Pondok Pesantren At-Taubah Cianjur dikenal juga dengan sebutan Pesantren Lapas. Sebutan itu lantaran lokasi pesantrennya berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Cianjur.
Santrinya juga bukan masyarakat umum, melainkan para narapidana atau warga binaan yang menghuni penjara tersebut. Metode pesantren untuk pembinaan para narapidana ini mulai tercetus pada 2010. Pondok Pesantren At-Taubah baru resmi dibentuk pada 2012.
"Jadi awalnya hanya pembinaan setiap satu bulan. Tapi karena tidak mau terlalu ada jeda lama dalam pembinaan rohani, akhirnya resmi dibuat Ponpes pada 2012," ujar Pengelola Kepribadian Lapas Kelas II B Cianjur Edi Kuswandi, Kamis 21 Oktober 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan ponpes dan metode pendidikannya dicetuskan oleh Sahat Philip Parapat, kepala lapas Cianjur saat itu, yang beragama nasrani. "Melihat budaya Cianjur dengan kesantriannya, maka pak Philip mengagas pesantren tersebut. Lalu direspon positif oleh MUI Cianjur. Hingga akhirnya pak Philip bekerja sama dengan MUI untuk mendirikan ponpes dan menjalankan metode pesantren untuk membina tahanan," ucap Edi.
Sebuah kamar pun disulap menjadi ruang belajar. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, dibangun Masjid Jami At-Taubah sebagai sarana ibadah dan belajar bagi warga binaan.
"Ruang kelas ada, tepatnya di lantai dua bangunan lapas. Tapi terkadang para santri juga belajar secara mandiri di masjid. Biasanya setelah salat mereka mengaji dan saling mengajarkan tentang ilmu agama," tuturnya.
![]() |
Menurutnya, ada puluhan tenaga pengajar dari MUI Cianjur yang saling bergantian mengajar para narapidana di Lapas Cianjur. "Alhamdulillah banyak yang mau mengajar, dan mereka semangat untuk mendidik para warga binaan di sini," kata Edi.
Sembilan tahun berdiri, Ponpes Lapas Cianjur meninggalkan jejak baik. Banyak narapidana menjadi pribadi yang baik, bahkan ada yang menjadi ulama atau tokoh di kampung halamannya.
"Ada yang meneruskan ke pesantren lain, ada juga yang menjadi ulama atau tokoh agama. Alhamdulillah, pembinaan berbasis ponpes ini mengubah para narapidana menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat," tutur Edi.
Wakil Ketua MUI Cianjur Ahmad Yani mengatakan awalnya tidak mudah mencari tenaga pengajar untuk Ponpes Lapas Cianjur. Bahkan, saat mengajar pun penuh tantangan, mengingat yang dibina merupakan narapidana.
"Memang penuh tantangan. Beda jauh antara mengajar masyarakat umum di pondok biasa dengan di lapas. Tapi seiring perjalanan waktu, sudah ada metode khusus dan kini berjalan lancar," kata dia.
Puluhan tenaga pengajar pun dengan sukarela mengajar, meskipun insentif tidak besar. "Bahkan semuanya sudah setuju, kalaupun tidak dibayar akan tetap mengajar. Karena mereka mengajar karena Allah, mengajak para warga binaan untuk jadi pribadi yang baik dan mendalami ilmu agama," ucap Ahmad.
Tedi Ramdhani (29), narapidana Lapas Cianjur, mengaku terkejut saat pertama kali menjalani masa tahanannya di Lapas Cianjur. Pemikirannya Lapas akan seperti di film-film pun berbeda jauh dengan kondisi nyata di Lapas Cianjur.
"Saya kira lapas itu menyeramkan, tapi begitu masuk kok seperti bukan di Lapas, lebih seperti pondok pesantren," ucap Tedi.
![]() |
Pemuda berusia 29 tahun yang sudah lebih tiga tahun menjalani masa hukumannya, kini semakin aktif kegiatan di Ponpes Lapas Cianjur. Rencananya setelah bebas atau lima bulan bukan mendatang, ia akan meneruskan pendidikan ke pesantren di luar Lapas Cianjur. Dia mengejar cita-citanya menjadi guru ngaji.
"Sekarang mah ingin jadi guru ngaji. Tapi ingin memperdalam ilmu lagi setelah keluar dari lapas. Rencananya lanjut ke pesantren lain," ujar Tedi.
Baca juga: Cikal Bakal Tugu Santri di Karawang |