Dalam negara demokrasi pemilu yang adil dan jujur merupakan indikator penting bagi terbentuknya pemerintahan. Keadilan dan kejujuran pelaksanaan pemilu terekam dari sistem pemilu dan proses pemilihan.
Sistem pemilihan menyangkut bagaimana pemilih memberikan suara, penghitungan suara dan pembagian kursi. Sedangkan proses pemilihan merupakan bagian esensial dari manajemen pelaksanaan yang fair, tidak berpihak, transparan oleh penyelenggara pemilu.
Syarat pemilu adil adalah hak pilih yang sesuai, pendidikan politik dilakukan secara masif, proses pemilihan yang adil dan terbuka. Keterbukaan tidak hanya berlaku untuk penyelenggara pemilu tetapi juga dalam proses pencalonan kandidat, kampanye,
pemungutan dan penghitungan suara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sistem pemilu isu krusial yang seringkali jadi magnet perdebatan adalah formula pemilihan, distrik magnitude (besaran dapil) dan elektoral threshold.
Perludem menyebutkan ada empat hal utama yang menjadi bagian penting dalam dunia kepemiluan yakni aktor pemilu, sistem pemilu, manajemen pemilu dan hukum pemilu. Aturan-aturan tersebut terdapat dalam undang-undang kepemiluan yang bolak-balik diuji di mahkamah konstitusi.
Di Indonesia, sejak pertamakali melaksanakan pemilu, sistem yang digunakan selalu sistem proporsional, baik tertutup, proporsional terbuka atau proporsional yang dimodifikasi.
Perubahan signifikan dilakukan pasca reformasi dengan sistem yang melibatkan rakyat dari pemilihan langsung baik legislatif maupun eksekutif. Rekayasa sistem pemilu sampai pada titik keserentakan pemilu legislatif yang dilakukan dalam dua pemilu terakhir.
Evolusi Sistem Pemilu
Menurut Andrew Reynolds (2014) sistem pemilu yang baik dapat memberikan secercah surga, namun sistem pemilu yang buruk dapat memberikan perjalanan lebih cepat ke neraka.
Pemilu serentak 2019 merupakan neraka bagi para penyelenggara, data KPU menyebutkan 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit akibat sistem coblos 5 kotak tersebut.
Beban pemilu yang terlalu besar untuk penyelenggara dan jeda pelaksanaan pemilu ke pilkada yang berdekatan pada tahun 2024 menjadi salah satu dasar bagi MK untuk memutuskan perubahan sistem pemilu.
Pemilu nasional, 3 kotak suara (Pilpres, pemilu anggota DPD dan pemilu anggota DPR RI) serta pemilu lokal yang bisa dilaksanakan bersamaan atau bergantian antara pemilu legislatif dan eksekutif di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilu lokal dijeda 2-2,5 tahun pasca pemilu nasional yang tetap pada tahun 2029.
Allen Hicken (2020) dalam "When Does Electoral System Reform Occur?" menyebutkan ada tiga hal yang mendasari perubahan desain sistem pemilu. Ketiga hal tersebut adalah systemic failure atau kegagalan sistematis, catalysts crisis respon terhadap krisis, dan incumbent preference atau preferensi petahana.
Kegagalan sistematis menyangkut kegagalan dari sistem pemilu yang melahirkan pemerintahan yang stabil, efektif, representatif dan bertanggungjawab. Selama pasca reformasi, pemilu di Indonesia terlepas dari kritik dan kekurangan pemerintahan terpilih mampu menjalankan pemerintahan secara baik.
Dari pemilu ke pemilu yang berlangsung, pemerintahan dengan ajeg menjaga stabilitas politik, ekonomi, atau skandal besar yang mengguncang legitimasi sistem maupun pemerintahan. Preferensi petahana yang ditunjukkan dari sikap partai politik di parlemen menggambarkan bahwa perubahan desain tidak akan terjadi secara revolusioner.
Fakta tersebut sangat terasa dalam konteks di Indonesia, kompromi kepentingan partai-partai parlemen menjadi determinan dari sistem pemilu terbentuk. Menurut Hicken, perubahan sistem pemilu adalah hasil interaksi antara tekanan struktural (kegagalan/krisis) dan kalkulasi strategis aktor (petahana/partai politik).
Dengan kata lain, perubahan tidak semata karena idealisme demokratis, evaluasi terhadap penyelenggaraan, kejenuhan pemilih, isu daerah, kaderisasi partai, kartelisasi pilkada, hingga pelembagaan partai tetapi lebih karena dinamika kekuasaan dan konteks politik kepentingan pemilu.
Perubahan dari MK dan beberapa penolakan dari pembuat undang-undang. Secara teoritik merupakan teropong untuk memahami teori strukturalisme, institusionalisme historis, dan teori pilihan rasional. Lebih dari itu, memahami perilaku politik partai-partai terhadap keputusan MK untuk melakukan perubahan desain.
Respons pembuat undang-undang tidak lebih dari upaya untuk mencari kompromi kepentingan kekuasaan. Tiga hal yang jadi pendulum Hicken merasionalisasi lambat atau cepatnya pembahasan undang-undang kepemiluan/kepilkadaan.
Koreksi Pemilih
Pemilu adalah sarana transfer kekuasaan dengan damai sekaligus pelembagaan konflik secara formal yang terikat dalam undang-undang. Evaluasi terhadap kekalahan dan kemenangan akan dilakukan selama 5 tahun. Namun demikian, desain baru yang bersifat final dan mengikat dari MK sebagaimana aturan MK akan mengubah lanskap dan konstelasi pemilu.
Pemilu lokal bisa jadi trayek evaluasi lebih cepat terhadap kepemimpinan nasional. Maksudnya, kemenangan partai-partai dalam pemilu nasional jika tidak diiringi dengan kerja-kerja publik yang baik, terampil dan teknokratis. Pada pemilu lokal yang dilaksanakan 2-2,5 tahun pasca pemilu nasional jadi ajang evaluasi kritis terhadap pemerintahan pusat yang sedang berkuasa.
Pengalaman pemilu lokal pertama di Indonesia sepanjang 1957-1958 yang menggelar pemilu daerah di Jakarta, Jabar, Jateng, Yogjakarta, Jatim, Sumsel, Riau dan Kalimantan bisa jadi pelajaran mewah. Kemenangan PKI yang berhasil menaikkan perolehan suara hingga 27 persen dari pemilu 1955 menjadi sumber ketakutan penguasa pada saat itu.
Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama (2003) menyebutkan kemenangan PKI ini menjadi kekhawatiran PNI, Masyumi, dan NU. Keberhasilan PKI memenangkan pemilu lokal akan jadi milestone memenangkan pemilu nasional yang direncanakan pada September 1959.
Artinya, jika kita bandingkan dengan tradisi pemilu di Amerika, pemilu lokal akan jadi semacam pemilu sela. Dimana pemenang pilpres dan pileg nasional akan dievaluasi publik dalam pemilu lokal, sehingga mendorong mereka bekerja lebih baik agar tak dihukum di "mid-term" pemilihan. Kekalahan dalam pemilu lokal akan memupus harapan untuk bisa memenangkan pemilu nasional pada 5 tahun mendatang.
Tradisi ini akan membuat pemilih tersosialisasikan dengan peran pemerintahan secara fungsional. Politisi dan partai akan berupaya melembagakan sistem kepartaian yang lebih terbuka, bertanggungjawab.
Partai-partai politik juga akan bekerja penuh selama memimpin dan mendapatkan kekuasaan. Celah dan kegagalan akan berujung pada kekalahan. Desain sistem pemilu nasional dan lokal tentu akan sangat mempengaruhi cara dan perilaku memilih warga.
Ahan Syahrul Arifin. Tenaga Ahli di DPR RI, Mahasiswa S3 di Universitas Brawijaya Malang.
Tonton juga video "Prabowo Ngaku Tak Dendam dengan Anies: Dia Bantu Aku Menang" di sini:
(rdp/imk)