Boyolali - Ribuan warga mengikuti tradisi Saparan atau sebaran apem di kawasan wisata religi Pengging, Banyudono,
Boyolali hari ini. Mereka ngalap berkah dengan berebut puluhan ribu apem yang disebarkan dalam tradisi ini.
Ada dua lokasi sebaran apem yakni di depan masjid Cipto Mulyo dan di Jalan Ngaru-aru, Sawit, pojok selatan bekas Pasar Candi, Pengging.
"Ada kurang lebih 33 ribu apem yang dipersembahkan dari seluruh desa di Kecamatan Banyudono," kata Siswanto Hadiningrat, tokoh masyarakat Pengging, di sela-sela acara tradisi, Jumat (25/10/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terik panas matahari tak menyurutkan niat ribuan warga yang menunggu berlangsungnya tradisi Saparan, di Boyolali. Mereka berteduh, seperti di bawah pohon maupun di emperan-emperan toko.
 Tradisi Saparan di Pengging, Banyudono, Boyolali. Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom |
Acara dimulai sekitar pukul 14.30 WIB. Diawali dengan prosesi acara di Pendopo kantor Kecamatan Banyudono lalu berlanjut kirab budaya menuju ke kawasan obyek wisata Pengging. Ada dua gunungan besar apem biasa dan apem kukus keong emas.
Begitu kirab dimulai, warga langsung berdiri di pinggir-pinggir jalan, menyaksikan iringan-iringan pawai gunungan apem.
Ada dua panggung yang disediakan panitia untuk membagi-bagikan sekitar 30.000 apem tersebut. Yaitu di jalan pojok selatan Pasar Pengging dan di pertigaan jalan depan masjid Cipto Mulyo.
Sesampainya di panggung, gunungan itu pun langsung dinaikkan ke panggung tinggi. Sedikit dibacakan harapan-harapan dari tradisi ini, puluhan ribu apem itu pun langsung dibagi-bagikan kepada masyarakat dengan cara disebar.
 Tradisi Saparan di Pengging, Banyudono, Boyolali. Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom |
"Semoga membawa kemakmuran dan segera turun hujan."
Warga yang sudah menunggu dibawa panggung pun langsung menengadahkan tangan untuk menangkap apem-apem itu. Bahkan, ada yang menggunakan payung dibalik untuk menangkap apem.
Lebih lanjut, Siswanto Hadiningrat, menjelaskan tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Sapar atau satu pekan setelah Saparan di Jatinom, Klaten.
"Tradisi sebaran apem kukus keong emas dimulai sejak Raden Ngabei Yosodipuro pada tahun 1566. Raden Ngabei Yosodipuro seorang pujangga keraton dan ulama besar saat itu," kata Siswanto.
Awal mula tradisi ini, lanjutnya, diawali ketika terjadi pagebluk, tanaman padi diserang hama kong emas di daerah Pengging. Kemudian, Raden Ngabei Yosodipuro, pada zaman pemerintahan Pakubuwono II Keraton Surakarta memerintahkan agar keong emas itu diambil dan dimasak dengan cara dikukus dan dibalut menggunakan janur.
Akhirnya, hama keong emas dan tikus itu bisa hilang dan panen rakyat melimpah. Sebagai rasa syukur, kemudian Raden Ngabei Yosodipuro memerintahkan kepada warga membuat apem kukus keong emas untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat luas. Tradisi itu akhirnya berlanjut sampai sekarang ini.
 Tradisi Saparan di Pengging, Banyudono, Boyolali. Foto: Ragil Ajiyanto/detikcom |
Asisten I Setda Boyolali, Totok Eko YP, mengatakan tradisi ini sudah turun temurun dilaksanakan setiap tahun dan semakin meriah dengan dukungan positif dari masyarakat Pengging dan sekitarnya. Pihaknya juga berharap tradisi ini bisa meningkatkan kunjungan wisata di Pengging.
"Tradisi ini perlu terus dilestarikan untuk mendorong kemajuan wisata Pengging. Kegiatan ini juga turut memberikan hiburan bagi masyarakat," katanya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini