Gunung Pandan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, menjadi sentra porang karena banyaknya petani yang berbudidaya tanaman tersebut. Di tempat itu petani punya resep jitu agar porang bisa dipanen selalu.
Tepatnya di Desa Sumberbendo Kecamatan Saradan, petani memiliki pola tanam yang berbeda hingga bisa panen setiap tahun. Ilmu panen porang ini diterapkan oleh salah seorang petani, Karno.
"Di desa sini (Sumberbendo) petani bisa panen setiap tahun dan alhamdulillah rutin itu," papar Karno kepada detikcom, Sabtu (22/2/2020).
Petani usia 40 tahun itu mengaku memang memiliki pola tanam yang berbeda dengan Paidi yang pernah berguru kepadanya. Paidi sendiri memiliki pola tanam yang baru bisa dipanen dua tahun dengan gulutan teratur dengan bibit umbi
"Kalau di sana (Paidi) mungkin secara teratur penanaman dengan gulutan dengan bibit dari umbi. Kalau di sini (desa Sumberbendo) secara alami tumbuhnya masih liar," kata Karno.
Dikatakan Karno, petani di Desa Sumberbendo tidak pernah membuat pembibit khusus, melainkan biji katak yang tumbuh di daun akan jatuh ke tanah. Setelah jatuh ke tanah, lanjut Karno, petani tidak mengambil biji itu melainkan dibiarkan tumbuh hingga tiga sampai 4 tahun.
'Jadi kalau desa sini kan sudah bertahun tahun jadi skala panen sudah setiap tahun. Tapi kalau baru tanam di lahan kosong ya memang butuh lama juga bisa sampai tiga tahun akan besar umbinya," kata Karno.
Diungkapkan Karno, dibutuhkan waktu dua tahun untuk bisa memanen porang secara berurutan menurut usia porang yang siap panen. Pada umumnya petani sudah hafal, dari ukuran batang pohon yang paling besar dan layu saat musim kemarau menjadi incaran petani untuk dipanen duluan.
"Biasanya sudah hafal petani mana porang yang sudah waktunya panen diambil umbinya dan yang belum waktunya ditinggal. Saat musim kemarau itulah biasanya paling sibuk petani banyak yang ke hutan untuk memanen," ungkap Karno.
Karno menambahkan dengan sistem pola tanamnya itu, petani lebih ringan daripada pola tanam secara teratur membuat gulutan. Dalam perawatan juga terbilang sangat mudah, karena petani di Gunung Pandan tidak pernah melakukan pemupukan kimia.
![]() |
Baca juga: Bupati Madiun Promosi Porang di Amerika |
"Menurut petani lebih praktis dan yang utama tidak pernah pemupukan kimia. Karena sudah ada pupuk kompos nya dari dedaunan pohon hutan," tutur Karno sambil menunjukkan dedaunan yang membusuk dan jadi pupuk kompos.
Dalam setiap hektarnya, Karno mengaku standar hasil panen mencapai 15 hingga 20 ton Porang basah. Dari hasil panen itu dijual oleh petani dengan harga kisaran Rp 6 ribu hingga 12 ribu tergantung kadar rendemennya air.
"Standarnya setiap hektar itu hanya 15 sampai 20 ton hasil porang setiap tahunnya. Untuk harga juga tergantung kadar rendemennya air, semakin kering semakin mahal," tandasnya.