Dengan hashtag #KhatamToleransi, Ketua MPR Zulkifli Hasan membagikan pengalamannya saat berkunjung ke Tuban, Jawa Timur, 17 Juli 2017. Di kota itu, dia hadir antara lain untuk meresmikan patung Khong Co Kwan Sing Tee Koen setinggi lebih dari 30 meter di dalam kompleks Kelenteng Tri Dharma Kwan Sing Bio.
"Di tengah masyarakat Tuban yang mayoritas muslim, berdiri Klenteng Kwan Sing Bio seluas 10 hektar. Aman, damai & tidak ada masalah," kicaunya melalui akun @ZUL_Hasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BACA JUGA: Patung Khong Co di Tuban Simbol Kesetiaan, Kebenaran dan Keberanian
Selang dua pekan kemudian, Mohamad Egi, yang menyebut dirinya sebagai Ketua Umum Gerakan Oposisi Nasional (Gonas), justru menyuarakan hal yang bertentangan dengan Zulkifli. Lewat akun Facebook, 30 Juli, ia menyerukan agar patung Kwan Sing Tee Koen yang diresmikan Zulkifli tersebut dirobohkan.
Egi menganggap tinggi patung tersebut telah melecehkan pahlawan nasional Panglima Besar Jenderal Sudirman. Sebab, tinggi patung Sudirman di Jakarta cuma 12 meter.
Dalam status bertajuk 'Boemiputra Menggugat', ia sesumbar bersama sejumlah ormas akan berunjuk rasa di halaman depan DPRD Jawa Timur, Jalan Indrapura, Surabaya, Jawa Timur, pada Senin, 7 Agustus 2017, guna menuntut pembongkaran patung tersebut.
BACA JUGA: Ormas di Jatim Tolak Patung Panglima Perang Kwaan Sing Tee Koen
Iwan Santosa, penulis buku 'Peranakan Tionghoa di Nusantara' dan 'Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran', menyatakan prihatin atas penafsiran dan menjurus ke arah SARA tersebut. Mainstream Buddha Dharma di China, Jepang, dan Korea, kata dia, berakar dari Tibetan, yang mengambil basis filosofi dari Muara Jambi era Sriwijaya abad VI-X Masehi.
"Arus utama Buddha Mahayana di Asia Timur itu basis filosofinya dari Nusantara. Bukannya bangga akar budaya Nusantara mewarnai CJK, eh malah dianggap 'liyan'," kata Iwan.
Pada pertengahan Februari 2016, juga sempat beredar pemelintiran informasi seolah ada Monumen Po An Tui di lingkungan Taman Mini Indonesia Indah. Padahal monumen yang dimaksud adalah monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC Tahun 1740-1743. Monumen di dalam kompleks Museum Budaya Tionghoa dan Museum Hakka itu diresmikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 14 November 2015.
Menurut Kepala Unit Kerja Taman Budaya Tionghoa TMII Brigjen TNI Teddy Jusuf, ide pembangunan monumen itu berasal dari kerabat keluarga Mangkunegaran. Sebab, ada leluhur mereka yang terlibat langsung dalam perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa melawan VOC.
Leluhur yang dimaksud adalah Raden Mas Said atau Mangkunegoro I dan Pangeran Mangkubumi atau Hamengku Buwono I. Keduanya, pada 1983, mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional.
"Peristiwa dalam monumen tersebut tahun 1740-1743, sedangkan Po An Tui mulai terbentuk tahun 1940-an. Bedanya 200 tahun, nyambung nggak?" kata Teddy saat ditemui detikcom waktu itu. (jat/fay)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini