kalau tidak mau datang, surat kekancingan yang 73 meter persegi itu (milik Eka) maunya sudah tidak bisa diperpanjang, dari Keraton gitu bilangnya," ucapnya.


Tempat Jualan Akan Dieksekusi, 5 PKL Tapa Pepe di Depan Keraton YogyaLima PKL Jalan Brigjen Katamso tapa pepe di depan Bangsal Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Senin (11/11/2019). Foto: Pradito Rida Pertana/detikcom

Tak berhenti di situ saja, tahun 2015 ia dan 4 rekannya digugat oleh Eka. Ia dan rekannya pun kembali menggugat hingga ke Mahkamah Agung karena kalah dalam persidangan.

"(Menggugat) karena lokasinya hanya tinggal 28 meter persegi, sisanya sudah dipotong karena terkena kekancingan tadi. Saya juga sudah menempati di luar tanah kekancingan, terus kesepakatannya boleh jualan di luar tanah kekancingan," jelasnya.

Kuasa hukum PKL dari LBH Yogyakarta, Budi Hermawan, mengatakan bahwa para PKL sudah berjualan di pinggir Jalan Brigjen Katamso sejak tahun 1960. Saat itu Sri Sultan HB IX yang mengizinkan para PKL untuk berjualan di lokasi tersebut.

"Mereka (5 PKL) memang tidak punya surat kekancingan maupun tanda bukti, tapi mereka membayar pajak dan punya tanda bukti SPPT. Artinya penguasaan tanah di sana pun dipungut pajak oleh negara, sebagaimana mereka yang menikmati atas hak tanahnya berkewajiban untuk bayar pajak dan itu selalu ditaati," kata Budi.

"Artinya bukan hal yang liar pendudukan di sana (pinggir Jalan Brigjen Katamso). Apalagi tahun 2010 mereka sudah berinisiatif mengajukan kekancingan ke Panitikismo, tapi hal itu tidak didapatkan, ditolak saat itu karena penerbitan kekancingan sedang dihentikan, tapi kok (tahun) 2011 pihak Eka dapat kekancingan di atas tanah yang diduduki (PKL) seluas 73 meter persegi," sambung Budi.


Selanjutnya, LBH mulai mendampingi para PKL saat digugat Eka pada tahun 2015. Di mana gugatan itu meminta para PKL yang menempati tanah kekancingan untuk mengosongkan tanah dan membayar ganti rugi Rp 1 miliar.

"Kita berjuang sampai tahapan kasasi, putusan kasasi turun 2018 dan akhir 2018 ada penetapan eksekusi, lalu baru akhir 2019 baru pelaksanaan eksekusi, kan rentang waktu cukup lama, ada apa ini," ucapnya.

"Dan menurut kami tidak ada pertanyaan hakim yang menyatakan bahwa 23 meter persegi yang ditempati PKL adalah bagian dari 73 kekancingan Eka, artinya (para PKL) tetap di luar sesuai dengan perjanjian dan kalau mau dieksekusi apa yang mau dieksekusi," imbuh Budi.


Karena itu, ia mendampingi para PKL untuk meminta kebijaksanaan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat selaku pihak yang melakukan penguasaan atas tanah yang ditempati kelima PKL.

Halaman 2 dari 3
(rih/rih)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads