Fanatisme Dinilai Jadi Pembelah Masyarakat Hingga Pilpres 2019 Selesai

Fanatisme Dinilai Jadi Pembelah Masyarakat Hingga Pilpres 2019 Selesai

Muhammad Aminudin - detikNews
Kamis, 28 Feb 2019 10:45 WIB
Foto: Ilustrasi Pileg 2019. (Mindra Purnomo/detikcom).
Malang - Siapa jawara di Pilpres 2019 akan ditentukan saat pencoblosan 17 April mendatang. Tetapi perjalanan kontestasi dua paslon dinilai membawa dampak buruk di masyarakat. Fanatisme membelah masyarakat menjadi dua kubu yang saling berhadapan.

Pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari melihat, keterbelahan di masyarakat nyaris mengulang kondisi Pilpres 2014 lalu. Dia memprediksi perseteruan dua kubu bakal bergulir hingga Pilpres bubar.

"Satu tahun setelah Pilpres 2014, masih saja sulit untuk move on, baik itu kubu yang kalah, maupun juga pemenang dalam konstetasi. Keduanya sama saja, yang kalah tetap menjelekkan yang menang, begitu sebaliknya," terang Wawan saat berbincang dengan detikcom, Kamis (28/2/2019).

Kondisi ini, kata dia, tak lain disebabkan karena perilaku elite politik. Kampanye sehat bukan menjadi hal menarik, melainkan justru membangun fanatisme sampai berujung keterbelahan di tengah masyarakat.


Fanatisme tersebut ada dia kubu pendukung capres, yang masih sama dengan Pilpres 2014 lalu. Hal tersebut dianggap karena hanya ada dua calon dalam dua pilpres terakhir ini.

"Ini kelemahan jika hanya dua paslon yang maju, berbeda kalau tiga, keterbelahan akan sedikit bisa dihindari. Fanatisme partisan menutup diri akan informasi rasional lawannya, dan lebih memilih informasi negatif untuk diterima," ujar Dosen Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya ini.

Dia mencontohkan, kasus emak-emak di Karawang, Jawa Barat, berani melakukan kampanye hitam. Hal ini menunjukkan persaingan akan dukungan berlatar belakang fanatisme sudah menyentuh masyarakat di level bawah. "Ini menunjukkan bahwa mereka tidak paham, orang kecil kena pidana," ungkap Wawan.

Dia juga melihat pendidikan politik di tengah kontestasi pemilih presiden dan wakilnya dianggap tak relevan. Karena situasi masyarakat sudah terbelah sesuai dengan afiliasi pilihan politik.


"Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Desember kemarin, bahwa keberpihakan partisipasi cenderung memberikan informasi yang berbeda. Contohnya, saya partisan 01 akan menerima hal-hal jelek 02, begitu sebaliknya," tuturnya.

Arah program dan kebijakan kedua calon di Pilpres 2019 juga minim diketahui publik. Hasil survei Kompas, kata Wawan, hanya 33 persen masyarakat yang mengetahui program kebijakan kedua calon.

"Sisanya 67 persen, iya tadi. Hanya paham sifatnya, hoak-nya. Kampanye sehat tak begitu menarik lagi, dibanding kampanye hitam. Contoh lagi, debat pertama, yang dibahas ketika Prabowo joget, debat kedua juga begitu soal serangan kepemilikan lahan. Mestinya lebih menangkap kepada isu dari program yang ditawarkan kedua calon," tegasnya.

Wawan menyinggung pada debat kedua, di mana pada suatu sesi Prabowo Subianto menyampaikan tak adanya perbedaan lagi. Hal ini semestinya ditangkap oleh pendukungnya, sehingga keterbelahan antar pendukung tak semakin panas.


"Ini yang menjadi masalah, ideologi kita relatif sama. Jadi lebih memilih untuk jualan fanatisme. Padahal kalau kita lihat, rancangan-rancangan kebijakan kedua paslon relatif sama. Hanya saja, paslon urut 02 memiliki sudut pandang yang berbeda. Contohnya, 01 melarang cantrang, 02 juga begitu tetapi ada prasyarat," papar Wawan.

Menurut dia, pendulangan suara di Pipres 2019 nanti, tak akan jauh dari hasil Pipres 2014. Dia mencontohkan, Jawa Timur keterpihakkan sudah menjadi kultur, sehingga akan sulit diubah.

"Kalau kulturnya PDIP ya kepada paslon yang diusung partai itu, kalau santri lebih kepada partai Islam, seperti PKB dan sebagainya. Namun demikian, Gerindra tidak bisa diremehkan, hasil perolehan di beberapa daerah berada di posisi kedua dan ketiga. Saya kira perolehan suara tak berubah banyak dari Pilpres 2014, sekarang yang lagi hangat kan di Jabar dan Jateng," tutup Wawan.


Saksikan juga video 'Cak Imin: Fanatisme Agama Boleh, Tapi Kemanusiaan Nomor Satu':

[Gambas:Video 20detik]

(fat/iwd)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.