"Kengototan KPU yang terlihat sejak Pemilu 2019 lalu untuk melarang mantan napi koruptor dicalonkan baik sebagai calon legislatif maupun kini sebagai calon kepala daerah akhirnya kandas. KPU rupanya 'angkat tangan' dengan 'misi mulia' tersebut," kata peneliti dari Formappi, Lucius Karus, kepada wartawan, Sabtu (7/12/2019).
Lucius mengkritik KPU yang menjadi akomodatif terhadap pelaku korupsi. Dia menilai gejala ini juga dialami lembaga-lembaga di Indonesia.
"Semangat membara untuk terus menunjukkan 'perang total terhadap korupsi' tampak luntur di mana-mana setelah UU KPK berhasil dipreteli DPR dan pemerintah di penghujung periode yang lalu," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lihat saja, PKPU larangan mantan napi koruptor tak didukung secara nyata oleh elite politik, grasi terhadap koruptor diberikan, diskon masa hukuman oleh MA dalam beberapa kasus korupsi, dan lain-lain. Nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kita tengah memasuki era korupsi yang mewabah lagi," ungkapnya.
Padahal, menurutnya, harapan terhadap KPU begitu besar. Sebab, KPU juga pada Pemilu 2019 sangat vokal untuk menolak eks koruptor untuk maju ke pileg ataupun pilkada.
![]() |
Simak Video "KPU Tunggu Putusan MK Soal Larangan Eks Koruptor Maju Pilkada 2020"
"Ketiadaan respons DPR dan pemerintah itu nampaknya berarti bahwa mereka keberatan dengan larangan tersebut atau bisa juga tak peduli dengan larangan itu. Karena itu sangat bisa dipahami sikap terakhir KPU yang menyerah dengan misi melarang mantan napi sebagai calon kepala daerah," kata dia.
Menurutnya, pencegahan eks koruptor untuk terlibat pilkada dan pileg harus ada komitmen dari DPR, pemerintah, dan partai politik. Lucius menilai ketika pihak tersebut cenderung pasif terhadap usulan KPU.
"Maka tak mengherankan jika akhirnya KPU mengurungkan langkah lanjutan mereka melarang mantan napi koruptor. Toh, selain menghabiskan energi, jaminan larangan ini akan benar-benar diakomodasi juga sangat kecil karena kekuatan berpengaruh lain seperti DPR, parpol, calon yang berkepentingan dan pengadilan justru cenderung akan tak berpihak. Maka mungkin momentum KPU menyerah lebih awal bisa dibaca dalam konteks itu sekaligus demi memastikan kerja-kerja lain KPU bisa berjalan demi suksesnya penyelenggaraan pilkada," urai Lucius.
Diberitakan sebelumnya, KPU akhirnya menerbitkan PKPU tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020. Dalam PKPU itu, mantan terpidana korupsi tak dilarang maju di Pilkada 2020.
Dilihat detikcom, Jumat (6/12/2019), PKPU itu tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU itu ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi. Isi Pasal 4 ayat H tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya, yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017, yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini