Sidang pembacaan putusan praperadilan ini digelar di ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto, Jalan RA Basuni, Kecamatan Sooko. Putusan tersebut dibacakan hakim tunggal Juply S Pansariang.
Pihak pemohon atau penggugat Heru diwakili tim kuasa hukum dari LBH Pelita Umat. Sedangkan pihak tergugat, Kapolres Mojokerto AKBP Setyo Koes Heriyatno diwakili kuasa hukum dari Bagian Hukum Polda Jatim.
Sayangnya, sidang ini berlangsung tertutup dari media. Polisi yang berjaga di seputaran ruang sidang melarang wartawan masuk dengan dalih ruangan sudah penuh. Padahal, ruang sidang terlihat masih longgar.
Dalam putusannya, hakim menolak permohonan Heru Wijaya. Heru mengajukan praperadilan agar status dirinya sebagai tersangka kasus ujaran kebencian melalui medsos dibatalkan Polres Mojokerto. Selain itu, eks Wakil Ketua HTI Jatim ini meminta Polres menerbitkan Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3).
"Hari ini pembacaan putusan. Putusan tersebut menurut kami telah mengesampingkan apa yang kami simpulkan dalam persidangan," kata Budi Harjo, salah satu kuasa hukum Heru Wijaya kepada wartawan usai sidang, Kamis (11/4/2019).
Kuasa hukum Heru Wijaya lainnya, Nur Rahmad menilai putusan hakim praperadilan ini tidak adil. Menurut dia, bukti-bukti yang telah disuguhkan tim pengacara Heru dalam persidangan menunjukkan penetapan kliennya sebagai tersangka tak sesuai prosedur hukum.
"SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) dikeluarkan oleh Polres Mojokerto tanggal 29 September 2018 tidak diberikan. Padahal jelas-jelas dalam aturan MK (Mahkamah Konstitusi) harus diberikan. Kami sampaikan dalam kesimpulan, itu dikesampingkan oleh hakim," terangnya.
Selain itu, Rahmad menilai pembuatan surat penetapan tersangka untuk Heru Wijaya terkesan dipaksakan oleh Satreskrim Polres Mojokerto. Surat nomor S.Tap/16/III/RES.1.1.1./2019/Satreskrim itu dibuat 25 Maret 2019.
"Surat itu dipaksakan untuk diserahkan setelah kami mengajukan praperadilan tanggal 29 Maret 2019. Itu menunjukkan kesewenang-wenangan," ungkapnya.
Putusan hakim hari ini membuat Heru Wijaya tetap menjadi tersangka kasus ujaran kebencian. Eks pentolan HTI itu dilaporkan ke polisi oleh Ali Muhammad Nasih, Ketua Cabang GP Ansor Kabupaten Mojokerto pada 23 September 2018.
Pelaporan itu terkait dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Heru melalui media sosial. Dalam postingan yang diduga diunggah Heru, menuduh Banser sebagai alat untuk menggebuki sesama muslim. Heru pun dituduh melanggar Pasal 45A juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE.
"Kami akan terus lakukan pembelaan terhadap klien kami," tandas Rahmad.
Heru Ivan Wijaya mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kapolres Mojokerto AKBP Setyo Koes Heriyatno karena tak terima ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian. Gugatan Heru diajukan melalui tim kuasa hukumnya, yaitu LBH Pelita Umat. Eks Wakil Ketua HTI Jatim itu menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tak sesuai prosedur hukum. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini