Tiga Faktor Penyebab Bencana Alam di Garut

Tiga Faktor Penyebab Bencana Alam di Garut

Hakim Ghani - detikNews
Sabtu, 04 Des 2021 15:50 WIB
Kondisi bantaran sungai yang hancur akibat banjir bandang di Kampung Cilowa, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (28/11/2021). Hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur Kabupaten Garut menyebabkan sungai Citameng meluap dan menerjang dua kecamatan yaitu Karang Tengah dan Sukawening. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/nym.
Dampak banjir bandang di Garut, beberapa waktu lalu. (Foto: ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI)
Garut -

Bencana alam jadi agenda rutin tahunan di Kabupaten Garut. Kala musim hujan datang, banjir, longsor dan pergerakan tanah jadi langganan. Lantas, mau sampai kapan warga Garut menderita karena bencana?

Bencana alam mungkin sudah tak asing di benak warga Garut, karena terus-menerus berulang. Di tahun ini, beberapa kali bencana alam terjadi. Yang teranyar, banjir bandang di Kecamatan Sukawening dan Karangtengah. Lebih dari 307 rumah penduduk di sana jadi korban akibat banjir bandang yang dipicu meluapnya Sungai Ciloa itu.

Berdasarkan Indeks Risiko Bencana tahun 2020 yang diterbitkan BNPB menyatakan, Garut sebagai daerah yang memiliki risiko bencana tertinggi ke 14 secara nasional dan kedua di bawah Cianjur di Jabar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas kenapa bencana alam bisa rawan sekali terjadi di Garut? Kepala Pusat Pengurangan Risiko Bencana Universitas Garut Yaman Suryaman mengatakan ada tiga faktor utama yang menyebabkan bencana alam kerap terjadi.

Pertama karena faktor alam. La Nina yang kini sedang melanda membuat perubahan cuaca ekstrem yang berdampak pada bencana alam.

ADVERTISEMENT

"Ada tiga aspek yang saya lihat. Pertama, perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim ini yang sedang kita hadapi sekarang adalah La Nina, cuaca ekstrem dengan intensitas air hujan tinggi sehingga mengakibatkan dampak bencana di kita," ujar Yaman kepada detikcom, Sabtu (4/12/2021).

Yaman mengatakan faktor alam memang tidak bisa dipungkiri. Namun, hal tersebut bukan satu-satunya penyebab. Ada faktor lain yang menyebabkan bencana jadi marak terjadi, yaitu perubahan tata guna lahan. Salah satunya adalah alih fungsi.

"Saya lihat bahwa perubahan tata guna lahan di Garut dimulai dari tahun 1998 yang paling masif itu. Dimulai dari sejak program KUT (Kredit Usaha Tani). Sejak itu, perambahan hutan semakin masif, sehingga resapan air di hulu-hulu sungai itu semakin kurang," kata pria yang meraih gelar doktor di bidang manajemen kebencanaan di University of Liverpool, Inggris tersebut.

Banjir bandang yang terjadi Sukaresmi dan Karangtengah akhir November lalu diduga kuat disebabkan alih fungsi lahan yang terjadi di hulu Sungai Ciloa.

Masyarakat di sana heran lantaran mengaku tak pernah merasakan bencana sebesar itu, setidaknya dalam 40 tahun terakhir. Hal itu diungkap Wakil Gubernur Jawa Barat UU Ruzhanul Ulum yang datang ke lokasi bencana Minggu (28/11).

"Baru kali ini. Bahkan ada masyarakat bilang, sudah 46 tahun, baru ada banjir," kata Uu dikutip detikcom dari keterangan pers yang dirilis Humas Pemda Garut.

Meskipun begitu, Pemda menyatakan masih mengevaluasi penyebab banjir bandang itu. Namun, Wakil Bupati Helmi Budiman tak memungkiri kurangnya tegakan yang notabene pilar utama penahan air di hulu Sungai Ciloa.

"Untuk alih fungsi ini akan dievaluasi. Tapi, secara kasat mata, kita menyimpulkan harus banyak tegakan lagi. Pak Wagub sudah menginstruksikan kepada dinasnya, Dinas Kehutanan bersama Kabupaten Garut memperbanyak tegakan," kata Helmi.

Selain dua faktor di atas, kondisi itu diperparah dengan tidak jelasnya blueprint kebencanaan Kabupaten Garut. Pemda Garut dinilai terlalu fokus pada penanggulangan dan melewatkan pentingnya fase pra-bencana.

"Bahkan di Garut, hari ini SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) belum jalan. Padahal itu amanat Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019. Sampai hari ini saya belum melihat bahwa satuan pendidikan aman bencana berjalan," ujar Kepala Pusat Pengurangan Risiko Bencana Universitas Garut Yaman Suryaman.

Lantas bisa kah warga Garut terlepas dari bencana alam yang jadi agenda rutin? Bisa kah dampak bencana alam diminimalisir?

Yaman menyarankan agar Pemkab Garut membuat blueprint yang jelas terkait Kajian Risiko Bencana (KRB) beserta dengan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk setiap jenis bencana. Sebab, kata Yaman, KRB dan RPB ini merupakan amanat Undang-Undang.

Selain itu, Yaman menyarankan agar peran dan fungsi BPBD dalam fase pra-bencana diperkuat, dengan melaksanakan mitigasi dan kesiapsiagaan yang terstruktur agar dampak bencana bisa diminimalisir jika tidak bisa dihindari.

"Yang urgent hari ini, buat lah blueprint tentang kebencanaan di Garut khususnya pembuatan kajian resiko bencana dan rencana penanggulangan nya untuk berbagai macam jenis bencana agar diketahui siapa melakukan apa pada tiap tahapan manajemen bencana. Itu yang paling urgent," tutur Yaman.

Halaman 2 dari 2
(bbn/bbn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads