Harmoni Alam dan Budaya
Indonesia menghadapi tantangan besar: krisis iklim, kerusakan hutan, dan degradasi lahan. Di tengah gencarnya transisi energi dan pembangunan hijau, kita sering lupa bahwa kearifan lokal Nusantara sejak lama mengajarkan cara merawat bumi secara berkelanjutan.
Kita memiliki DNA Sustainability yang lahir dari pengalaman hidup bersama alam, menekankan harmoni antara manusia, lingkungan, dan spiritualitas. Nilai ini adalah warisan leluhur yang kini perlu kita perkuat untuk menghadapi krisis global.
Jejak Kearifan Nusantara
Banyak praktik kearifan lokal yang telah terbukti menjaga kelestarian alam:
- Tri Hita Karana (Bali): Menekankan harmoni parhyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan antar manusia), dan palemahan (hubungan dengan alam).
- Sasi (Maluku dan Papua): Larangan sementara untuk memanfaatkan hasil laut atau hutan agar ekosistem pulih.
- Subak (Bali): Sistem pengelolaan air berbasis komunitas dengan filosofi Tri Hita Karana, menjaga produktivitas dan kesuburan tanah selama berabad-abad
- Lubuk Larangan (Sumatera Barat): Penutupan sementara area sungai agar populasi ikan dapat berkembang.
- Panglima Laot (Aceh): Aturan nelayan untuk mengatur musim tangkap dan melindungi habitat laut.
- Repong Damar (Lampung Barat): Sistem agroforestri yang memadukan ekonomi dan konservasi karbon.
Kearifan lokal ini lahir dari kesadaran kolektif masyarakat terhadap batas-batas alam. Prinsipnya sederhana: mengambil secukupnya, memberi waktu alam untuk memulihkan diri, dan menjaga keseimbangan.
Relevansi di Era Krisis Iklim
Krisis iklim membutuhkan lebih dari sekadar teknologi. Kebijakan yang tidak sesuai dengan konteks sosial-budaya sering kali sulit dijalankan. Di sisi lain, aturan adat seperti Sasi atau Awig-Awig dipatuhi karena berakar dalam nilai budaya masyarakat.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, wilayah adat di Indonesia menyimpan lebih dari 17% cadangan karbon nasional. Ini membuktikan bahwa menjaga budaya lokal berarti juga menjaga planet kita.
Langkah ke Depan
Kearifan Nusantara tidak boleh hanya menjadi cerita masa lalu. Untuk memperkuat keberlanjutan lingkungan, kita perlu mengintegrasikannya ke dalam kebijakan masa kini dan masa depan.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Integrasi ke Rencana Pembangunan Nasional: Praktik seperti Sasi dan Repong Damar harus diakui secara hukum dan menjadi bagian dari strategi pembangunan rendah karbon.
- Pemberdayaan Komunitas Adat: Komunitas penjaga hutan, pesisir, dan sungai perlu diberi hak kelola serta insentif agar mereka menjadi garda terdepan konservasi.
- Edukasi dan Regenerasi Pengetahuan: Kearifan lokal perlu dikenalkan di sekolah dan program publik agar generasi muda melanjutkan praktik keberlanjutan ini.
- Kolaborasi Multi-Pihak: Pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat adat harus bekerja bersama menghubungkan pengetahuan tradisi dengan inovasi modern.
Merawat Bumi, Menjaga Jati Diri
Krisis iklim bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan nilai. Kita tidak bisa menyelamatkan bumi dengan cara yang memutus hubungan dengan akar budaya kita sendiri.
Kearifan Nusantara adalah peta jalan moral dan ekologis yang mampu menjadi fondasi kebijakan hijau Indonesia. Mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam pembangunan akan memperkuat harmoni antara manusia, alam, dan kemajuan.
Merawat Bumi dengan Kearifan Nusantara bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi strategi masa depan untuk memastikan keberlanjutan bagi generasi berikutnya.
"Satu Bumi Untuk Semua Generasi"
Endang Kurniawan. Penulis adalah Presiden Emil Salim Institute dan Mahasiswa Doktoral Sekolah Ilmu Lingkungan UI
Simak juga Video Sekjen WMO soal Iklim Global di 2024: Semua Indikator Memburuk
(imk/imk)