Ada empat jaringan yang terlibat dalam kejahatan ini. Yaitu jaringan yang mengirimkan TKI ilegal ke Maroko, Turki, Suriah, dan terakhir ke Arab Saudi.
"Kasus ini terungkap dari empat laporan polisi (LP) yang kami tangani," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Herry Rudolf Nahak di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (9/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herry mengatakan pengungkapan kasus ini dilakukan pihaknya sepanjang Maret 2019, di mana ada laporan dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang menerima pengaduan dari para korban. Herry kemudian menjelaskan masing-masing kasus dari empat laporan polisi yang ditangani.
"Kami berhasil menangkap dua tersangka dalam jaringan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), yang kami sebut jaringan pengiriman orang ke Maroko. Tersangka bernama Mutiara binti Muhammad Abas dan Farhan bin Abuyarman," ujar dia.
Herry menyebut kedua tersangka memiliki track record hebat. Karena berhasil memberangkatkan 500 TKI secara ilegal.
"Mutiara kurang lebih 300 orang, kemudian Farhan kurang lebih 200 orang. Dari dua tersangka kurang lebih 500 orang diberangkatkan," ucap Herry.
Modus operandi kedua tersangka, lanjut Herry, adalah merekrut TKI ilegal dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Setelah itu, korban dibawa ke Lombok, diterbangkan ke Jakarta. Korban lalu ditampung di Batam lalu diberangkatkan ke Malaysia lalu ke Maroko.
"Itu rute perjalanannya. Di sana berhubungan dengan agen yang memesan (TKI) dari Maroko. Si tersangka saat merekrut, datang dan menawarkan korban bekerja di Maroko sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp 3 sampai 4 juta," jelas Herry.
Sindikat kedua adalah yang mengirimkan TKI ilegal ke Turki dengan tersangka bernama Erna Rachmawati dan Saleha. Keduanya telah memberangkatkan 220 orang dalam kurun waktu 2018-2019.
"Ini kebanyakan korbannya dari Bima, NTB. Kemudian jalurnya Jakarta-Oman-Istanbul karena janjinya ke Turki. Korban dijanjikan gaji Rp 7 juta per bulan, tapi jika satu minggu tidak bekerja karena sakit, tidak digaji dan korbannya ada yang mendapat pelecehan seksual," terang Herry.
Jaringan ketiga adalah yang mengirim TKI secara ilegal ke daerah konflik Suriah dan Irak. Polisi menetapkan seorang tersangka bernama Muhammad Abdul Halim.
"Korbannya kurang lebih 300 orang. Jalur pengiriman (TKI) nonproseduralnya dari Jakarta ke Surabaya, lalu ke Malaysia. Kenapa Malaysia? Karena lebih mudah pergi ke luar negerinya. Karena sampai saat ini masih moratorium, belum ada izin Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan TKI ke Timur Tengah. Kalau ada, pasti ilegal. Rute perjalanan lalu ke Dubai, Turki, Suriah dan Sudan," urai Herry.
Terakhir adalah sindikat TPPO ke Arab Saudi dengan tersangka dua warga Ethiopia bernama Faisal Hussein Saeed dan Abdalla Ibrahim Abdalla. Dalam menjalankan bisnis ilegalnya, kedua pria Ethiopia ini dibantu perempuan Indonesia bernama Neneng Susilawati.
"Faisal ini sebenarnya adalah pengungsi. Dia masuk di sini jadi pengungsi yang dilindungi UNHCR sehingga dia bebas, tidak dideportasi. Dalam status pengungsi ini dia jadi agen TPPO. Kemudian dia juga agak sedikit berbeda, menampung korbannya di apartemen bukan rumah-rumah. Dia merekrut korbannya dari Jawa Barat dan NTB juga," papar Herry.
"Dia merekrut beberapa orang asing juga sebagai karyawannya. (TKI ilegal) yang sudah diberangkatkan 200 orang . Rutenya pengiriman korbannya Lombok-Jakarta-Arab Saudi," kata Herry.
Kedelapan tersangka dijerat Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan atau Pasal 81 dan Pasal 86 huruf b UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan atau Pasal 102 ayat 1 huruf B UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
"Ancaman hukuman maksimalnya 15 tahun penjara," tutup Herry. (aud/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini