Kepala Suku Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan Jakarta Utara, Kusnadi, menjelaskan sudah ada tiga kali penyegelan terhadap Pulau D. Penyegelan pertama dinyatakannya dilakukan pada tahun 2014, kedua pada 2016, dan ketiga pada 2018 ini.
"Sistem penyegelannya sama seperti ini," kata Kusnadi kepada wartawan, Kamis (7/6/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Bakal Ada 17 Pulau Buatan di Teluk Jakarta |
Berdasarkan catatan pemberitaan detikcom, pihak Pemprov DKI menyatakan Pulau D pernah disegel pada 2015. Penyegelan dilatarbelakangi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang belum dikantongi pengembang.
![]() |
"Kita itu kan sudah melakukan penertiban dari tahun 2015, bulan Juni," kata Kepala Dinas Penataan Kota DKI, Iswan Achmadi, pada 14 April 2016. Saat itu Gubernur Jakarta dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pulau D saat itu menyambung dengan Pulau C. Bangunan-bangunan sudah terdapat di Pulau D meski IMB belum ada. Saat itu bangunan di pulau buatan ini sudah hendak dibongkar. Sebelumm ada perintah pembongkaran, surat peringatan sebanyak tiga kali dilayangkan ke pihak pengembang.
"Dari surat peringatan, kemudian penyegelan, kemudian yang bongkar-bongkar. SPB (Surat Perintah Bongkar) tahun 2015 ya. Itu diberikan oleh Suku Dinas Penataan Kota Jakarta Utara. Jadi sesuai dengan kewenangannya, itu diberikan kepada suku dinas," kata Iswan saat itu.
Namun pembongkaran tak pernah dilakukan. Yang ada yakni penghentian aktivitas pembangunan di pulau itu. Pihak PT Kapuk Naga Indah disebutnya memberikan surat pernyataan untuk menghentikan kegiatan, bila ada pelanggaran terhadap surat pernyataan itu maka PT Kapuk Naga Indah bersedia untuk dibongkar bangunannya.
Pihak pengembang pulau ini adalah PT Kapuk Naga Indah yang merupakan anak perusahaan PT Agung Sedayu Group milik Sugianto Kusuma alias Aguan.
![]() |
Kemudian penyegelan kedua dilakukan oleh Ahok pada 4 April 2016. Masalahnya masih sama, yakni IMB yang belum didapat.
"Kalau untuk reklamasi memang enggak salah, misalnya untuk lalu lalang, enggak masalah loh. Yang enggak boleh kan mendirikan bangunan," kata Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, 7 April 2016 lampau.
Ahok menyatakan bangunan itu tetap bisa berdiri asalkan pemiliknya terus membayar denda. "Kalau dibongkar kan investasi rusak," kata Ahok saat di Pulau D, 4 Mei 2016.
Kemudian pada 30 Juni 2016, para Komite Gabungan yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Pemprov DKI memutuskan reklamasi Pulau D, C, dan N diteruskan, tapi bangunan awal pulau reklamasi itu harus dibongkar terlebih dahulu. Maksudnya bukan hanya bangunan di atas pulau yang harus dibongkar, tapi pulau itu sendiri yang harus dibongkar.
"Jadi sederhana saja seperti saya datang ke pengembang, mau manut sama negara atau nggak. Kalau mau manut, laksanakan. Kalau nggak manut, we sikat," kata Menko Kemaritiman Rizal Ramli dalam jumpa pers saat itu, di Gedung BPPT I, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Pada 13 September, menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli berganti Luhut Pandjaitan. Luhut akhirnya memutuskan reklamasi bisa dilanjutkan. Saat ditanya apakah keputusan Rizal Ramli dicabut, Luhut menjawab, "Iya kira-kira begitulah," jawab Luhut.
![]() |
Namun pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan kewajiban pengembang untuk membongkar pulaunya sebelum melanjutkan reklamasi tetap tidak berubah. Waktu berjalan, bangunan-bangunan di Pulau D tetap kokoh berdiri. Pembongkaran tak kunjung dilakukan.
Akhirnya, Kamis (7/6/2018) pagi tadi, Gubernur Jakarta Anies Baswedan menyegel Pulau D. Penyegelan ini menjadi yang ketiga kalinya. Alasannya sama seperti saat Ahok menyegel, yakni tak adanya IMB. Ada 932 bangunan di pulau ini, apakah bangunan di Pulau D akan dibongkar?
"Nanti kita lihat, karena kita lihat juga sesuai dengan rencana pengembangannya seperti apa," kata Anies di Pulau D, tadi.
(dnu/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini