Psikolog: IQ, EQ, dan SQ Pelajar Gantung Diri di Blitar Tak Seimbang

Psikolog: IQ, EQ, dan SQ Pelajar Gantung Diri di Blitar Tak Seimbang

Erliana Riady - detikNews
Kamis, 31 Mei 2018 10:00 WIB
Data dan pesan EP sebelum gantung diri/Foto: Erliana Riady/File
Blitar - Kasus pelajar SMP yang nekat gantung diri menjadi perhatian dan perbincangan. Pelajar yang dikenal cerdas itu, mengambil keputusan mengakhiri hidup karena takut tidak diterima di SMA favorit di Kota Blitar.

Seorang Psikolog, Racmad Widiharto berpendapat, kenekatan anak itu mengakhiri hidup dengan cara tragis menunjukkan adanya ketidak seimbangan antara Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotientnya (SQ).

"Dalam psikologi ada tiga aspek, yakni IQ, EQ dan SQ. Kalau dilihat dari intelektualnya anak ini memang bagus karena bisa masuk SMPN favorit di Kota Blitar. EQnya atau orang Jawa bilang mbeneh, hubungan antar sesama manusia kurang dengan orang tua. Dan SQ, keimanan. Saya melihat kasus ini terjadi karena tidak seimbangnya ketiga aspek itu. Dan ketiga aspek itu porsi terbesar ada di tangan orang tua, bukan sekolahnya," jelas Rachmad kepada detikcom di kediamannya Jalan Mastrip, Kamis (31/5/2018).


Secara akademis, lanjut dia, EP memang cerdas. Namun keinginan kuat dan mungkin tuntutan dari keluarga dan lingkungan untuk masuk ke SMA favorit, menjadi beban yang sangat berat baginya. Apalagi, kakak-kakaknya juga berhasil secara akademis.

Selain itu Racmad melihat, berbagai kemudahan yang diberikan orang tuanya, justru membuat kemampuan anak untuk mengatasi masalah (problem solving) berkurang.

"Anak seusia dia, harus hidup jauh dari orang tua. Walaupun terus didampingi pengasuh, namun pola komunikasi antara anak dengan orang tua itu tidak bisa digantikan oleh orang lain. Semua keputusan yang dia ambil, tidak bisa dibicarakan dengan pengasuhnya tentu saja," ungkap pria dari lembaga Lazuardi ini.


Racmad mengaku pemikiran orang tua zaman sekarang yang tidak ingin anaknya mengalami kesusahan seperti yang mereka alami dulu, justru salah. Berbagai kemudahan diberikan orang tua pada anak. Namun anak tidak diberikan kewajiban dan tanggung jawab.

"Seharusnya dengan kemapanan ekonomi orang tuanya sekarang, anak masih harus tetap diberi kewajiban dan tanggung jawab sesuai porsinya. Ini bisa meningkatkan kemampuan anak tersebut untuk mengatasi setiap masalah yang dihadapinya," imbuhnya.

Kegiatan sederhana, seperti ikut membersihkan kamarnya, mencuci bajunya sendiri, menurut Rachmad bisa mengasah kemampuan anak mengatasi masalah yang terjadi.


Dilihat dari pesan-pesan yang diberikan untuk orang tua, pengasuh dan teman-temannya, lanjut Racmad, menunjukkan adanya kekosongan ruang cinta dalam pribadi EP.

"Hidupnya seperti ditarget. Tanpa sentuhan kasih sayang. Ada ruang cinta yang kosong. Anak seusia dia butuh sentuhan kasih sayang orang tuanya," tuturnya.

Namun Racmad tidak menyalahkan orang tua yang bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

"Bukan kuantitasnya, namun sempatkanlah mengusap rambut mereka selagi mereka tidur. Kirimkan doa penyemangat melalui HP saat tidak bisa bertemu dengan mereka. Kualitas kasih sayang, itu yang utama untuk menyeimbangkan emosi dan spiritualitas anak," pungkasnya. (fat/fat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.