Pihaknya kaget karena mengetahui peraturan itu setelah viral. Menurutnya, peraturan itu jelas diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2017.
"Ya, kalau kita kan kembali ke aturan aja kan Mas. Jadi di dalam Perda kan jelas mengatur terkait dengan dana swadaya masyarakat. Jadi itu memang diawali mufakatnya warga kemudian diajukan ke lurah untuk dievaluasi. Tentu saja mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warga setempat kan. Itu belum ada tahap sampai ke situ (evaluasi lurah)," ujar Harun, Selasa (21/1/2020).
Sedangkan terkait penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi, Harun menyesalkannya. Menurutnya itu karena ketidaktahuan warga. Tidak tahu kalau istilah tersebut sudah tak diperbolehkan.
"Kalau itu kemungkinan, kalau menurut saya cuma membedakan penduduk asli yang di situ dan pendatang. Cuman salah menggunakan istilah. Mereka enggak tahu kalau pribumi secara aturan kan sudah tidak diperbolehkan," jelas Harun.
Meski begitu ia menilai, nominal iuran untuk nonpribumi yang tercantum dalam surat edaran terbilang wajar. Terlebih di situ ada iuran untuk keamanan dan kebersihan.
"Ya kalau saya sih berkaca di kampung saya. Iuran yang lazim itu kan iuran keamanan dan kebersihan. Itu saja. Angkanya pun wajar-wajar saja," lanjut Harun.
Namun yang membuat ia merasa heran yakni soal adanya peraturan yang membedakan antara warga asli dan pendatang. Serta jumlah nominal yang membedakan.
"Di aturan itu tadi, kalau kita kembali ke Perda, ya jelas kalau bicara aturan seharusnya tidak boleh dibedakan. Jadi, di Perda itu ada pasal yang bunyinya pendapatan lain yang sah tapi tidak mengikat," pungkasnya.
Soal surat edaran yang viral itu juga sudah sampai ke telinga Pemkot Surabaya. Pemkot akan melakukan klarifikasi terlebih dahulu mengenai surat edaran RW tersebut.
"Cuma saya harus klarifikasi dulu kepada RW-nya, seperti apa sih sebenarnya yang dimaksud itu," kata Kepala BPB Linmas Kota Surabaya Eddy Christijanto kepada wartawan di kantornya, Jalan Jaksa Agung Suprapto.
Halaman 2 dari 2