Kisah Veteran Korsel Jadi Tawanan Perang Korut Selama Setengah Abad

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 31 Jul 2023 11:36 WIB
Lee Dae-bong melarikan diri dari Korea Utara setelah setengah abad menjadi tawanan perang (BBC)
Jakarta -

Pada usia 92 tahun, Lee Dae-bong tak lagi menikmati momen ketika bangun dari tempat tidurnya. Dia telah menjalani hidup yang panjang. Ketika dia membetulkan piyamanya, terlihat ada tiga jari yang hilang di tangan kirinya.

Lee kehilangan jari-jarinya bukan karena perang, tetapi selama 54 tahun dia dipaksa bekerja di tambang batu bara Korea Utara.

Mantan tentara Korea Selatan itu ditangkap saat Perang Korea oleh pasukan China yang bersekutu dengan Korea Utara. Dia ditangkap pada 29 Juni 1953, tepat pada hari pertama pertempuran di Bukit Arrowhead dan kurang dari sebulan sebelum gencatan senjata mengakhiri pertempuran brutal yang telah berlangsung tiga tahun.

Semua prajurit, kecuali tiga orang dari peletonnya, tewas pada hari itu. Dia dan dua orang yang selamat lainnya diangkut ke sebuah kereta kargo. Mereka mengira akan pulang ke Korea Selatan, namun kereta ternyata berbelok ke Utara, ke tambang batu bara Aoji, di mana Lee akan menghabiskan sebagian besar hidupnya.

Keluarganya diberi tahu bahwa Lee terbunuh dalam pertempuran.

Sebanyak 50.000 hingga 80.000 tentara Korea Selatan diperkirakan ditawan di Korea Utara setelah Perang Korea diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata yang membagi semenanjung itu menjadi dua.

Tak ada perjanjian damai setelahnya, dan para tahanan pun tidak pernah dipulangkan. Lee adalah satu dari sedikit orang yang berhasil melarikan diri.

Getty ImagesHanya 80 dari puluhan ribu veteran Korea Selatan yang menjadi tawanan perang di Utara berhasil pulang ke Tanah Air mereka

Selama beberapa dekade, gencatan senjata secara umum dijalankan meski ada beberapa pertempuran kecil. Ini menjadi gencatan senjata terpanjang dalam sejarah.

Namun perdamaian yang tak kunjung tiba telah menimbulkan malapetaka bagi hidup Lee, sesama tahanan, serta keluarga mereka.

Menandai 70 tahun sejak perjanjian gencatan senjata ditandatangani, kisah mereka menjadi pengingat bahwa Perang Korea belum berakhir.

Pada tahun-tahun awal dia ditahan, Lee dipaksa bekerja selama seminggu di tambang batu bara, lalu seminggu berikutnya mempelajari ideologi Korea Utara.

Sampai pada 1956, gelar militer Lee dan tahanan lainnya dicabut. Mereka diminta menikah dan menyatu dengan masyarakat lokal.

Tetapi mereka dan keluarga baru mereka dianggap sebagai orang buangan dan berada di strata terendah dari kasta sosial Korea Utara yang ketat.

Baca juga:

Menggali batu bara hari demi hari selama lebih dari 50 tahun adalah pekerjaan yang menyiksa. Tetapi yang menjadi momok paling menakutkan adalah mengalami cedera hingga mati.

Suatu hari, tangannya tersangkut di mesin pengolah batu bara, tetapi kehilangan jari-jarinya tak seberapa dibandingkan menyaksikan teman-temannya tewas dalam serangkaian ledakan gas metana.

"Kami menghabiskan masa muda kami di tambang batu bara itu, ketakutan menunggu mati sia-sia yang bisa terjadi kapan saja, katanya.

"Saya sangat merindukan rumah dan keluarga saya. Bahkan binatang saja bisa kembali ke gua mereka ketika hampir mati.

Lee Dae-bong dipaksa bekerja di tambang batu bara Korea Utara dan kehilangan tiga jarinya (BBC)

Pada saat Korea Utara dan Selatan memperingati gencatan senjata, banyak tawanan perang dan keluarga mereka menyalahkan kedua belah pihak atas penderitaan yang mereka alami.

Sejumlah Presiden Korea Selatan telah bertemu dengan para pemimpin Korea Utara, namun memastikan kepulangan para tawanan perang tidak pernah masuk dalam agenda.

Setelah membebaskan hanya 8.000 tahanan, Korut enggan mengakui bahwa masih ada tawanan perang lainnya.

Pada pertempuan puncak Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-il pada tahun 2000, masalah ini bahkan tidak disinggung.

Pada saat itulah Lee Dae-bong kehilangan semua harapannya, dan menyadari bahwa satu-satunya cara dia bisa pulang adalah dengan melarikan diri.

Lee memulai pelariannya tiga hari setelah putra satu-satunya tewas dalam kecelakaan tambang, sedangkan istrinya juga sudah lama meninggal.

Saat itu dia berusia 77 tahun. Dia diam-diam menyeberangi air sungai setinggi lehernya menuju China.

Dia adalah salah satu dari 80 tahanan yang melarikan diri dan berhasil pulang ke Korea Selatan. Hanya 13 orang yang masih hidup.

Puluhan ribu tahanan lainnya dibiarkan binasa di tambang. Kalaupun ada yang masih hidup, jumlahnya hanya sedikit, meskipun anak-anak dari para tahanan perang ini masih ada.

Chae Ah-in, anak dari salah satu tawanan perang. Dia berhasil melarikan diri dari Korea Utara (BBC)

Chae Ah-in baru berusia enam tahun ketika ayahnya tewas dalam ledakan gas di tambang Korea Utara. Setelah itu, kakak perempuannya langsung ditugaskan untuk menggantikan ayahnya.

Chae yang masih sekolah, terus menerus dipukuli dan diintimidasi. Dia tidak mengerti mengapa keluarganya begitu dikutuk.

Baru setelah menguping bisikan saudari-saudarinya, dia mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang tentara Korea Selatan.

"Saya sempat membencinya untuk waktu yang lama, kenangnya ketika ditemui di rumahnya di pinggiran Kota Seoul, tempat dia tiba di Korsel pada 2010.

"Saya sangat menyalahkan ayah saya karena dia membuat kami semua menderita.

Pada usia 28 tahun, Chae memutuskan melarikan diri dari kehidupannya yang menyakitkan di Korea Utara.

Dia awalnya menyeberang di China dan sempat tinggal di sana selama 10 tahun. Begitu tiba di Korea Selatan, barulah dia menyadari bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan.

"Sekarang saya menghormatinya dan berusaha terus mengingatnya, kata Chae.

"Saya merasa berbeda dengan pembelot Korea Utara lainnya, karena saya bangga menjadi putri seorang veteran perang Korea Selatan.

Namun Chae tidak diakui oleh pemerintah Korea Selatan sebagai putri seorang veteran yang telah mengorbankan hidupnya demi negara.

Para tawanan perang yang tidak pernah pulang dianggap hilang, tewas, dan tidak dihormati sebagai pahlawan perang.

"Korea Selatan bertahan sampai hari ini berkat orang-orang seperti ayah saya, tetapi penderitaan kami masih belum terselesaikan," katanya, berharap dia dan ayahnya bisa diakui sebenar-benarnya.

Keluarga para tawanan perang telah bertahun-tahun menuntut agar anggota keluarga mereka dipulangkan dan diakui sebagai pahlawan perang (Getty Images)

Sekitar 280 anak tawanan perang berhasil melarikan diri dan berhasil tiba di Korea Selatan.

Son Myeong-hwa termasuk salah satunya. Dia adalah Ketua Asosiasi Keluarga Tawanan Perang Korea yang memperjuangkan hak mereka.

"Anak-anak tawanan perang menderita dalam pergaulan di Korea Utara, dan di sini di Korea Selatan kami tidak diakui. Kami ingin mendapat kehormatan yang sama seperti yang diterima keluarga veteran lainnya yang gugur, kata dia.

Pemerintah Korea Selatan mengatakan bahwa mereka tidak berencana mengubah klasifikasi veteran perang.

Ketika Lee Dae-bong berhasil pulang ke rumahnya, orang tua dan saudara laki-lakinya telah meninggal dunia. Korea Selatan telah berubah tanpa bisa dia kenali, namun adik perempuannya membawanya kembali ke rumah lamanya.

Lee mengenang bagaimana teman-temannya yang sekarat di Korea Utara memohon kepada anak-anak mereka untuk dikuburkan di kampung halaman mereka suatu hari nanti.

Keinginan itu belum bisa dikabulkan. Belum tercapainya perdamaian antara Korea Utara dan Selatan membuat keluarga-keluarga ini berjuang menemukan kedamaian masing-masing.

Baik Lee Dae-bong dan Chae Ah-in masih memimpikan Korea Utara dan Selatan dipersatukan kembali.

Chae ingin membawa jasad ayahnya untuk disemayamkan di Korea Selatan.

Bagi Korea Utara dan Korea Selatan, perdamaian dan reunifikasi baru sebatas tujuan yang dinyatakan secara resmi. Namun 70 tahun sejak gencatan senjata, mimpi itu justru terasa semakin jauh.




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork