Bandung -
Sastrawan Ajip Rosidi telah kembali ke haribaan Ilahi pada 29 Juli 2020. Walau begitu ada salah satu warisannya berupa perpustakaan di Jalan Garut, Kota Bandung. Perpustakaan ini merupakan salah satu yang dibangun Ajip di sela hidupnya, selain Perpustakaan Jati Niskala miliknya di Pabelan, Magelang.
Warisan itu berupa bangunan perpustakaan yang dinamai Perpustakaan Ajip Rosidi. Di sana tersimpan rapi kurang lebih 40.000 koleksi buku fiksi dan nonfiksi. Di antaranya adalah koleksi buku dan bahan literatur Kebudayaan Sunda, yang mencuatkan nama Ajip sebagai salah seorang budayawan sejati.
Di samping itu, ada juga buku-buku dalam bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Lampung, bahasa Batak, bahasa Banjar dan lain-lain. Karya-karya sastra terjemahan dalam bahasa Inggris dari berbagai bahasa lain seperti Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Swedia, Cekoslowakia, Turki, Cina, India, Arab, Eslandia dan lain-lain juga cukup banyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perpustakaan itu tak hanya menjadi tempat singgah bagi orang-orang yang haus akan bacaan, namun juga difungsikan sebagai sentral aktivitas Yayasan Pusat Studi Sunda di Jawa Barat.
"Pokoknya 'samakbrek', semua ada, walaupun banyak juga yang tidak ada," kata Ajip saat meresmikan perpustakaan tersebut 15 Agustus 2015 silam.
Ia akui, koleksi dari perpustakaannya itu berasal dari hibah dari keluarga almarhum Prof DR H Ayatrohaedi dan almarhum Prof DR H Edi Ekadjati. Ditambah dari buku hibah H Nani Widjaja (yang kemudian dipersuntingnya), yang berasal dari almarhum suaminya H. Misbach J, Biran. Belum lagi dari para penerbit buku yang juga turut menyumbang sejumlah judul.
Dalam harapannya, Ajip menginginkan agar perpustakaan yang dibangun dari hasil melelang lukisannya ini bisa dimanfaatkan, terutama oleh orang Bandung, teristimewa oleh urang Sunda. Di balik pembangunannya, Ajip menyebut sejumlah nama yang berjasa dalam kontribusinya membangun perpustakaan ini di antaranya pebisnis Arifin Panigoro dan mantan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar.
Ia cukup keras memberikan kritik soal minimnya orang Sunda yang suka membaca. Jangan sampai, perpustakaan yang telah Ajip bangun dari cucuran keringatnya ini dimanfaatkan oleh orang-orang asing yang sengaja datang dari luar negeri untuk meneliti Kebudayaan Sunda atau Indonesia.
"Anggapan bahwa orang Sunda kurang peranannya di lingkungan nasional diantaranya disebabkan karena orang Sunda kurang suka membaca. Mudah-mudahan sesudah tersedia bukunya, orang Sunda tidak kalah oleh orang lain. Insyaallah," ujar Ajip.
Di tengah pandemi COVID-19, Perpustakaan Ajip Rosidi tutup sementara. Ketika detikcom mengunjungi tempat itu belum lama ini, hanya ditemui Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage Dadan Sutisna dan sejumlah pria di pos keamanan.
"Ya mungkin sampai suasananya aman kembali, tapi masih bisa membaca di sini. Asal membuat janji dulu," kata Dadan.
Suasana Perpustakaan Ajip Rosidi yang berlokasi di Jalan Garut, Kota Bandung. (Foto: Yudha Maulana/detikcom) |
Dikumpulkan dari berbagai sumber, Ajip Rosidi mulai menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Jatiwangi (1950), lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri VIII Jakarta (1953) dan terakhir, Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956).
Meski tidak tamat sekolah menengah, namun dia dipercaya mengajar sebagai dosen di perguruan tinggi Indonesia, dan sejak 1967, juga mengajar di Jepang. Pada 31 Januari 2011, ia menerima gelar doktor honoris causa bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini