×
Ad

Kolom

Menggagas Political Question Doctrine pada Judicial Review Pemilu

Satrio Alif Febriyanto - detikNews
Senin, 22 Des 2025 15:09 WIB
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)-(Anggi Muliawati/detikcom)
Jakarta -

Kritik Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra terhadap keterlibatan berlebih Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses legislasi Pemilihan Umum (Pemilu) tidak hanya sebatas asumsi, melainkan berbasis data empiris pengujian Undang-Undang Pemilu.

Data menunjukkan 5 dari 10 undang-undang yang paling sering diujikan menyangkut topik pemilihan umum. Belum lagi, terdapat temuan 18% keseluruhan perkara yang diujikan ke MK menyangkut masalah pemilihan umum.

Bahkan, analisis penulis atas 13 aspek regulasi tata kelola Pemilu menurut teori Mozaffar dan Schedler sudah pernah diujikan semuanya ke MK. Dari 13 aspek, 7 diantaranya diputus kabul dengan topik pembahasan yang menyangkut urusan teknis seperti desain surat suara yang diputus kabul di Putusan Nomor 137/PUU-XXII/2024.

Meskipun perbandingan jumlah antara putusan kabul dengan putusan tolak relatif berimbang, temuan menunjukkan terdapat kecenderungan putusan tolak memiliki acuan konstitusional yang sangat teknis seperti perintah pemberian sanksi bagi partai politik yang tidak mengajukan Calon Presiden di Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024.

Berbagai data tersebut memvalidasi argumentasi Yusril bahwa MK telah merenggut ruang pembentukan kebijakan pembentuk undang-undang khususnya di bidang Pemilu melalui berbagai putusan kabul yang mempersempit pilihan kebijakan yang dapat diambil pembentuk undang-undang.

Karakteristik Khas Perkara Pemilihan Umum dalam Judicial Review

Meskipun merenggut ruang pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, data di atas menunjukkan judicial review telah menjadi saluran partisipasi rakyat dalam memperjuangkan kepentingannya (Eule, 1990). Judicial review memberi rakyat kesempatan untuk mengubah legislasi sesuai dengan kepentingannya (Hickey, 2022).

Kesempatan merubah legislasi secara serta merta tidak dapat diberikan dalam ruang deliberasi parlemen karena pembentukan legislasi yang memerlukan konsensus dan kompromi untuk mencapai suara mayoritas (Bodini, 2025). Situasi ini membuat judicial review dinilai sebagai jalan pintas untuk memperjuangkan kepentingan secara instan.

Fenomena kecenderungan putusan kabul timbul karena titik berat penanganan perkara pemilihan umum dalam judicial review bertumpu pada perlindungan hak memilih dan dipilih sebagai salah dua hak asasi di bidang sipil politik.

Pemenuhan hak sipil politik menghendaki negara berperan pasif untuk menciptakan equal playing field. Negara hanya bertindak sebagai wasit yang memastikan setiap warga negara dapat memperoleh akses atas hak secara merata (Davenport, 1996).

Paradigma tersebut membuat MK berulang kali memutus kabul perkara berdasarkan Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang secara implisit mengatur hak dipilih dan memilih.

Sebagai catatan, tidak ada satupun pasal di dalam UUD NRI 1945 yang mengatur secara eksplisit kedua hak tersebut. Ketiadaan pengaturan eksplisit mendorong MK terus melakukan penafsiran atas permasalahan konstitusional yang diajukan dalam judicial review dan berujung pada penyempitan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk merumuskan pilihan kebijakan sebagaimana keluhan Yusril.

Padahal, penafsiran konstitusional yang dilakukan MK sekalipun tidak dapat dikatakan bebas nilai sepenuhnya karena mekanisme pemilihan hakim dilakukan cabang kekuasaan lain yang membuat tarik menarik kepentingan terjadi.

Hal ini dapat dilihat dari kasus pencopotan Hakim Aswanto di tengah masa jabatan atas alasan membuat putusan bertentangan dengan DPR sebagai lembaga pengusulnya.

Sehingga, penilaian atas MK sebagai lembaga yang independen secara an sich tidak tepat dan membuka jalan baginya untuk menjadi tirani baru karena tidak terdapat mekanisme apapun yang dapat membatasi judicial review.

Membatasi Pembentukan Legislasi Pemilu melalui Political Question Doctrine

Penghormatan atas imparsialitas dan independensi peradilan menjadi alasan ketiadaan mekanisme check and balances yang dapat membatasi judicial review. Ketiadaan mekanisme pembatasan judicial review secara eksternal membuat pembatasan hanya dilakukan secara internal melalui konsep judicial restraint.

Satu-satunya konsep judicial restraint yang secara konsisten digunakan MK adalah open legal policy yang pertama kali digunakan MK dalam ratio decidendi pada Putusan Nomor 10/PUU-III/2005.

Putusan dengan amar ditolak tersebut menyatakan setiap kebijakan pada prinsipnya adalah kewenangan pemerintah sepanjang tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945.

Pemaknaan open legal policy mengalami perluasan di Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menambahkan syarat moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable untuk menilai konstitusionalitas kebijakan. Keenam syarat di atas digunakan secara kumulatif dalam praktik open legal policy sampai dengan hari ini.

Penggunaan keenam syarat secara kumulatif memicu masalah praktik penggunaan open legal policy karena membuat suatu perkara dapat diputus tolak mulanya dan kemudian diputus kabul para perkara lain setelahnya.

Pergeseran pendapat hakim dalam open legal policy bermasalah karena tak dilakukan secara konsisten dengan perbedaan alat ukur yang digunakan. Perbedaan alat ukur rentan membuat MK rentan melakukan yudisialisasi politik dalam setiap putusan yang dibuatnya apalagi dalam perkara pemilihan umum.

Hal tersebut dapat dilihat pada Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang presidential threshold yang dikabulkan dengan alasan melanggar batasan ketidakadilan yang intolerable setelah diputus tolak pada 32 putusan sebelumnya karena dinilai sebagai kewenangan pembentuk undang-undang.

Pergeseran pendapat dalam open legal policy berakar dari perbedaan mekanisme analisis syarat open legal policy yang terdapat dalam Putusan Nomor 10/PUU-III/2005 dengan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.

Mekanisme pengukuran dalam Putusan Nomor 10/PUU-III/2005 berorientasi tekstual berdasarkan kewenangan dan kehati-hatian dari cabang kekuasaan yudisial. Sedangkan, mekanisme pengukuran dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 berorientasi kontekstual mengaacu pada orientasi pemenuhan keadilan.

Pertentangan tersebut dapat diatasi dengan mempertegas diferensiasi analisis yang berorientasi tekstual dan yang berorientasi kontekstual. Mahkamah Agung AS memiliki instrumen analisis tekstual bernama political question doctrine. Political question doctrine pertama kali dikenal dalam Putusan Baker vs. Carr di tahun 1962 terkait gerrymandering (pembagian daerah pemilihan) di negara bagian Tennessee yang tidak diperbaharui selama 50 tahun lamanya.

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung AS merumuskan 6 hal yang dapat menjadi alasan untuk menolak perkara judicial review antara lain: (1) pengaturan tekstual di dalam konstitusi; (2) Ketiadaan standar yudisial; (3) ketidakmungkinan memutus perkara tanpa kebijakan dasar cabang kekuasaan lain; (4) ketidakmungkinan pengadilan mengambil putusan yang independen; (5) kebutuhan yang tidak biasa untuk tidak menanyakan masalah; dan (6) potensi rasa malu yang dimiliki cabang kekuasaan lain.

Keenam alat ukur tersebut secara linier berfokus pada pembatasan secara tekstual dan kehati-hatian cabang kekuasaan yudisial sebagai upaya menjernihkan pemisahan kekuasaan.

Political question doctrine dalam hemat penulis memiliki keserupaan dengan syarat open legal policy dalam Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 karena berfokus pada pengaturan tekstual dan kewenangan setiap cabang kekuasaan dalam konstitusi sebagai acuan.

Namun, political question doctrine sangat berbeda dengan syarat tambahan open legal policy dalam Putusan Nomor 051-052-059/PUU-VI/2008 yang melakukan penilaian atas pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang berpotensi melampaui kewenangan cabang kekuasaan yudisial.

Kondisi ini membuat pemaknaan open legal policy secara kumulatif perlu diubah untuk menciptakan konsistensi penyelesaian perkara dengan menggunakan pengaturan tekstual kewenangan setiap cabang kekuasaan di konstitusi sebagai acuan utama.

Penyelesaian perkara secara tekstual adalah praktik pembatasan internal lembaga peradilan dan menjadi landasan pemurnian kembali pembentukan legislasi kepada cabang kekuasaan legislatif, yang secara alamiah memiliki mandat untuk menentukan kebijakan.

Satrio Alif Febriyanto. Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI.

Tonton juga video "Ahmad Doli Spill Sistem Pemilu yang Cocok untuk Indonesia"




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork