Hidup di pinggiran rel kereta api di Kota Cimahi menjadi pilihan banyak warga sejak lama. Meskipun tak ada catatan pasti kapan orang-orang mulai mendirikan hunian di sepanjang perlintasan kereta yang dibangun sejak zaman Belanda itu.
Hingga tahun 2021 tak ada lagi ruang kosong di sepanjang rel kereta api Kota Cimahi, mulai dari Cimindi yang memanjang terus ke arah barat hingga ke daerah Padasuka sebagai batas Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
Pemandangan aktivitas masyarakat yang memilih tinggal di zona bahaya itu sebetulnya tak jauh berbeda dengan yang memiliki hunian di kompleks mewah, maupun perkampungan biasa namun di daerah yang boleh dibilang jauh lebih normal dan aman ketimbang pinggiran rel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kadma Hidup Berdampingan dengan Rel Kereta |
Misalnya menjemur pakaian bahkan kasur dan bantal pun dilakukan warga yang tinggal di pinggiran rel. Bedanya mereka memilih menjemur benda-benda itu di halaman rumah yang berbatasan langsung dengan rel. Pastinya angin yang berhembus dari laju kereta yang melintas bakal menyapu jemuran hingga beterbangan.
Segelintir mereka yang tinggal di pinggiran rel ini asyik nongkrong di atas bantalan rel sambil mencicip jajanan. Ada juga yang bercengkerama di teras depan rumah yang jaraknya sangat dekat dengan rel.
Pemandangan seperti itu bisa dilihat di sepanjang kampung pinggir di kawasan Cigugur Tengah. Sebagian warga Kota Cimahi punya julukan khusus untuk wilayah itu, yakni 'Istana Sisi Rel'.
Para penghuni pinggir rel ini berdamai dengan lingkungan tempat tinggal yang membahayakan nyawa. Sebab, jika ceroboh saat menyeberangi rel atau duduk di pinggir rel ketika kereta hendak melintas, bukan tak mungkin bakal jatuh korban.
Segala opini tentang kehidupan masyarakat 'Penghuni Sisi Rel', tentunya juga perlu dibandingkan dengan pengakuan langsung dari pelakunya. Salah satunya Romli Hidayat (43), warga yang tinggal di pinggiran rel di Cigugur Tengah.
Pria yang hobi memelihara ayam jago itu sudah menghuni rumah di pinggir rel sejak tahun 1990 silam. Ia datang dari Kuningan untuk mengadu nasib di Kota Bandung. Namun nasib membawanya ke Cimahi yang bertetangga dengan Bandung. Kini ia menjadi pedagang pulsa dan kartu perdana untuk handphone.
"Yang penting usaha, daripada cuma diam. Tapi kalau saya di sini ngontrak, belum punya rumah sendiri," kata Romli saat ditemui di sela kegiatannya, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Balada Pengayuh Pedal Palang Pintu Manual |
Seperti biasa, setiap pagi ayah dua anak itu memiliki ritual memandikan dan menjemur ayam jagonya. Ada tiga, semuanya diperlakukan sama. Ritual itu dilakukan tepat di pinggir rel kereta api, tak takut tersambar karena ia mengklaim sudah tahu kereta melintas di jalur mana dengan melihat kedipan lampu.
"Kita juga kan jaraknya enggak terlalu dekat dengan rel, kalau ada kereta ya agak mundur jadi enggak akan tersambar. Di Cimahi dari dulu memang agak susah cari kontrakan murah, jadi dapatnya di sini (pinggir rel). Ya nyaman aja," cerita Romli.
Selama tinggal berdampingan dengan rel kereta api, ia tak banyak mengeluh. Syukur-syukur sudah punya tempat tinggal buat berteduh dari panas dan hujan. Meskipun suatu saat, ia ingin punya rumah sendiri di lingkungan permukiman yang lebih baik.
"Ya awal-awal kalau ada kereta kadang terganggu karena berisik, tapi lama-kelamaan ya terbiasa. Lagian kan lewatnya enggak sering, lebih berisik suara motor yang lewat jalan depan rumah," tutur Romli,
![]() |
Bahaya tinggal di pinggiran rel juga mengintai bocah-bocah yang tak punya lapangan bermain. Demi memuaskan hasrat mereka, tak jarang rel kereta api jadi tempat bermain. Misalnya saja Muhammad Ridwan, bocah 11 tahun yang gemar bermain layangan.
Ketiadaan tanah lapang di tempat tinggalnya, belum lagi kawasan permukiman yang rumahnya berdempetan satu sama lain membuat dirinya menantang maut dengan bermain layangan di tengah perlintasan kereta api.
Sambil menenteng gulungan nilon dan layangan yang diselempangkan di punggungnya, Ridwan bersama teman-teman seperjuangannya mulai berburu layangan yang putus setelah beradu dengan layangan lainnya. Jika hasil buruannya sudah banyak, barulah ia akan menerbangkan layangannya.
"Iya senang main layangan, setiap sore main layangan. Ya di sini (rel) mainnya, soalnya enggak ada lapangan," kata Ridwan.
Ridwan sadar bahaya mengintainya lantaran bermain di perlintasan kereta api. Apa lagi ia sering mendengar mitos jurig bonge yang kerap membuat orang yang berjalan di atas perlintasan kereta api tak mendengar dan tak menyadari datangnya kereta.
"Ya takut ketabrak, terus sering dengar cerita jurig bonge juga dari orang tua. Tapi ya kan sudah tahu kalau mau ada kereta. Dari jauh juga sudah kelihatan, jadi bisa minggir dari rel dulu," kata Ridwan keukeuh.
Dari beberapa obrolan dengan warga setempat, tak cuma anak-anak saja yang senang bermain layangan. Bahkan orangtua ada juga yang keranjingan melakoni permainan tradisional itu. Bedanya mereka menjadikan layangan sebagai hiburan dan ajang mencari peruntungan dengan berjudi.
Sayangnya sejak beberapa bulan lalu tak lagi terlihat adanya aktivitas tersebut. Entah karena pandemi COVID-19 yang melanda atau karena alasan lain. Sehingga pemain layangan kini hanya dilakoni bocah-bocah kecil.
Permukiman di pinggiran rel di Kota Cimahi kini kian padat. Bangunan-bangunan semi permanen hingga bertembok beton tak lagi bisa dibendung.
Tak ada sekat dan tidak ada jarak antarsatu bangunan dengan bangunan yang lain. Entah untuk rumah tinggal maupun untuk bangunan usaha. Menilik sejarah terbentuknya permukiman di pinggiran rel, pegiat sejarah di Kota Cimahi Machmud Mubarok mengatakan hal itu erat kaitannya dengan kedatangan kaum urban dari daerah-daerah di sekitar Cimahi.
Mereka mencoba mencari peruntungan di kota besar demi menunjang kehidupan. Lalu untuk memenuhi kebutuhan akan hunian, mereka merambah daerah-daerah kosong dan tak bertuan, memulainya dengan hunian sementara, kemudian semi permanen, hingga kemudian permanen.
"Kalau bangunan di sepanjang rel, zaman kemerdekaan sebetulnya enggak ada. Karena saya ada beberapa foto rel di Cimahi zaman dulu itu kosong. Tahun 1910 lalu 1949 kosong. Sepertinya mulai zaman orde baru, karena tahun 1970 itu perumahan militer di Cimahi (Sriwijaya) itu dibangun. Nah kemudian di pinggir relnya mulai bermunculan, jadi ada kemungkinan berkaitan dengan situ, yang membangunnya bilang itu bagian dari Sriwijaya padahal ya bukan," tutur Machmud.
"Sejak zaman belanda sebetulnya sudah ada aturan empat sampai enam meter di pinggir rel tidak boleh ada bangunan, kemudian diadopsi oleh kita. Entah bagaimana, satu-dua warga berani menempati lahan itu, tapi tidak ada penindakan dari pemerintah. Akhirnya yang lain menyusul. Nah ini akhirnya berlanjut, di sepanjang rel penuh bangunan, harusnya kan kosong," kata Machmud.
Sementara kaum urban yang disinyalir menjadi penghuni awal di sepanjang pinggiran rel di Cimahi juga awalnya tak membangun hunian secara permanen. Namun kehidupan yang membaik akhirnya membuat mereka berani melangkah maju memperbaiki 'istana sisi rel' mereka.
"Orang-orang yang datang dari kampung kan di sini belum juga dapat rumah. Akhirnya memilih tinggal di pinggir rel. Awalnya kan bangunan sementara, tapi kehidupannya membaik kemudian membangun sampai permanen," tuturnya.
Di balik nekatnya orang-orang membangun hunian di pinggir rel, Machmud justru menyoroti longgarnya pengawasan dari pemerintah saat itu yang mengadopsi sistem perkeretaapian Belanda, termasuk soal zona aman rel kereta api. "Persoalannya dibiarkan dan ada yang memungut pajaknya. Karena tidak mungkin mereka bisa aman kalau tidak ada yang membekengi. Jadi awalnya ya itu, ada satu yang dibiarkan dan diizinkan akhirnya yang lain menyusul," ucap Machmud.
Baca juga: Wow! Ahmad Dhani Mau Beli Persigar Garut? |
Membahas sedikit soal sejarah jalur kereta api di Cimahi, awalnya dibangun sebagai perpanjang jalur kereta dari Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur yang terlebih dahulu dibangun pada tahun 1881-1882. Kemudian diresmikan pada tahun 1884 setelah jalurnya diteruskan ke Bandung.
Jalur kereta dari Jakarta ke Bandung kemudian diteruskan ke arah selatan sampai ke Cilacap. Cimahi sendiri dulu hanya berfungsi sebagai halte, bukan stasiun. Namun kemudian pada tahun 1905, halte kereta api di Cimahi dipugar menjadi stasiun yang beroperasi hingga saat ini dengan mempertahankan arsitektur zaman dulu.