Dalam persidangan terungkap pencabulan terhadap korban rata-rata berusia 10 tahun dilakukan terdakwa di dalam ruang kelas di depan para siswa.
"Dari kesaksian korban yah, itu mereka dipanggil ke depan satu-satu, lalu disuruh buka rok. Ada yang hanya dipegang, tapi ada satu yang mengaku sampai dibegitukan. Ironisnya ini dilakukan di ruang kelas di depan murid lain," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Maros, Mona Lasisca, Rabu (22/01/2020).
Terdakwa sebagai wali kelas memanfaatkan kewenangan untuk mengatur ruangan secara leluasa. Saat ia mencabuli korban, meski di dalam kelas, tetap saja tidak bisa dilihat langsung oleh murid lain karena terhalang meja yang ditata olehnya. Untuk memuluskan aksinya, terdakwa mengancam korban akan memberi nilai jelek hingga tidak naik kelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pidana tambahan di Undang-undang baru itukan sudah berlaku kebiri kimia. Itu bisa. Selain ancaman penjara 15 tahun maksimal, itu ada juga tambahan sepertiga karena posisinya sebagai pendidik," terangnya.
Kasus pencabulan ini diperkirakan terjadi pada Agustus 2018 dan mulai ditangani oleh penyidik Polres Maros pada pertengahan tahun 2019. Meski sudah jadi tersangka kala itu, oknum guru bejat itu tidak ditahan dan masih tetap mengajar. Kasus ini juga tidak pernah dirilis oleh polisi.
Sidang kasus pencabulan itu telah digelar selama 8 kali dan telah masuk pada pemeriksaan ahli. Namun, ahli yang dipanggil selama 2 kali ke pengadilan itu tidak pernah hadir. Dijadwalkan, saksi itu pun akan dipanggil paksa oleh pihak JPU.
"Awal sidang itu Desember 2019 dan sudah 8 kali digelar. Saat ini masuk ke tahap keterangan ahli dari dokter Rumah Sakit Umum Daerah Salewangan. Cuman sudah dua kali dipanggil tidak hadir, jadi akan kami panggil paksa," kata Mona.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini