Ortu vs Gonzaga soal Siswa Tinggal Kelas Gegara Sejarah

Round-Up

Ortu vs Gonzaga soal Siswa Tinggal Kelas Gegara Sejarah

Tim detikcom - detikNews
Senin, 04 Nov 2019 21:31 WIB
Foto ilustrasi: SMA Gonzaga
Jakarta - Yustina Supatmi menggugat SMA Kolese Gonzaga, Jakarta Selatan, yang tak meluluskan anaknya ke bangku kelas 12. Kini terjawab sudah penyebab siswa itu tidak naik kelas, yakni pelajaran sejarah.

Yustina menggugat Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga Pater Paulus Andri Astanto, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum Himawan Santanu, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Gerardus Hadian Panomokta dan guru Sosiologi Kelas XI Agus Dewa Irianto. Turut tergugat, yakni Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta.



Karena merasa dirugikan, Yustina meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 51.683.000 dan ganti rugi immateril sebesar Rp 500.000.000, total sekitar Rp 551 juta. Selain itu, Yustina juga menuntut gedung SMA yang beralamat di Jalan Pejaten Barat, Pasar Minggu itu disita. Ini tercantum dalam petitum gugatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedianya, sidang lanjutan gugatan itu akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Senin (4/11/2019) tadi. Namun, hakim memutuskan sidang itu ditunda karena surat kuasa pihak turut tergugat belum lengkap.



Pengacara Yustina, Susanto Utama, meminta agar pengadilan mengabulkan permintaannya. Susanto mengatakan inti gugatannya meminta agar keputusan pihak sekolah tidak menaikan kelas anak Yustina dinilai cacat hukum.

"Ya harapannya bahwa si anak ini dinyatakan memenuhi syarat untuk naik kelas dan pihak sekolah mau mengakui bahwa keputusannya yang menyebabkan si anak tidak naik kelas ini keliru," ujar Susanto, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pengacara SMA Kolese Gonzaga, Edi Danggur, menilai sebetulnya kasus tersebut sudah selesai karena pihak sekolah sudah mensosialisasikan kepada para siswa. Ada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam proses belajar mengajar. Bila seorang siswa tidak bisa melampaui nilai KKM, maka siswa itu tidak akan naik kelas.

"Kalau dari pihak sekolah, masalah ini sudah selesai. Aturan main dalam proses belajar mengajar sudah ditentukan dan sudah disosialisasikan kepada orang tua murid, dan juga kepada siswa itu sendiri. Jadi ada yang namannya KKM atau KBM, kalau mata pelajaran peminatan itu tidak tuntas, maka siswa tersebut tidak bisa naik kelas," kata Edi, di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (3/11/2019).

Selain itu, menurut Edi, si anak juga sudah pindah sekolah supaya tidak tinggal kelas. Jadi, masalah sudah selesai di mata pengacara SMA Kolese Gonzaga.


Masalah nilai sejarah

Nilai anak Yustina yang tak melampaui nilai KKM adalah pada mata pelajaran sejarah. Selain nilai sejarahnya jeblok, putra Yustina juga punya catatan kelakuan kurang baik di mata sekolah. Nilai sejarah si siswa itu 68, di bawah nilai minimal KKM yakni 75.

"Misalnya pada waktu pelajaran dia makan, kemudian acara di luar sekolah dilarang bawa hape, dia bawa. Tapi itu syarat yang kaitannya dengan kelakuan. Ada syarat yang sangat objektif, yaitu soal nilai. KKM ditentukan 75, dia hanya dapat 68. (Pelanggaran disiplin) Berpengaruh tapi tidak signifikan karena yang paling signifikan adalah nilai," ujar Edi.



Pada 27 Mei, sekolah sudah mengumumkan siapa-siapa saja yang tidak naik kelas. Selain anak dari Yustina Supatmi, ada 15 siswa lain yang tidak naik kelas. Namun hanya satu saja yang memperkarakan sampai ke meja hijau, yakni Yustina Supatmi sendiri.

"Orang tua lainnya sudah menerima," kata Edi.


Dimintai keterangan secara terpisah, pengacara Yustina yakni Susanto menyampaikan pihaknya paham anak kliennya tak lulus nilai sejarah. Anak kliennya juga pernah merokok dan ditegur. Si anak juga ketahuan makan di kelas.

"Misalnya pada waktu pelajaran dia makan, kriuk-kriuk-kriuk, gitu kan, kemudian acara di luar sekolah juga dilarang bawa HP, dilarang bawa dokumen dilarang, tapi dia bawa," kata pengacara SMA Gonzaga, Edi Danggur



Namun soal nilai sejarah, itu hanya satu mata pelajaran. Menurut Susanto, Permendikbud Nomor 53 tahun 2015 mengatur bahwa siswa tidak naik kelas bila ada tiga nilai mata pelajaran.

"Sedangkan, si anak (inisial) BB ini dari awal masuk sekolah satu SMA sampai dengan kelas 11 dia hanya satu merahnya, yaitu nilai sejarah itu. Jadi menurut kami hal itu bertentangan dengan Permendikbud nomor 53 tahun 2015," kata Susanto," tutur Susanto.



Secara terpisah, Edi Danggur mengatakan Susanto salah menafsirkan Permendikbud tersebut. Menurutnya, satu mata pelajaran yang mendapat nilai merah sudah bisa menjadikan siswa tidak naik kelas.

"Itu salah membaca dan salah menafsirkan peraturan menteri (Permen) pendidikan. Mengapa salah? Tidak mungkin dibilang begini, minimal 3 mata pelajaran dibawah KKM bisa naik kelas. Berarti apa? Orang tidur-tiduran aja gitu, gak usah sekolah biar semuanya di bawah KKM, otomatis naik. Tidak bisa. Sekolah boleh menentukan dong, satu saja yang tidak tuntas, orang itu bisa tidak naik kelas," ujar Edi.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads