Tragedi Stasiun Haurpugur, Rancaekek, Kabupaten Bandung, tahun 1969 masih melekat di ingatan Endun Rukmana. Betapa tidak, ia harus merelakan satu kakinya akibat terlindas kereta api.
Endun yang kini berusia 67 tahun berjalan tergopoh dengan dibantu sebuah tongkat, kemudian mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumah yang hanya berjarak 10 meter dari rel kereta api.
Jauh mundur ke belakang di tahun 1969, di saat sistem pelayanan kereta api di Bandung tidak seperti sekarang. Para pedagang kaki lima hilir mudik di sekitaran Stasiun Haurpugur. Tidak terkecuali Endun. Sepulang sekolah ia pasti pergi ke stasiun.
Bukan untuk bermain, melainkan menjual rokok. Dengan menggunakan tas layaknya PKL, ia berkeliling menawarkan rokok yang dijualnya.
'Tut.. tut.. tut....'. Suara bising kereta dari arah Bandung sudah terdengar. Ia pun bergegas untuk menyebrangi rel kereta agar dapat berdiri dekat dengan pintu keluar kereta.
Saat akan melintasi rel, kakinya tersangkut pada sela-sela rel dan terjatuh cukup keras sehingga membuatnya tidak sadarkan diri.
Matanya mulai membuka setelah seharian tidak terbangun. Namun, ia sadar bahwa kasur yang ia sandari bukanlah kasur di kamarnya.
"Ini di rumah sakit," kata kakaknya yang menunggu sejak kemarin.
Ia tertuju pada sebuah selimut yang menyelimuti kakinya. Saat dibuka, kaki kanannya sudah tiada. Dan seketika itu pula ia tak sadarkan diri selama dua hari.
Sebuah kenyataan yang berat bagi seorang anak kecil yang kala itu masih berusia 15 tahun. Hidup dengan satu kaki.
Sudah satu tahun berlalu, ia masih juga mengurung diri di dalam rumah. Bahkan, dirinya tidak melanjutkan jenjang sekolahnya.
"Saya malu, karena kaki saya cuman satu," ucap Endun sembari menatap tajam keluar rumah mengingat masa kecilnya.
Kakaknya sering memberi semangat kepadanya agar ikut bermain bersama. Namun, ajakan itu tidak mempan membuatnya ingin keluar rumah.