"Kekerasan di sekolah dalam konteks apapun tidak diperbolehkan, apalagi sampai menampar, tidak boleh. Ini sangat membahayakan terhadap psikologis siswa. Menjewer kalau kultur zaman dulu saya masih sekolah masih bisa diterima, kalau sekarang ada hak asasi manusia, dianggap melanggar HAM (hak asasi Manusia)," ujar Nizar kepada wartawan, Jumat (20/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nizar, cara-cara kekerasan di dunia pendidikan, di seluruh dunia, telah ditinggalkan. Nizar menganggap itu merupakan bentuk kekerasan dan melanggar HAM.
"Pendidikan di seluruh dunia telah meninggalkan kekerasan karena melanggar HAM. Definisi kekerasan dalam pendidikan adalah hukuman (yang) terasa keras bagi anak sehingga anak merasakan sakit. Hukuman dalam pendidikan kan harusnya memberikan kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dengan cara cara yang santun," sebutnya.
Nizar menyayangkan cara guru itu menampar siswa, meskipun alasan pihak sekolah para korban itu meninggalkan kelas, datang telat, hingga sering bolos. Bagi Nizar, guru yang profesional tak seharusnya bertindak demikian.
"Guru yang profesional tidak boleh terbakar oleh emosi yang dirangsang dari lingkungan. Apalagi hanya karena beberapa siswa yang keluar saat mata pelajaran guru yang menampar itu," ucapnya.
"Profesi guru kedudukannya mulia, karena walau siswa meninggalkan di saat mata pelajaran harus bisa menahan diri agar tidak emosi dengan menghukum dengan tamparan. Apa lagi sampai ada siswa yang merekam dan mem-posting di media sosial secara tidak langsung, itu menunjukkan protes siswa terhadap gurunya," tegas Nizar.
Peristiwa ini terjadi di SMK Kesatrian Purwokerto. Ada 9 korban penamparan guru itu. Pihak sekolah mengaku tak menduga hal ini akan terjadi. Sementara guru berinisial LK masih diperiksa polisi. (gbr/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini