Hal tersebut disampaikan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo. Awalnya Firman menyatakan jika unsur-unsur pembeda dalam e-KTP untuk WNA seperti penggunaan bahasa dan masa berlaku itu tidak cukup untuk membedakan e-KTP milik WNI dan WNA.
"Oleh karena itu argumentasi pemerintah bahwa e-KTP yang warna sama untuk bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing yang perbedaannya itu hanya di penggunaan bahasanya itu adalah bahasa asing dan bahasa Indonesia, kemudian ada pemberlakuan e-KTP itu seumur hidup dan tidak seumur hidup itu tidak cukup untuk melihat apakah ini asli atau tidak," ujar Firman usai diskusi bertema 'Polemik e-KTP WNA, Perlukan Perppu?' di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/2/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, menurut Firman, penting untuk menjawab kecurigaan publik tentang polemik e-KTP WNA ini. Ia pun mengusulkan ada pembedaan warna bagi e-KTP WNI dan WNA.
Baca juga: Mendagri: e-KTP WNA yang Viral Itu Palsu! |
"Semua karena kita berdasarkan aturan hukum, maka kita bikin peraturan. Saya tidak sepakat kalau Perppu, tetapi dibikin peraturan turunan yang menjelaskan tentang posisi Pasal 63 (UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan) bahwa warga negara, baik asing di Indonesia perlu identitas itu iya, di negara manapun itu iya, tetapi pembedaan warna itu menjadi penting," tutur Firman.
"Pembedaan warna ini adalah secara kasat mata mereka bisa melihat 'oh yang warnanya agak ke ungu agak ke pink, katakanlah, itu asing'. Jadi ketika mereka itu membawa identitas, orang udah melihat, itu asing, dan setelah itu disosialisasikan kepada masyarakat sampai kepada tingkat penyelenggara di bawah dan kemudian RT RW itu harus menjelaskan itu," sambungnya.
![]() |
Firman pun tak melihat adanya urgensi penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Menurutnya, waktu penyelenggaraan pemilu sudah sangat dekat.
"Ke depan kita tidak perlu membuat Perppu karena Perppu ini kita lihat urgensinya, sebab adalah sudah tinggal 49 hari lagi. Jangan sampai ada isu tentang politisasi yang telah digulirkan oleh kelompok tertentu, seolah-olah mendelegitimasi daripada penyelenggaraan pemilu bahwa nanti akan terjadi pemilu yang tidak jujur dan adil, dan kemudian ada indikasi bahwa ini akan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, terutama incumbent, bahwa ini untuk mempertahankan agar pemilu presiden ini dimenangkan oleh calon tertentu. Bukan karena itu, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak ada tujuan itu," kata Firman.
Sebelumnya, Menkum HAM Yasonna Laoly juga mengusulkan e-KTP untuk WNI dan WNA dibedakan warnanya. Dia memberi contoh KTP untuk WNA di Amerika Serikat.
Soal e-KTP WNA mengemuka saat ditemukannya e-KTP tenaga kerja asing (TKA) China di Cianjur, Jawa Barat. Temuan itu berawal dari inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) ke sejumlah perusahaan di antaranya peternakan ayam di Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber.
Berdasarkan Pasal 63 UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan, TKA bisa memiliki e-KTP setelah memiliki kartu izin tinggal tetap (KITAP). Namun begitu, WNA tetap tidak memiliki hak untuk memilih di pemilu.
Polemik ini kemudian berlanjut setelah warganet membahas munculnya DPT atas nama Bahar dari NIK yang tercantum di e-KTP milik WNA China berinisial GC. Terkait hal ini, KPU menegaskan terjadi kesalahan input. (azr/jbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini