Sekilas tidak ada bedanya dengan seni musim karawitan lainnya, namun saat memasuki ruang asal suara tersebut detikcom langsung dibuat takjub, sebab 14 pangrawit atau pemain musik gamelan beserta sindennya merupakan penyandang tunanetra.
Tak ada rasa canggung, ayunan tangan para pangrawit dengan dengan lincah memainkan alat musik tradisional, mulai dari bonang, gender, kendang, hingga gong, sesuai dengan notasi gending atau lagu yang diinginkan.
"Semua pemainnya tunanetra, saya kebetulan pegang bonang penerus, belajar awal itu mulai 2017 akhir kalau sampai sekarang ya sudah satu tahun lebih. Proses awalnya sangat sulit, tapi setelah belajar terus akhirnya bisa," kata salah seorang pemain gamelan, Imam Ma'ruf, saat ditemui detikcom di SLB Kemala Bhayangari Jalan HOS Cokroaminoto 7 Trenggalek.
Pada tahap awal belajar, ia harus menghafalkan posisi alat musik yang dimainkan sesuai dengan notasi serta jarak dari jangkauan tangan. Tahap itu dinilai sangat penting, karena setiap pukulan alat musik yang dimainkan harus tepat, sehingga memunculkan bunyi yang diinginkan.
Ketrampilan memainkan alat musik gamelan bagi tuna netra menjadi tantangan tersendiri, para pangrawit harus memadukan tiga unsur sekaligus, yakni mengingat notasi gending, posisi alat musik, hingga kepekaan terhadap bunyi yang dimainkan.
"Kalau untuk bisa mahir tidak butuh waktu lama sebetulnya, asalkan belajar terus, mungkin tidak sampai lima bulan," ujar Ma'ruf.
Keberadaan alat musik gamelan di SLB Kemala Bhayangkara Trenggalek ini seakan menjadi angin segar bagi para penyandang tuna netra, untuk mengembangkan kemampuannya. Alat musik orkestra Jawa juga menjadi pemersatu bagi seluruh tuna netra di sekolah disabilitas tersebut.
![]() |
"Sebelumnya untuk seni musik kami bermain elektone dan itu hanya beberapa saja yang main, mungkin dua atau tiga orang saja. Tapi kalau karawitan ini semua teman-teman tuna netra bisa memainkan bersama," imbuhnya.
Hal senada disampaikan sang pesinden, Khusnul Merlina Sari. Adanya fasilitas musik gamelan diakui membawa dampaik positif terhadap semangat belajar tuna netra. Para siswa yang memiliki keterbatasan penglihatan tersebut kini mampu menyamakan perbedaan bunyi menjadi irama yang apik dalam seni karawitan.
"Walaupun kami banyak kekurangan, tapi dengan adanya fasilitas ini kami memiliki kemampuan tambahan. Harapannya nanti bisa menjadi bekal apabila sudah keluar dari sini. Jadi nggak cuma pijat saja," kata Merlina.
Sari mengaku senang bisa berkumpul sesama penyandang tuna netra untuk belajar bersama, terlebih dalam kesenian tradisional. Ia dan kawan-kawanya mengaku telah menghafal sekitar 20 gending atau lagu Jawa.
Wanita berhijab ini bercerita, sebelum tergabung dalam kelompok karawitan tuna netra, ia sempat mencoba menekuni dunia sinden dan tampil di beberapa pementasan wayang kulit. Namun ketekunannya tidak berjalan maksimal. Barulah setelah bersama para penyandang disabilitas, semangat berkesenian Jawa kembali menggelora.
"Awalnya kurang saya kembangkan karena belum ada fasilitas, tapi begitu masuk ini terus semangat lagi. Tantangannya itu kami memang harus lebih banyak menghafal, kalau teman yang normal itu ada teks, tapi kami berdua (sinden) dan teman pangrawit harus menghafal," ujarnya.
Sementara itu pelatih karawitan SLB Kemala Bhayangkari Trenggalek, Sarji, mengungkapkan kesabaran menjadi kunci saat memberikan pelajaran alat musik terhadap penyandang tuna netra. Tahapan pembelajan juga harus lebih panjang dibanding anak pada umumnya.
"Awalnya itu ya kami kenalkan dulu jenis alat musiknya, kemudian bentuknya dan cara memainkannya. Kami latig bagaimana cara menggunakan tabuh (alat pukul gamelan) yang benar serta notasi dari alat musik itu sendiri," ujar Sarji.
![]() |
Kepekaan dan daya ingat tuna netra yang maksimal menjadi kelebihan tersendiri, setelah tahap pengenalan selesai, para pangrawit disabilitas itu mulai bisa memainkan gending yang diinginkan. Dari awal belajar hingga bisa bermain karawitan rata-rata membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.
"Untuk menghafal lagu-lagu yang sudah memasyarakat lebih mudah, tapi kalau yang baru dikenal ya perlu waktu," imbuhnya.
Terbentuknya kelompok karawitan tuna netra ini harus melalui perjalanan yang berliku. Ide bermain gamelan berawal dari ketertarikan beberapa tuna netra terhadap beberapa alat peraga sumber bunyi yang dimiliki sekolah terutama gamelan.
"Kami itu punya alat musik jaranan, kenong dan sebagainya, tapi itu sangat minimalis. Kemudian ditambah alat peraga bunyi untuk tuna netra berupa gong dan beberapa yang lain. Anak-anak kok kelihatannya suka," kata kepala SMALB Kemala Bhayangkari Trenggalek, Supardiono.
Pihak sekolah mengajak para siswa tuna netra belajar karawitan di salah satu rumah pemilik gamelan di Kecamatan Pogalan Trenggalek. Selama beberapa minggu berproses, pihaknya melihat perkembangan kemampuan dan keceriaan anak didiknya semakin baik.
Melihat kondisi itu, Supardiono dan civitas SLB pun memiliki harapan besar untuk bisa mekamsimalkan kemampuan para tuna netra dengan memiliki peralatan gamelan sendiri, sebab musik menjadi salah satu bentuk aktualisasi seni bagi siswa yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Gayung bersambut, keinginan itu akhirnya tersampaikan saat sekolahnya merima kunjungan Ketua Bhayangkari Jawa Timur yang juga merupakan istri kapolda. Melalui Ketua Cabang Bhayangkari Trenggalek yang diteruskan ke provinsi hingga pengurus pusat, harapan memiliki karawitan akhirnya terwujud.
"Kemudian saat Ketua Bhayangkari Bu Tito ke sini, kami ditanya lagi apa yang diinginkan oleh anak-anak SLB kemudian kami sampaikan gamelan itu dan akhirnya terwujud melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) dari Pertamina," ujarnya.
Pria yang akrab disapa Pardi ini mengaku, keberadaan gamelan di sekolahnya memiliki dampak yang signifikan terhadap anak didiknya terutama penyandang tuna netra. Para siswa berbagai jenjang pendidikan itu kini mampu bekerjasama dengan baik. Bahkan beberapa lulusan SLB yang memiliki kemampuan di bidang karawitan juga ikut bergabung untuk berbagi ilmu.
Kemahiran karawitan tuna netra tersebut kini mulai teruji, bahkan telah tampil diberbagai pertunjukan, seperti di PTIK Jakarta, Polda Jatim hingga berbagai kegiatan seni lainnya. Para penonton pun rata-rata memiliki respon yang posotif dan mengapresiasi kemahiran siswa berkebutuhan khusus itu.
"Ke depan kami ingin mengembangkan lagi kepada anak dari kelompok lain, seperti tuna daksa, karena mereka juga punya potensi," jelas Pardi.
(fat/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini