Ilustrasi: Edi Wahyono
Sabtu, 23 April 2022Bagi para perantau, Lebaran menjadi momen yang dinanti untuk bisa bercengkrama dengan keluarga serta melepas rindu. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Reza Rahmadiansyah, perantau yang sudah meninggalkan kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah, selama lebih dari 12 tahun. Selama itu pula, tujuh kali sudah Reza absen dari ritual mudik.
“Gue nggak terlalu ngitungin. Kalau nggak salah, ya, udah sekitar tujuh kali nggak pulang kampung (ketika Lebaran), nih,” kata Reza saat dihubungi detikX beberapa waktu lalu.
Merasakan suasana Jakarta yang lengang karena ditinggal sebagian penghuninya mudik malah menjadi daya tarik tersendiri bagi Reza. Mungkin karena selama ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN di Jakarta, laki-laki berusia 34 tahun ini sulit menikmati waktu istirahatnya. Sehingga di saat hari libur Lebaran tiba, yang ia inginkan justru bersantai seharian di apartemen sewaannya atau mengunjungi tempat di ibu kota yang belum sempat ia datangi.
Malahan, Reza sangat menikmati Lebaran dua tahun belakangan ini di tengah pembatasan karena pandemi COVID-19. Reza tidak perlu keluar rumah sama sekali. “Buat gue Lebaran paling enjoyable itu dua tahun kemarin. Gue bener-bener nggak ke mana-mana, cuma ngendon di kamar aja. Emang dasar anaknya introvert juga kayaknya, jadi nggak terlalu suka ngumpul-ngumpul,” kata Reza.
Bagi anak kedua dari dua bersaudara ini, ritual mudik sangat merepotkan karena ia harus berjuang dan bermacet-macetan di jalan. Dia juga merasa tidak terlalu dekat dengan sanak saudaranya. Jika tidak mudik pun artinya menghemat biaya karena Reza tidak perlu keluar biaya amplop lebaran untuk keponakannya.
Baca Juga : Ambyar! Kala Harus Lebaran di Perantauan
Ilustrasi pemudik yang hendak naik kereta api di Jakarta
Foto: Aulia Risyda/detikcom
Baca Juga : Adu Cepat Memburu Karcis Mudik
“Saudara dari bapak gue terutama, ya, astaga banyak banget. Bapak gue 10 bersaudara jadi bayangin aja berapa banyak orang kalau lagi ngumpul. Mungkin karena gue jarang ketemu mereka, jadi gue-nya malah ngerasa asing,” ucap Reza. Apalagi Reza tak betah jika harus meladeni beragam pertanyaan dari paman dan bibi yang kepo perihal pekerjaan dan hubungan asmaranya.
Meski tak ikut dalam gelombang mudik, bukan berarti ia sama sekali tidak pulang kampung. Justru di lain waktu Reza sengaja mengambil cuti untuk bertemu keluarga ayah dan ibunya.“Biasanya gue pulang kalau bapak dan ibu gue ulang tahun. Justru gue ngerasa bisa lebih quality time sama keluarga kalau pulangnya nggak pas Lebaran. Lebih ada banyak waktu buat ngobrol sama bapak-ibu. Kalau lagi Lebaran, bapak sama ibu malah sibuk ngeladenin tamu,” katanya.
Ketimbang memaksa mudik dengan membeli tiket pesawat yang harganya sudah pasti selangit, Ersy Sukaesih memilih untuk tidak pulang kampung di hari Lebaran. Justru momen lebaran ia jadikan kesempatan untuk mengais rezeki lebih. Ersy bekerja di sebuah rumah di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia diberi tugas menemani sekaligus merawat seorang nenek yang tidak bisa berjalan dan hanya terbaring lemah di kasur.
Menjelang Lebaran, pemilik rumah selalu memberikan penawaran supaya Ersy tidak usah ikutan mudik. Sebagai imbalannya, ia diganjar upah hingga dua kali lipat. “Pulang kampung pas lebaran ongkosnya lebih mahal. Tapi saya di sini kalau nggak ikutan pulang malah dapat banyak duit, belum termasuk THR lagi. Siapa yang bisa nolak?” tawa Ersy yang berasal dari Probolinggo, Jawa Timur, ini.
Lagi pula, bagi ibu dua anak ini, yang terpenting dari Hari Raya Idul Fitri adalah silaturahmi. Dan bagi Ersy, silaturahmi tidak mesti dilakukan saat Lebaran saja. Jadi tidak perlu memaksakan pulang kampung. Sebagai gantinya, selama dua tahun belakangan ini, silaturahmi ia lakoni lewat video call.
Baca Juga : Seribu Cara Demi Bangku Kereta
Para pemudik di Terminal Pulau Gebang, Jakarta Timur
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Baca Juga : Parcel Dilarang Soeharto, Diborong SBY
Melewatkan Lebaran di tempat kerjanya juga tidak suram-suram amat. Meski sang pemilik rumah tidak merayakan Idul Fitri, di hari lebaran Ersy selalu dibuatkan ketupat sayur lengkap dengan opor ayam dan sambal goreng ati kesukaannya.“Ibunya (pemilik rumah) pengertian dan pinter masak lagi. Tau saya nggak bisa pulang, saya dibikinin ketupat. Padahal saya nggak pernah minta. Bikinannya juga nggak kalah sama yang di rumah saya,” kata Ersy.
Imam Sahat tidak sedih meski seumur hidupnya ia tidak pernah pulang kampung. Lebih tepatnya itu karena ia memang tidak memiliki kampung halaman. Sejak lahir sampai sekarang, ia tinggal dan bekerja di kota kelahirannya di Padang, Sumatera Barat. Rumah orang tuanya menjadi base camp tempat berkumpulnya para sanak saudara yang datang dari Jawa.
“Tidak mudik karena memang tidak punya kampung. Jadi tuan rumah karena ayah ibu sama-sama anak paling tua. Keluarga yang lain semua datang ke sini,” imbuh Imam.
Sebagai tuan rumah, tentu Imam harus melakukan persiapan Lebaran dengan lebih ekstra. Salah satunya dengan membantu meracik rendang resep milik ibunya. “Tangan pegal bikin rendang itu sampai 8 kg kita buat.” Di hari Lebaran, sehabis menuntaskan salat ied, Imam dan keluarganya melanjutkan ritual lebaran dengan halal bihalal ke lingkungan di sekitarnya. Berikut pula bersilaturahmi ke tetangga di ujung gang.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho