menyiapkan diri di Pengadilan Tipikor Jakarta. Di bawah sumpah, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) itu menjawab satu per satu pertanyaan dari majelis hakim maupun jaksa
mengenai dugaan suap di kementerian yang dipimpinnya itu.
Imam kenal betul dengan orang-orang yang didakwa dalam persidangan itu. Sebab, orang-orang itu merupakan anak buahnya di Kemenpora terutama seorang bernama
yang menjabat sebagai Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga.
Pujian bahkan sempat dilontarkan Imam pada sosok Mulyana meski saat ini berstatus sebagai terdakwa. Sedangkan dua orang lainnya yaitu Adhi Purnomo dan Eko Triyanta yang juga sebagai pesakitan merupakan staf di Kemenpora.
"Prof Mulyana, beliau guru besar, dipilih sebagai deputi, lewat sidang TPA yang dilaksanakan oleh presiden, sehingga membantu kami, dan membantu sukses Asian Games secara prestasi. Terima kasih Pak Mulyana," ujar Imam saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2019).
Selain itu Imam dicecar jaksa perihal tetek bengek pengurusan hibah di Kemenpora. Sebab memang dalam persidangan itu dugaan suap yang diterima Mulyana serta 2 terdakwa lainnya itu berkaitan dengan pengucuran dana hibah untuk KONI.
Mulanya Imam ditanya jaksa perihal proposal yang diajukan KONI untuk mendapatkan hibah dari Kemenpora. Imam tahu tentang proposal itu, bahkan menandatanganinya. Namun ketika ditanya jaksa soal tujuan dari kegiatan yang diajukan KONI dalam proposal itu serta adanya perubahan-perubahan dalam proposal itu, Imam mengaku tidak tahu.
"Ini ada perubahan judul. Pada awalnya untuk persiapan SEA Games, kemudian berubah lagi jadi usulan kegiatan pendampingan calon berprestasi. Saudara tahu proposal yang sama? Ada pergantian judul? Kalau iya, apa alasan pergantian judul?" tanya jaksa kepada Imam.
"Tidak, saya tidak dilapori pergantian judul karena itu sesuatu yang tidak semestinya menteri tahu, karena tugas menteri begitu luas. Ini murni soal teknis saja," jawab Imam.
Meski begitu, Imam mengaku telah memberikan disposisi untuk proposal itu agar kuasa pengguna anggaran (KPA) mempelajari proposal itu. Imam pun mengakui tidak paham betul kegiatan apa yang hendak dilakukan KONI dengan pengajuan proposal itu.
"Saudara nggak tahu kegiatan apa yang dilakukan KONI pusat?" tanya jaksa.
"Saya nggak tahu kegiatannya," jawab Imam.
Pun ketika jaksa menanyakan tentang dugaan penggelembungan anggaran KONI, Imam tidak bisa menjelaskan. Jaksa menduga penggelembungan anggaran KONI mencapai Rp 40 miliar.
Jaksa awalnya membacakan Peraturan Menteri (Permen) terkait petunjuk teknis (juknis) Nomor 10 Tahun 2018. Juknis itu diakui Imam, dibuat oleh Deputi IV Kemenpora Mulyana, namun disahkan oleh Imam. Di salah satu poin dalam juknis, disebut besaran fasilitas atau bantuan, besaran bantuan fasilitas yang diberikan ke KONI, KOI dan induk cabang olahraga itu dibatasi hanya mendapat anggaran Rp 7 miliar dalam satu paket kegiatan. Namun, pada tahun anggaran 2018 KONI justru mendapatkan anggaran Rp 47 miliar untuk dua paket kegiatan.
"Saudara kan tahu, dana hibah KONI diberikan jumlahnya Rp 47 miliar. Jika dihubungkan juknis Pak Mulyana, operasional KONI yang hanya Rp 7 miliar saja dipatoknya. Ada Pak Menteri? Sampai menggelembung dari Rp 7 sampai Rp 47 miliar? Ada apa Pak Menteri?" tanya jaksa kepada Imam.
Imam menjawab tidak tahu. Dia menyebut terkait hal tersebut merupakan tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"Ya pertama kalau sudah soal pemenuhan, prasyarat, tentu itu sudah tanggung jawab dari PPK, verifikasi, dan unit di bawahnya, karena sudah ditunjukkan dengan aturan yang dibentuk, sehingga saya nggak tahu persis. Seperti jawaban saya, saya memang nggak tahu anggaran ini, sampai cair, sampai OTT, saya nggak bisa jelaskan," kata Imam.
Jaksa heran mengapa Imam tidak tahu sama sekali mengenai anggaran tersebut. Imam menjawab bahwa tugasnya tidak sampai mengurusi masalah teknis.
"Ya tapi kan itu sudah pelaksanaan. Mana mungkin menteri mengetahui sedetail itu. Dari tanggung jawab dan wewenang (yang) dimiliki, dan kewenangan tadi sudah kami limpahkan secara penuh," ujar Imam.
Ada hal menarik lagi yang terjadi dalam sidang itu yang berhubungan dengan asisten pribadi (aspri) Imam yang bernama Miftahul Ulum. Seperti apa?
Ulum mengaku menerima uang dari Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy sebesar Rp 2 juta. Bahkan, Uang itu diakui Ulum digunakannya bersama anak Imam. Untuk diketahui bahwa Ending dalam perkara ini sudah divonis bersalah memberikan suap pada Mulyana dkk.
Ulum awalnya mengakui pernah menerima uang tersebut dari Ending tanpa diketahui Imam di Plaza Senayan pada 2017. Namun Ulum menyebut pertemuannya dengan Ending itu tanpa sengaja.
"Adik kandung Saudara?" tanya jaksa.
"Bukan, Pak. Ya adik, adik-adikan, Pak," jawab Ulum.
Jaksa terus mencecar Ulum perihal siapa sebenarnya Dicky dan Ifat tersebut. Hingga pada akhirnya Ulum mengakui bahwa dua orang itu adalah anak Imam Nahrawi.
"Anaknya Pak Menteri. Ifat sama Dicky," kata Ulum.
Kembali tentang persoalan pemberian uang dari Ending. Ulum menyebut yang terjadi hanyalah ketidaksengajaan bertemu Ending. Setelahnya, Ulum 'menodong' Ending untuk memberikannya uang.
"Siapa yang minta?" tanya jaksa.
"Saya, Pak, (bilang), 'Saya minta uang kopi', gitu aja," jawab Ulum.
Setelah mendapat uang itu, Ulum mengaku langsung membagi-bagikan kepada Dicky dan Ifat tanpa sepengetahuan Imam.
Imam yang duduk sebagai saksi mengaku tak pernah memerintahkan Ulum untuk bertemu Ending. Imam kemudian menjelaskan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) asprinya. Menurutnya, Ulum bertugas mengatur jadwal Menpora hingga mendokumentasikan kegiatan.
"Tidak (memerintahkan Ulum bertemu Ending), karena itu bukan tugas aspri," kata Imam.
"Tupoksi yang diberikan, selagi tugas pokok yang diberikan, (Aspri) harus lapor. Dan di luar itu, kita punya hak, nggak boleh campuri urusan individu," imbuh Imam.