Langkah mengejutkan pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada mantan Dirut ASDP, Ira Puspadewi, tak bisa dipungkiri menjadi pijakan penting dalam menyimpulkan perdebatan penerapan hukum pidana berbasis tindakan korporasi BUMN di Indonesia.
Keputusan berani sang Presiden diumumkan secara resmi oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada 25 November 2025, yang turut didampingi Seskab Teddy Indra Wijaya dan Mensesneg Prasetyo Hadi. Dalam pernyataannya Dasco menegaskan bahwa DPR mencermati dan mendengarkan suara dan aspirasi publik yang cukup kuat terkait kasus ini hingga kemudian melakukan kajian hukum lalu meneruskan kepada pemerintah.
Dasco menyampaikan bahwa Presiden telah resmi menandatangani rehabilitasi bagi Ira Puspadewi dan dua pejabat ASDP lainnya."Alhamdulillah, pada hari ini Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap tiga nama tersebut."
Langkah ini berjalan selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan mengenai penegakan hukum dan keadilan. "Hukum adalah jaminan keadilan, dan keadilan adalah tidak hanya hak setiap warga negara, keadilan adalah tuntutan setiap warga negara," ujarnya dalam sambutan kepada para hakim pada 19 Februari 2025.
Memahami konteks dari cara pandang Presiden Prabowo ini maka rehabilitasi tersebut tidak sekadar kebijakan administratif, melainkan manifestasi dari visi bahwa negara harus memastikan hukum bekerja sebagai alat keadilan, bukan sekadar sebagai sarana hukuman.
Alhasil keputusan rehabilitasi bagi Ira Puspadewi dkk oleh Presiden Prabowo menjadi sebuah catatan sejarah, dan menjadi pintu masuk yang strategis untuk memahami seberapa krusial penerapan hukum yang holistik terhadap keputusan-keputusan bisnis yang dijalankan di BUMN.
Kasus ASDP yang menjerat Ira dan koleganya memang sejak awal memantik perdebatan hukum. Tuduhan korupsi diarahkan berdasarkan anggapan bahwa kebijakan investasi dan pengembangan usaha yang ditempuh ASDP menimbulkan kerugian negara, hingga kemudian dibantah di ruang persidangan dengan bukti-bukti yang faktual.
Asumsi kerugian negara yang menjadi delik utama bisa di-challenge dengan uraian fakta dan data. Sehingga penilaian itu didasarkan pada hasil akhir dan proyeksi potensi kerugian, bukan kerugian nyata. Padahal dalam dunia korporasi, terutama di BUMN yang menghadapi dinamika pasar dan tekanan operasional, keputusan bisnis tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Putusan pengadilan terhadap Ira pun menunjukkan adanya perbedaan diametral dalam penilaian hukum. Majelis hakim memang menjatuhkan vonis bersalah, tetapi tidak secara bulat. Hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion yang kuat dan berbeda arah.
Dia menilai bahwa tindakan para terdakwa tidak memenuhi unsur korupsi dan seharusnya "dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum... keputusan BUMN ini lebih tepat diselesaikan melalui ranah bisnis dan perdata, bukan pidana."
Dissenting opinion tersebut menegaskan bahwa tidak ada niat jahat, tidak ada keuntungan pribadi, dan keputusan yang diambil berada dalam ruang business judgement rules. Ia juga mengkritik penggunaan angka kerugian negara yang bersifat proyeksi dan tidak mencerminkan kerugian riil. Dalam pandangan Sunoto, perkara semacam ini "lebih tepat diselesaikan melalui ranah bisnis dan perdata, bukan pidana."
Pandangan berbeda dari seorang hakim dalam perkara sebesar ini menunjukkan betapa krusial penafsiran antara risiko bisnis dan tindak pidana di lingkungan BUMN
Bisa dibayangkan, jika kacamata pidana menjadi rujukan dalam menilai setiap langkah bisnis, maka direksi dan manajemen BUMN akan bekerja dalam bayang-bayang ketakutan terjerat hukum meskipun semua proses Governance, risk dan compliance sudah dijalankan dengan baik.
Mereka dituntut menghasilkan kinerja tinggi, tetapi bisa dianggap bersalah ketika keputusan yang diambil tidak menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan. Budaya ini menyebabkan pejabat BUMN enggan mengambil risiko, 'cari aman', stagnan padahal inovasi dan transformasi adalah tuntutan utama dalam persaingan global.
Di sinilah makna rehabilitasi Presiden Prabowo menjadi lebih jelas. Keputusan tersebut menegaskan bahwa negara memahami konteks korporasi dan melihat perlunya pemisahan yang tegas antara kesalahan administratif, risiko bisnis, dan niat jahat.
Rehabilitasi ini menjadi pesan bahwa profesional yang bekerja dengan integritas tidak boleh menjadi korban tafsir hukum yang tidak utuh. Ia juga memberi angin segar bagi pejabat BUMN bahwa diskresi bisnis yang diambil dengan itikad baik harus dilindungi, bukan dibayangi oleh jebakan pidana.
Kasus ASDP dapat menjadi momentum penting untuk memperbaiki cara menilai keputusan korporasi. Langkah penegakan hukum sepatutnya perlu memahami prinsip business judgement rules secara utuh. Regulasi mengenai kerugian negara harus ditegakkan dengan standar yang ketat dan berbasis kerugian nyata dan ditetapkan oleh lembaga negara yang kompeten yakni BPK dan BPKP.
Pada akhirnya, rehabilitasi Ira Puspadewi bukan hanya soal pemulihan seorang mantan pejabat BUMN. Ia adalah sinyal awal bahwa komitmen Presiden tegas dan jelas bahwa perlu ada keseimbangan cara pandang soal logika bisnis dan logika hukum.
Dalam pembangunan nasional yang menuntut keberanian dan inovasi, keputusan bisnis yang tidak sempurna tidak boleh langsung dipandang sebagai kejahatan. Keadilan harus berpihak pada akal sehat, dan langkah Presiden Prabowo kali ini menunjukkan bahwa negara bersedia menjaga prinsip itu. Terima kasih Pak Prabowo.
Michael F Umbas. Ketua Umum DPP Arus Bawah Prabowo, eks Wakil Sekretaris TKN Prabowo-Gibran.
Simak juga Video: Prabowo Beri Rehabilitasi ke Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi
(gbr/gbr)