Gambang milik Kong Joksan masih berlaras pentatonik, sehingga alat itu berjenis ritmik. Tak lengkap jika alat musik ritmik tak mengiringi melodis ataupun nyanyian suara hati. Ketika itulah sambil Kong Joksan bercerita.
βDulu waktu zaman Pak Harto memang seni tradisional seperti ini sangat dihargai. Tapi etnis Tionghoa seperti kami biasanya dibatasi ekspresinya. Main gambang kromong ataupun tari cokek boleh, tapi main barongsai atau liong tidak boleh,β ungkap Kong Joksan diiringi merdu suara gambang di Jl. Kampung Melayu, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Senin (24/3/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka pun tak dibolehkan memakai nama dari bahasa Mandarin sehingga harus mengganti nama mereka.
βPadahal kalau dirunut lagi seni Tari Cokek dan Gambang Kromong itu asalnya dari Tiongkok. Waktu itu ketika pedagang asal sana pada kemari, seni ini diperkenalkan. Makanya di Gambang Kromong ada alat musik Tehyan, yang digesek. Lalu Tari Cokek juga asal katanya Cukian,β ucap Kong Joksan menerangkan.
βTapi setelah zaman Gus Dur itu kami boleh keluar bebas. Kami bebas berekspresi, tak ada diskriminasi. Tambah lagi musik tradisional juga masih sering tampil pas zaman itu,β kata Kong Joksan.
Terhenti sejenak Kong Joksan memainkan gambang berwarna merah yang tadi dia mainkan. Kemudian dia bertutur lirih soal kebudayaan tradisional yang kian terkikis zaman.
βZaman setelah Gus Dur itu makin dicuekin seni tradisional. Mungkin dipikirnya kalau seni itu bukan bagian dari pembangunan, jadi dikesampingkan. Apalagi zaman sekarang makin parah lagi, yang barat-barat terus yang main di mana-mana,β kata Kong Joksan.
Β
βPadahal kalau seni tradisional itu biasanya maknanya dalam, nggak dangkal kayak lagu-lagu zaman sekarang yang kebanyakan ini. Banyak pelajaran budi pekerti dari situ, jadi sudah seharusnya dibangkitkan lagi,β tutur dia yang mulai kembali memukulkan gambang merdu bertuliskan βNaga Jayaβ.
(bpn/trq)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini