Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Hidayah memproduksi lampu ekonomis yang ramah lingkungan. Ribuan bola lampu berkekuatan tenaga surya itu pun telah menerangi daerah-daerah pelosok di Indonesia yang belum tersentuh aliran listrik PLN.
Wajah Ponpes Darul Hidayah tak jauh berbeda dengan ponpes-ponpes lainnya. Aktivitas belajar dan rutinitas santri mewarnai keseharian pondok yang terletak di tengah-tengah gang padat penduduk yang terletak di Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung itu.
Namun, bila kita lihat lebih dalam ternyata ada ruang workshop lampu-lampu 'ajaib' di ponpes tersebut. Di ruangan mungil seluas kurang lebih 4x3 meter itu, terlihat dua orang santri tengah memproduksi lampu Limar, atau singkatan dari lampu mandiri rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tangan santri-santri itu terlihat terampil saat menyolder komponen lampu. Usai kelistrikan rampung, tugas selanjutnya memasang dudukan lampu dan kaca bias. Langkah terakhir adalah menguji kualitas dari lampu tersebut sebelum memasukkannya ke dalam dus.
Di dalam dus itu, terdapat lima lampu Limar yang dilengkapi dengan stop kontak dan bermeter-meter kabel. Limar ini dipasarkan satu paket dengan panel surya sebesar berkemampuan 20 WP.
![]() |
Instalasinya pun sederhana, panel surya mengonversi listrik yang kemudian disimpan ke aki, lalu lampu Limar mengambil daya dari aki yang telah terisi listrik tersebut. Metode ini diklaim efektif dan ekonomis untuk memberikan penerangan bagi daerah-daerah terpencil.
Meski diproduksi pesantren, lampu Limar ini bisa bertahan hingga pemakaian lebih dari 10 tahun. Lampu Limar tetap bisa menyala, meski panel surya tak bisa menangkap terang matahari secara optimal karena misal cuaca mendung. Meski memiliki daya 1,5 watt, tetapi terang dari lampu Limar ini seperti bola lampu 10 watt.
Bermula dari Rasa Sayang kepada Ibu
Sekretaris I Yayasan Pondok Pesantren Terpadu Darul Hidayah, Ridwan Hidayat, mengatakan gagasan lampu Limar ini datang dari seorang inventor dan pengajar bernama Ujang Koswara pada 2008, tepatnya saat konversi minyak tanah ke gas dilakukan secara masif.
Menurut Ridwan, ketika itu Uko --sapaan Ujang-- melihat ibunya kesulitan mencari sumber penerangan. Pasalnya, sehari-harinya ibu dari Uko yang tinggal di Pakenjeng, Garut, mengandalkan cempor atau lampu teplok yang berbahan minyak tanah.
"Ketika itu ibunya kang Uko bilang kenapa harga minyak tanah mahal, ibu gimana. Akhirnya karena rasa sayang beliau kepada ibunya, akhirnya Kang Uko mencari solusi untuk ibunya. Awalnya berawal dari ketidaksengajaan, jadi terinspirasi saat melihat lampu LED dari ponsel yang dayanya dari baterai," ujar Ridwan yang juga bagian dari tim produksi lampu Limar.
![]() |
Produk awal pun dirampungkan, semula lampu Limar masih bertenaga genset. Warga pun urunan membeli bensin atau solar untuk mengisi daya genset, yang isinya disalurkan kepada lampu Limar.
Melihat masih ada warga yang masih diselimuti gelap kala malam, Uko pun mendirikan Yayasan Pilar Peradaban. Kemudian, pada 2015, Ponpes Darul Hidayah dilibatkan untuk memproduksi lampu Limar. Misinya tetap sama, yakni memberi penerangan pada warga di pelosok negeri.
Libatkan Tenaga Santri
Mengusung misi mulia, tenaga santri pun diserahkan untuk memproduksi lampu Limar. Terhitung, ada kurang lebih 20 santri yang terlibat dalam produksi lampu Limar ini. Ridwan menegaskan santri menjadi lebih produktif. Hal itu juga sesuai dengan arahan Ketua Yayasan H Asep.
"Karena santri itu kebiasaan siangnya kalau enggak ada tugas ya tidur. Jadi bagaimana kalau selain menimba ilmu agama, juga punya bekal dalam kehidupan. Akhirnya dibuka produksi Limar," kata Ridwan.
Ia mengatakan, workshop produksi Limar ini dibentuk dalam konsep ekstrakurikuler sehingga tidak ada paksaan bagi santri untuk terjun memproduksi. Walau demikian, ekstrakurikuler ini diminati karena santri juga bisa dapat uang saku dari hasil keringatnya.
"Awalnya ada beberapa santri yang pegang solder itu takut, tapi setelah mengikuti ekskul ini, ada barang elektronik yang rusak mereka jadi berani dan bisa memperbaiki," ujar Ridwan.
![]() |
Seiring dengan berjalannya waktu, rupanya ada keluhan terkait penggunaan genset untuk Limar. Pasalnya, distribusi tenaga listrik dari genset untuk lampu menemui kendala di jarak. Kejadian itu terjadi di Cianjur Selatan.
"Rumah di pelosok itu kan ada yang jarak antarsatu rumah dengan satu rumah lainnya itu beratus-ratus meter, ini juga jadi kendala. Akhirnya, kang Uko pernah memasang solar panel di Karawang. Pada 2018 kita mulai geser ke solar panel, jangan sampai membebani masyarakat juga," ujar Ridwan.
Dalam satu bulan, rata-rata 100 paket Lampu Limar berhasil diproduksi atau dengan kata lain sekitar 500 bola lampu Limar.
Berbagi Terang Bersama TNI ke Pelosok Negeri
Harga produksi dari satu paket lampu Limar plus solar panel ini bisa memakan biaya hingga Rp 2 juta. Sebab itu, pihaknya menggandeng pihak-pihak lain yaitu TNI dan CSR perusahaan untuk berbagi terang dengan warga di pelosok.
"Kita bekerja sama dengan TNI juga, karena memang TNI mereka lebih tahu daerah mana yang sangat memerlukan penerangan dan belum teraliri PLN," ucap Ridwan.
"Untuk komersial ke warga sih kita tidak ya, karena untuk ke masyarakat (pengguna), kita gratiskan melalui CSR seperti dari bank BJB dan Telkom. Kemudian juga pernah dengan perusahaan swasta di Kalimantan Timur, kerja sama dengan Pemprov Jabar, kemudian dengan perusahaan di Papua, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra," tutur Ridwan.
![]() |
Sejauh ini, menurut Ridwan, pihaknya belum membuka pemesanan lampu Limar kepada khalayak umum via online. Pasalnya, lampu-lampu ini memang sengaja ditujukan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan penerangan dan wilayahnya belum dipasok PLN.
"Melihat dari demografis, masih banyak daerah yang sulit mendapatkan listrik, karena PLN ketika memasang jaringan listrik ke suatu wilayah pasti memikirkan biaya juga. Tidak mungkin kan kalau hanya lima kepala keluarga kemudian dipasang satu tiang," katanya.
"Saudara-saudara kita yang sudah mendapatkan Limar mereka mengaku bersyukur, karena malam anak mereka bisa mengaji dan waktu produktif orang tua juga bertambah. Sehingga mereka bisa membuat kerajinan untuk menambah penghasilan keluarga mereka," ujar Ridwan menambahkan.
Subsidi Santri Kurang Mampu
Penghasilan yang datang dari produksi lampu Limar ini, dijadikan subsidi silang untuk membiayai santri-santri dari kalangan tidak mampu. Sekitar 300 santri yang menimba ilmu di Ponpes Darul Hidayah.
Persentasenya 60 persen berasal dari kalangan yang mampu dan 40 persen berasal dari kalangan yang tidak mampu. "Ada anak jalanan juga, kita ajak ngaji di sini. Anak-anak itu kita bantu urus juga Kartu Indonesia Pintar (KIP), bebas uang bangunan. Untuk santri yang menginap, uang dari Limar kita belikan makanan," ucap Ridwan.
Azis Santoso (19), santri di Ponpes Darul Hidayah, mengaku merasakan manfaat dari ekstrakurikuler produksi Limar tersebut. Menurutnya, selain dibekali ilmu reparasi barang elektronika, dia juga bisa mendapatkan pengalaman ketika mengerjakan Limar ini.
"Manfaatnya yang asalnya jarang menggeluti dunia pelistrikan jadi bisa. Sejak ikut Limar diajak ke sana sini. Bisa ketemu Wali Kota Bandung Mang Oded. Memang awalnya itu kesulitan ya, karena komponen-komponennya kecil harus dijepit, takut kesolder, tapi setelah lama-lama jadi terbiasa dan akhirnya bisa memperbaiki dispenser yang rusak," tutur Azis.
Lampu Limar racikan Ponpes Darul Hidayah ini telah memenangkan penghargaan dari Pemprov Jawa Barat, yakni juara ketiga One Pesantren One Product (OPOP) pada 2019. Uang pembinaan pun digunakan untuk memperbarui peralatan produksi.