Seperti di Kampung Jatirejo RT 03 RW 39, Mojosongo, Jebres, Solo yang berbatasan langsung dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo. Bau sampah masih menjadi 'santapan' sehari-hari warga setempat.
Bau sampah semakin menyengat saat musim penghujan tiba. Tak hanya sampah, bau limbah tinja dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pun kerap mampir ke rumah warga.
![]() |
Jika musim kemarau, gunungan sampah menjadi rawan terbakar. Seperti saat ini, TPA Putri Cempo mengalami kebakaran yang tidak juga padam sejak dua bulan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampaknya, asap tersebut terbawa angin hingga menyerang pemukiman warga. Rata-rata warga mengalami sesak napas saat terserang asap, kemudian mata perih, juga sakit perut.
Joko S Parmin (50) termasuk warga pertama yang tinggal di Jatirejo. Dia sejak lahir sudah tinggal di sana bersama orang tuanya.
"Ya setiap hari bau sampah, kadang bau tinja. Tapi karena sudah sejak kecil di sini jadi biasa," kata Joko.
Kebakaran sampah, menurutnya sudah terjadi sejak lebih dari lima tahun lalu. Dahulu, dia sampai mengungsikan keluarganya karena asap yang datang cukup parah.
Tak hanya soal bau, Joko juga pernah mengalami masalah akses jalan. Sekitar 30 tahun lalu, dia dan 10 warga lainnya harus melintasi jalan membelah gunung sampah jika ingin bepergian. Tak ada jalan lainnya.
![]() |
Warga kemudian berinisiatif membangun jembatan kecil di sisi utara yang menghubungkan dengan Desa Plesungan, Karanganyar. Untuk menghemat biaya, mereka mengerjakannya sendiri.
"Seminggu sekali kami iuran Rp 10 ribu saat itu. Kami sendiri yang menggarap karena keterbatasan dana," katanya.
Tahun lalu, jumlah penghuni kampung tersebut bertambah hingga hampir 40 KK. Para pendatang berasal dari warga terdampak relokasi proyek Bendung Karet di Kali Anyar.
Salah satu pendatang, Susilo (38), mengatakan sudah 1,5 tahun tinggal di Jatirejo. Dia mengalami dua kali kebakaran sampah yang menimbulkan asap pekat.
"Tahun lalu juga kebakaran, tapi tidak selama ini. Kali ini awet asapnya. Saya setiap hari harus menyalakan kipas angin agar tidak begitu sesak," katanya.
![]() |
Dia mengaku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sebab pindah ke Jatirejo adalah kesepakatan warga sendiri. Pemkot Surakarta hanya menyediakan dana untuk membeli tanah dan membangun fondasi.
"Jadi kami membentuk kelompok kerja, mencari lahan. Dulu ada pilihan Karangturi, tapi masuknya Karanganyar. Kami sepakat pilih di sini karena masih Solo. Kalau ngurus administrasi kan dekat," kata Susilo.
Saat itu, warga tidak menduga sampai terjadi kebakaran sampah yang berdampak cukup parah. Namun, dia mengaku tetap bersyukur karena kini memiliki rumah bersertifikat.
"Dulu kami pikir cuma ada bau sampah, ternyata ada asap kebakaran juga. Tapi ya tidak ada pilihan lain. Saya tetap bersyukur karena dulu rumahnya tidak bersertifikat, sekarang direlokasi tapi dapat sertifikat," katanya.
![]() |
Sementara itu, Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, mengaku terus berupaya menyelesaikan masalah sampah. Gunung sampah di TPA Putri Cempo diyakini akan habis setelah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) mulai beroperasi.
"Solusinya adalah PLTSa. Sampah-sampah ini akan diolah terus sampai habis. Tapi butuh waktu 10-15 tahun untuk menghabiskan sampah," kata Rudy.
Jika sampah habis, pemkot akan memperoleh lahan seluas 15 hektare. lahan kosong tersebut akan digunakan untuk hal yang bermanfaat.
"Yang jelas kawasan itu akan menjadi lebih nyaman, tidak bau lagi. Kesehatan juga lebih terjamin," pungkasnya.
Halaman 2 dari 4