Dugaan Terorisme di Balik Fakta-fakta Penyerangan Polisi Lamongan

Dugaan Terorisme di Balik Fakta-fakta Penyerangan Polisi Lamongan

Rahma Lillahi Sativa - detikNews
Kamis, 22 Nov 2018 08:32 WIB
Dugaan Terorisme di Balik Fakta-fakta Penyerangan Polisi Lamongan
Foto: Eko Sudjarwo/File
Surabaya - Kasus penyerangan polisi dan pos lantas di Paciran, Lamongan, Selasa (20/11) dini hari lalu akhirnya dilimpahkan ke Detasemen Khusus (Densus) 88 karena dianggap berkaitan dengan terorisme.

Namun fakta apa saja yang menguatkan dugaan polisi tersebut? Berikut temuan di lapangan terkait latar belakang dan aktivitas pelaku sebelum penyerangan.

1. Pelaku pernah ditahan di Lapas Madiun

Foto: Sugeng Harianto

Salah satu pelaku penyerangan polisi di Lamongan, yaitu E merupakan pecatan anggota kepolisian karena terlibat penembakan yang mengakibatkan terbunuhnya seorang guru ngaji di Sidoarjo pada tahun 2004 silam.

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo, E seharusnya menjalani penahanan selama 11 tahun. Namun setelah sekitar 4 tahun ditahan di LP Malang, E dipindahkan ke Lapas Kelas 1 Madiun sejak tanggal 16 November 2016.

"Pada tanggal 16 bulan 11 tahun 2016 kita menerima pindahan dari Malang dan salah satunya E ini dan menjalani sisa hukuman di sini (Lapas Kelas 1 Madiun). Yang bersangkutan ER kena pasal 338 KUHP putusan hukuman 11 tahun di Sidoarjo," paparnya.

Namun E hanya mendekam di lapas ini selama 8 bulan karena pada tanggal 3 Juli 2017, pengajuan Pembebasan Bersyaratnya (PB) dikabulkan. Salah satunya karena dijamin oleh sang ayah.

Sempat muncul dugaan, E bergaul dengan sejumlah narapidana terorisme (napiter) yang ada di lapas ini. Lapas Kelas 1 Madiun memang tengah menahan lima napiter.

2. Pelaku besuk napiter

Foto: Sugeng Harianto

Sekitar dua minggu sebelum penyerangan di Lamongan, E diketahui sempat membesuk seorang napiter.

"Kalau berdasarkan catatan di buku, dua kali berkunjung ke Lapas Madiun. Satu kali napi umum dan satu kali napi teroris," kata Kepala Lapas Kelas I Madiun, Suharman kepada detikcom, Rabu (21/11/2018).

Napiter yang dimaksud adalah William Maksum. Dari catatan lapas, William merupakan anggota teroris kelompok Abu Roban. Kelompok Abu Roban melakukan perampokan di Grobogan, Purwodadi sekitar tahun 2013 untuk membiayai kegiatan terorisme.

Akan tetapi petugas lapas memang tidak dapat memastikan apakah E akrab dengan napiter selama berada di Lapas Madiun.

"Kalau dulu saya tidak tahu. Saya kan baru enam bulan di sini. Kalau menanyakan itu saya tidak bisa menjawab," tandas Suharman.

3. Sosok pelaku yang tertutup

Foto: Eko Sudjarwo

Tetangga menyebut E dan keluarganya cenderung tertutup terhadap lingkungan. Bahkan cara berpakaian E juga dianggap tidak lazim. "Kalau keluar, yang laki-laki biasanya juga pakai penutup hingga hanya terlihat bagian matanya saja," ungkap salah satu tetangga, Tamijan.

Tak hanya perilakunya, rumah pasangan ini juga disebut lebih sering tertutup. Keduanya jarang bercengkerama dengan warga. Kalaupun keluar rumah, mereka kabarnya tak banyak bicara.

Saking tertutupnya, ada warga yang tak tahu jika mereka bertetangga. "Saya pernah sekali nunut E. Itupun saya malah tidak tahu kalau E ini ternyata masih tetangga," ujar tetangga lainnya, Sumadi.

4. Perubahan drastis pelaku setelah saling mengenal

Foto: Eko Sudjarwo

Pelaku kedua adalah S, yang sebenarnya masih berstatus pelajar SMK. Namun sejak mengenal E, S berubah drastis, bahkan tak mau bersekolah lagi. Padahal S sudah duduk di bangku kelas XII.

Kedua orang tua S, Farikhin dan Muinah mengungkapkan E dan S bertemu ketika S kerap mengantar adik perempuannya bersekolah di wilayah Geneng, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan.

"Bertemu dan kenal dengan E ya ketika rutinitas mengantar adiknya ini," kata Farikhin.

S juga tak lagi mau berkumpul dengan teman-teman dan tetangganya sejak akrab dengan E, meski baru satu bulan kenal. Bahkan seluruh anggota keluarga dilarang menonton televisi karena dianggap memberikan pengaruh buruk.

"Anak saya juga sempat menyalahkan teman dan gurunya dianggap melenceng," ungkap Farikhin.

Farikhin menambahkan, selain tak mau sekolah, S lebih memilih berada di tempat E, bahkan jarang pulang ke rumah. Di tempat E, S mengaku kepada orangtuanya ikut mengajar mengaji.

"Saya tahunya ketika pagi biasanya menjemput adiknya tapi ternyata tidak hingga adiknya terpaksa bolos sekolah," lanjutnya.

5. Akrab karena pemahaman agama yang sama

Foto: Hilda Meilisa Rinanda
Kapolres Lamongan AKBP Feby DP Hutagalung menyebut, kedua pelaku baru berkenalan sekitar 3-4 bulan belakangan. Keduanya mudah akrab karena merasa memiliki pemahaman agama yang sama.

"Menurut keterangan dari pelaku, mereka bertemu saat keduanya bertemu kegiatan ibadah selama 3 sampai 4 bulan di musala Lamongan. Karena memiliki satu akidah dan konsep pemahaman yang sama akhirnya akrab," papar Feby.

Namun dari kedekatan itu, keduanya malah merencanakan penyerangan terhadap pos lantas. Sebelum insiden di Paciran, keduanya mengaku pernah melakukan hal yang sama di awal tahun 2018 namun tidak sampai berakibat fatal.

"Salah satunya seperti itu dilempar batu dan kelereng tapi untuk detailnya kita belum bisa jelaskan. Tahun 2018 awal, sebelumnya informasinya melakukan hal yang sama di wilayah pos lantas wilayah Lamongan tapi tidak mengakibatkan kerusakan, hanya retak saja dan itu tidak diketahui polisi karena pos lantas dikosongkan. Itu keterangan dari tersangka," ungkap Feby.

Feby menambahkan keduanya pernah melakukan hal yang sama di awal tahun 2018 namun tidak sampai berakibat fatal.

"Salah satunya seperti itu dilempar batu dan kelereng tapi untuk detailnya kita belum bisa jelaskan. Tahun 2018 awal, sebelumnya informasinya melakukan hal yang sama di wilayah pos lantas wilayah Lamongan tapi tidak mengakibatkan kerusakan, hanya retak saja dan itu tidak diketahui polisi karena pos lantas dikosongkan. Itu keterangan dari tersangka," tutup Feby.

6. Motif penyerangan

Foto: Hilda Meilisa Rinanda

Polisi menyebut aksi itu dilandasi pemahaman agama kedua pelaku yang melenceng. Bahkan keduanya sengaja menciptakan teror untuk menakut-nakuti polisi.

"Mereka sengaja membuat agar polisi terteror, agar polisi takut. Motifnya ada pemahaman yang salah yang intinya ada pemahaman yang salah, kaitannya dengan pemahaman agama mereka," kata Feby.

7. Anak-istri pelaku ikut diperiksa Densus 88

Foto: Hilda Meilisa Rinanda

Dari hasil pendalaman yang dilakukan polisi, muncul dugaan bahwa pelaku terlibat dalam suatu kelompok jaringan teroris. Salah satunya dari penemuan buku-buku yang berhubungan dengan radikalisme.

Kedua pelaku kemudian akan dijemput dan dibawa ke Jakarta untuk penyelidikan lebih lanjut. Bahkan tak hanya kedua pelaku, anak-istri pelaku juga akan dibawa.

"Keluarga dari saudara E diikutsertakan di dalam pelimpahan, terutama istri dan anaknya yang masih bayi," ujar Feby.

Halaman 2 dari 8
(lll/iwd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.