×
Ad

Kolom

Memotret Tantangan Proporsional Terbuka

Supriatmo Lumuan - detikNews
Selasa, 23 Des 2025 10:17 WIB
Foto: Ilustrasi pemilu (Freepik/freepik)
Jakarta -

Perdebatan soal apakah sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka yang cocok di terapkan Indonesia telah berlangsung lama. Namun, dalam Sejarah kepemiluan kita, kedua sistem ini telah gunakan.

Misalnya pada tahun 1955 kita menggunakan Proporsional, dengan BPPD (Bilangan Pembagi Daftar Pemilih) sebagai syarat keterpilihan, tahun 1971-1999 menggunakan proporsional tertutup dan hanya memilih partai.

Sementara pada tahun 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka namun, calon terpilih harus mencapai BPP (bilangan pembagi Pemilih) (lihat pasal 107 UU 12/2003), dan pada tahun 2009- sekarang menggunakan proporsional terbuka dengan suara terbanyak.

Namun, tulisan ini tidak dalam konteks menilai sistem yang paling layak di gunakan saat ini, dengan menghadap-hadapkan proporsional tertutup dan proporsional terbuka. Tetapi, lebih pada menilai fisibilitas proporsional terbuka dengan berbagai macam tantangan kontestasi saat ini.

Lalu pertanyaan kritisnya, apakah 5 kali pemilu penggunaan sistem proporsional terbuka sejak pemilu 2004 sampai 2024 telah memperbaiki secara substansial kontestasi legislative kita? Menurut penulis ada 2 hal yang hari ini menjadi tantangan substansial dari sistem Proporsional terbuka.

Hilangnya Politik Gagasan

Menarik apa yang disampaikan oleh Manuel Castells yang menyebut bahwa anda akan Memenangi pertarungan politik jika anda memenangi pertarungan di tingkat gagasan (Masdar Hilmy, 2017:55). Apa yang disampaikan Manuel Castells adalah cita-cita paling tinggi yang di rekonstruksi oleh demokrasi dalam merebut daulat rakyat.

Namun faktanya, gelanggang politik kita jauh dari cita-cita luhur tersebut, sistem proporsional terbuka telah mengubah perilaku politik para calon yang lebih mengandalkan isi tas di banding isi pikiran. Burhanudin Muhtadi, mengatakan sistem Proporsional terbuka cenderung mengarah pada politik electoral yang bertumpuh pada kandidat dan personal vote.

Jika dibandingkan dengan proporsional tertutup, proporsional terbuka memberikan insentif lebh pada calon dalam melakukan politik uang (Burhanudin Muhtadi, 2019:264).

Realitasnya, dengan menggunakan Proporsional terbuka sentuhan gagasan dalam kontestasi seakan tidak menjadi faktor dominan memenangkan pertandingan, tetapi isi tas yang menentukan kemenangan. Para politisi di paksa oleh keadaan untuk mengandalkan isi tas, karena kalau tidak, dipastikan kalah. Penulis yakin para politisi juga membenci politik uang sebagai alat pemenangan, tetapi mereka seperti have no choice.

Para politisi yang tidak punya niat melakukan politik uang, ketika masuk gelanggang harus mengubah pola pikirnya, karena arena pertarungan tidak memungkinkan politisi hanya mengandalkan ide dan gagasan sebagai modal politiknya.

Bahkan, lebih miris lagi keyakinan soal isi tas ini bukan hanya di yakini oleh politisi kita, tetapi masyarakat sebagai pemilik daulat juga meyakini, bahwa siapapun yang memiliki logistik banyak akan memenangkan pertarungan: no money no winning.

Pemahaman seperti ini sangat membahayakan masa depan demokrasi. Oleh karena itu, Politik uang harus di lawan dengan berbagai cara, agar politik gagasan tumbuh dan mewarnai pemilu ke depan.

Menggerus Eksistensi Partai Politik


Salah satu fungsi dasar dari partai politik adalah menjadi penghubung antara negara dan masyarakat. Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang bisa mengambil peran langsung di jantung kekuasaan melalui kader-kader mereka di legislatif maupun eksekutif. Partai politik dan demokrasi bagaikan dua mata uang yang tak boleh dipisahkan, menguatkan partai politik sama dengan memperkuat demokrasi.

Salah satu tantangan dari proporsional terbuka adalah partai politik seakan kehilangan dominasi dari perdebatan politik. Gelanggang politik di isi oleh pertarungan para caleg, bukan pertarungan antar partai politik memperjuangkan ideologi membangun bangsa.

Partai politik tidak lagi jadi produsen memproduksi kader-kader terbaik untuk dicalonkan memperjuangkan cita-cita mulia mereka, namun partai politik hanya di jadikan kendaraan politik merebut kuasa.

Orang masuk partai bukan karena cocok dari sisi ideologi dan napas perjuangannya, tetapi lebih pada kemungkinan bisa terpilih. Sehingga, orang maju menjadi anggota legislative lebih sibuk mengumpulkan isi tas di banding mengisi isi otak dan memperjuangkan ideologi partainya.

Partai politik kehilangan sentuhan magisnya dalam gelanggang politik, Bahkan, seakan-akan Partai politik hanya sekedar stempel melegalisasi orang untuk maju dalam pemilu. Alat peraga kampanye dalam pemilu legislative di dominasi foto caleg, sementara logo partai hanya sebagai pemanis dengan ukuran kecil.

Partai politik sebagai peserta pemilu (pasal 1 ayat 27 UU/7/2017) kehilangan makna, karena yang terjadi di lapangan adalah pertarungan para caleg merebut legitimasi rakyat.

Rekomendasi


Dari dua masalah di atas menurut penulis Penggunaan proporsional terbuka harus memenuhi dua ketentuan untuk menghadirkan keadaban politik dalam gelanggang pemilu. pertama. harus ada pengaturan yang ketat soal politik uang. Politik uang tak boleh lagi hanya soal pelanggaran pidana, tetapi juga menjadi pelanggaran administrasi.

Misalnya Ketika ada laporan politik uang, maka dilakukan dua jalur penanganan, pertama soal pidana di tangani gakumdu yang ujungnya adalah pemidanaan pelaku.

Kedua, penanganan adminstrasi (bukan Administrasi TSM) yang di tangani oleh Bawaslu secara mandiri, yang ujungnya pencoretan dari pencalonan. Karena, yang paling penting dari perbaikan pemilu kita adalah pemberian sanksi yang maksimal sebagai upaya menghalangi orang melakukan pelanggaran.

Harus ada aturan yang mengatur soal proses pencalonan, bahwa yang dicalonkan oleh partai politik adalah orang yang telah minimal 1 tahun menjadi anggota. Pengaturan ini untuk memperkuat posisi partai politik dengan memberi waktu mendidik, dan mentransfer arah perjuangannya kepada kader-kadernya. Sehingga, yang dicalonkan oleh partai betul-betul kader yang telah mengikuti tahapan kaderisasi yang cukup.

Kemudian, dari sisi syarat keterpilihan calon, penulis mengusulkan tetap menggunakan proposional terbuka, dengan syarat calon terpilih harus memperoleh suara minimal 30% dari jumlah akumulasi suara partai politik. Skema ini hampir sama dengan skema yang ada dalam ketentuan pasal 214 UU 10/2008. pengaturan ini penting untuk mengatur standar legitimasi bagi calon terpilih yang berhak mewakili kepentingan partai politik di parlemen.

Logika ini secara substansial sama dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang mensyaratkan suara lebih dari 50%, sebagai standar legitimasi keterpilihan.

Oleh karena itu, secara konsep orang bisa berdebat soal sistem pemilu, tetapi fakta sengkarut kontestasi tak boleh di biarkan terus menerus terjadi. Tak boleh hanya asal tiru sistem pemilu, karena kesalahan memilih sistem pemilu adalah investasi awal mendegradasi demokrasi.

Semoga ikhtiar bangsa ini memperbaiki sistem pemilu melalui kodifikasi Undang-undang pemilu adalah upaya menghentikan produksi kejahatan demokrasi di negeri ini. Amin


Supriatmo Lumuan. Ketua KPU Kabupaten Banggai Kepulauan periode 2023-2028.

Simak juga Video: Ahmad Doli Spill Sistem Pemilu yang Cocok untuk Indonesia




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork