Sejak reformasi 1998, perubahan kepemimpinan politik di Indonesia dilakukan melalui mekanisme pemilu yang melibatkan rakyat secara langsung. Setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki hak konstitusional menjadi pemutus persaingan dalam pergantian kepemimpinan.
Suara pemilih tidak hanya menentukan siapa yang berkuasa, tetapi juga menentukan penilaian seberapa demokratis pelaksanaan pemilu.
Pilihan politik warga negara merupakan ekspresi kesadaran yang diaktualisasikan dalam bilik suara (Mutz, 2013). Perilaku memilih merefleksikan interaksi yang kompleks antara ikatan sosial, identitas politik, konteks sosio-ekonomi, budaya, hingga mobilisasi masa dan penetrasi politik transaksional (pork and barrel).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masyarakat dengan tradisi demokrasi elektoral yang relatif baru, preferensi politik tidak hanya dipengaruhi oleh rasionalitas individu, tetapi juga oleh jaringan sosial, figur otoritatif, dan dinamika lokal.
Kharisma tokoh atau calon sangat imperatif terhadap pilihan politik seseorang. Namun soal-soal kebijakan publik, program merakyat atau visi ekonomi si calon hanya jadi bumbu dari konstelasi politik.
Menurut Mohammad Asfar (2006), proses penentuan pilihan politiknya tergantung pada determinasi aspek sosiologis, kepemimpinan, partai politik dan agama. Sementara, Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya "Perubahan perilaku politik dan polarisasi umat Islam 1965-1987" menemukan fakta bahwa apa yang menjadi temuan Geertz (1983) tentang corak pemilih abangan, santri, dan priyayi mulai menyimpang dari akar primordialnya.
Posisi santri tidak lagi memilih partai-partai Islam. Bahkan, kaum santri atau ulama yang masuk dalam birokrasi orde baru menjadi pembawa pesan tentang keberhasilan pemerintah.
Opini Media
Perubahan tersebut makin terpolarisasi dengan transformasi digital yang sangat massif. Preferensi politik seseorang terpapar dengan teknologi informasi dan komunikasi yang masuk langsung di tangan-tangan para pemilih melalui HP.
Manuel Castells menyebutkan dalam masyarakat jaringan, kendali yang bersifat hierarkis berubah menjadi horizontal. Otoritas politik tidak lagi pada satu titik, baik itu ketokohan, kealiman atau kharisma. Melainkan dikomunikasikan dalam rumah kaca informasi yang dapat dibentuk melalui opini, buzzer atau iklan politik.
Massifnya penggunaan teknologi, sosial media hingga akal imitasi (AI) dalam kampanye-kampanye politik membangun persepsi kepada masyarakat sehingga membentuk tindakan dan perilaku politik.
Buzzer politik yang direkayasa untuk menggambarkan sosok calon secara sempurna menciptakan pengetahuan, opini dan informasi yang kadang tanpa dicerna masyarakat. Gimmick dan hoaks terkadang lebih dipercaya daripada fatwa ulama/akademisi/tokoh masyarakat.
Persepsi informasi dalam membentuk persepsi dan tindakan politik, informasi-informasi tersebut berasal dari sosial media. Karena itu, perilaku memilih tergantung dengan konteks preferensi politik yang mempengaruhinya pada kekinian.
Artinya, loyalitas pemilih yang cenderung bertahan kuat pada pemilih tua dan komunitas pedesaan yang sering kali mengandalkan jaringan patron-klien serta otoritas lokal dalam menentukan pilihan politik, dihadapkan pada pergeseran karena informasi politik berasal dari media massa dan teknologi (Mietzner, 2013; Mujani & Liddle, 2019).
Penelitian Aspinall (2014) dan Tapsell (2021) menegaskan bahwa digitalisasi kampanye dan personalisasi kandidat kini semakin mempengaruhi perilaku pemilih, khususnya pada generasi muda perkotaan yang memiliki akses luas terhadap teknologi, terdidik, lebih kritis terhadap program politik.
Perubahan selera pemilih juga dapat ditakar dari faktor politik uang dalam mempengaruhi keputusan pemilih. Penelitian Muhtadi (2020) tentang kuasa uang dalam pemilu legislatif memberikan gambaran yang signifikan besar terhadap partisipasi dan perilaku pemilih (Muhtadi. 2020). Usai 2019, penetrasi politik uang semakin meningkat drastis dalam beragam kesempatan pemilihan.
Mulai bergesernya faktor-faktor sosiologis (agama, kharisma, usia, suku, pendapatan, dll), munculnya faktor digitalisasi kampanye, politik uang, perubahan demografi penduduk hingga meningkatnya basis pemahaman masyarakat terhadap demokrasi substantif akan menentukan pola baru pemilih di Indonesia.
Perubahan Sistem Pemilu
Preferensi pemilih juga akan tergantung pada sistem dan desain pemilu. Salah satu perubahan yang final dan mengikat adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu dan nasional.
Pada saat pemilu model ini dilakukan di Indonesia pada rentang 1957-1958 juga di Jakarta, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Sumsel, Riau dan Kalimantan. Hasil yang mencengangkan, PKI berhasil menaikkan perolehan suara hingga 27 persen dari pemilu 1955. PKI menjadi penguasa Jawa kala itu.
Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2003) menyebutkan kemenangan PKI ini menjadi kekhawatiran PNI, Masyumi, dan NU. PKI ditakutkan akan memenangkan pemilu yang direncanakan pada September 1959.
Padahal PKI baru dihajar skandal politik dalam pemberontakan 1948. Lalu apa yang menjadi isu, strategi, pendekatan, program dan kebijakan sehingga pemilih tergerak nuraninya mencoblos calon-calon dari partai berlambang palu arit tersebut?
Daniel S Lev dalam The Transition to Guided Democracy (2009) menengarai bahwa keberhasilan PKI dalam pemilu lokal karena PNI, Masyumi dan NU terlalu terkonsentrasi pada politik Jakarta, sementara PKI bekerja giat di desa-desa dan kota-kota di seluruh negeri. Sehingga citra partai yang merakyat dan teroganisir terpersepsikan secara utuh dalam pikiran-pikiran masyarakat, menimbulkan kesan dan faedah bagi harapan rakyat.
Pertanyaan yang relevan bukan hanya apakah loyalitas politik bertahan atau melemah, tetapi juga bagaimana transformasi tersebut terjadi pada level praksis sehari-hari pemilih. Bagaimana praktik lama dan pola baru tidak saling menggantikan, melainkan berinteraksi dan bernegosiasi secara kompleks dalam perilaku pemilih.
Pelajaran dari kemenangan PKI dalam pemilu daerah tahun 1957-1958 menunjukkan perubahan perilaku memilih juga dipengaruhi dari sistem dan desain pemilu. MK dalam putusan 135 telah mengikat desain bersifat pemilu nasional dan lokal. Dimana pelaksanaan dari pemilu nasional ke lokal berjarak waktu 2-2,5 tahun.
Artinya, pemilu lokal di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa bertolak belakang dengan hasil pemilu nasional, jika partai pemenang pemilu nasional gagal menyajikan program yang pro terhadap kepentingan rakyat.
Pemilih memiliki waktu yang lebih cepat menghukum pemenang pemilu. Peserta pemilu akan dihadapkan pada tantangan era pemilih yang lebih kompleks. Akankah muncul jenis pemilih baru yang mendobrak pembacaan dari teori-teori lama? Seperti Nepal memilih Sushila Karki melalui aplikasi Discord.
Ahan Syahrul Arifin. Mahasiswa S-3 Universitas Brawijaya Malang, Tenaga Ahli di DPR RI.
Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah
(rdp/imk)










































