Kepala Sekolah Antikorupsi Aceh (Saka) Mahmudin mengatakan wacana qanun korupsi itu sebenarnya sudah muncul sejak 2014. Saat itu, menurut Mahmudin, banyak diskusi tentang qanun itu, tapi sampai saat ini tidak jelas karena adanya perdebatan.
"Oleh DPR (Aceh) sebenarnya sudah pernah mau dirancang oleh eksekutif dan legislatif, tetapi sampai saat ini qanun itu belum jelas seperti apa dan belum ada pengesahannya," kata Mahmudin kepada detikcom, Kamis (5/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di awal pernah ada masukan masyarakat, bahkan di dalam qanun itu ditambahin cambuk 100 kali bagi terdakwa korupsi di Aceh, tapi sampai saat ini status qanun itu kan tidak jelas," kata Mahmudin.
"Poin yang menjadi perdebatan menurut kita itu persoalan cambuk dan rajam. Tapi itu terakhir, hasil diskusi kita, itu tidak dimasukkan. Tapi mengenai cambuk dan mempermalukan di muka umum, itu menjadi perdebatan," imbuh Mahmudin.
Namun, dari kacamata Mahmudin sebagai aktivis antikorupsi, mandeknya qanun itu lantaran para pejabat di Aceh tidak ingin ada qanun yang akan menjerat diri sendiri nantinya. Sebab, menurut Mahmudin, para pelaku korupsi di Aceh mayoritas dari para pejabatnya.
"Karena mayoritas yang terjebak kasus korupsi kan mereka. Jadi mereka istilahnya membuat hukuman untuk menghukum diri mereka sendiri," kata Mahmudin. (nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini