Beberapa hari lagi, tanggal 24 Oktober 2025, Masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Dokter Nasional. Makna yang terkandung di dalam peringatan Hari Dokter Nasional semakin mempertegas bahwa dokter merupakan profesi mulia dan sekaligus tertua yang hadir di dunia.
Menurut penulis, agar dokter terhindar dari sengketa medis, harus diwujudkan profesionalitas dokter dalam mengemban profesinya. Pondasi dalam mewujudkan profesionalitas tersebut adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Artinya, KODEKI secara konsisten harus dipahami, diterapkan dan ditegakkan oleh dokter. Di sinilah peran strategis dari Organisasi Profesi Dokter.
Ditinjau dari substansinya, KODEKI memiliki substansi yang komprehensif untuk mewujudkan profesionalitas dokter. Seluruh substansinya bersifat kewajiban, tidak hanya kewajiban yang bersifat eksternal dalam hubungannya dokter dengan pihak atau orang lain, tetapi juga kewajiban yang bersifat internal, yaitu dalam hubungannya dokter dengan diri sendiri.
Artinya, KODEKI menekankan kewajiban dokter dalam berbagai dimensinya, baik internal maupun eksternal, untuk mewujudkan bangunan yang kokoh dalam bentuk profesionalitas dokter. Substansi KODEKI meliputi Kewajiban Umum (diterjemahkan dalam 13 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban Dokter Terhadap Pasien (diterjemahkan dalam 4 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya), dan Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya).
Kewajiban Umum, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk mengamalkan sumpah dan atau janji dokter (Pasal 1 KODEKI); kewajiban dokter untuk menjaga independensinya dan menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri dalam mengemban profesinya (Pasal 2, 3, dan 4 KODEKI); kewajiban dokter untuk selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian dan jujur dalam mengemban profesinya (Pasal 6, 7, dan 9 KODEKI).
Selanjutnya, kewajiban dokter untuk menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (Pasal 10 KODEKI); kewajiban dokter untuk melindungi hidup makhluk insani (Pasal 11 KODEKI); kewajiban dokter untuk memperhatikan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam memberikan pelayanan kesehatan (Pasal 12 KODEKI).
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk merujuk ketika tidak mampu dalam melakukan pengobatan atau pemeriksaan (Pasal 14 KODEKI); kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran (di antaranya meliputi segala sesuatu yang diketahui oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan dan segala sesuatu yang secara sadar maupun tidak disadari disampaikan oleh pasien kepada dokter) (Pasal 16 KODEKI); kewajiban dokter untuk melakukan pertolongan darurat (Pasal 17 KODEKI).
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat, di antaranya meliputi: kewajiban dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (Pasal 18 KODEKI); larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 KODEKI). Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk memelihara kesehatannya (Pasal 20 KODEKI); kewajiban dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan (Pasal 21 KODEKI).
Ditinjau dari sifatnya, KODEKI dapat dideskripsikan sebagai seperangkat peraturan yang mempunyai sifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini berbeda dengan ketentuan hukum yang lebih menitikberatkan pada aspek kuratif (misalnya adanya kelalaian yang menyebabkan kerugian/adanya hubungan kausa antara kelalaian dan kerugian yang timbul untuk aspek hukum perdata dan adanya kelalaian yang menimbulkan luka berat atau meninggal dunia untuk aspek hukum pidana).
Sebelum terjadi sengketa medis atau permasalahan dalam hubungan antara dokter dengan pasien, sebenarnya KODEKI telah memberikan pengaturan yang bersifat promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya sengketa medis atau permasalahan tersebut.
Ketentuan di dalam KODEKI yang mengandung makna promotif, di antaranya adalah:
1. Kewajiban dokter untuk selalu memelihara kesehatannya (Pasal 20 KODEKI)
Kewajiban dokter untuk selalu memelihara kesehatannya bertujuan agar dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan baik kepada masyarakat. Dokter yang mempunyai kondisi fisik dan psikhis yang sehat, diharapkan dapat memberikan pelayanan yang prima kepada pasien.
Salah satu aspek pelayanan prima adalah pelayanan kesehatan yang selalu mengutamakan ketelitian dan kehati-hatian (zorgvuldig handelen) sebagaimana disampaikan oleh Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie." Selain itu, dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dalam kondisi fisik dan psikhis yang sehat, diharapkan dapat menjadi panutan bagi pasien dan masyarakat serta dapat mencegah bahaya dan penularan penyakit bagi pasiennya.
2. Kewajiban dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 21 KODEKI)
Perkembangan permasalahan dalam bidang kesehatan dan penyakit sangat dinamis. Hal ini menuntut dokter agar senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan (lack of skill) dari dokter.
3. Kewajiban dokter untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri (Pasal 4 KODEKI)
Pada dasarnya, pelayanan kesehatan bersifat inspanningsverbintennis dan bukan merupakan resultaatsverbintennis. Seorang dokter yang melakukan perbuatan bersifat memuji diri sendiri (misalnya: mengiklankan diri, mengiklankan kemampuan/kelebihan yang dimiliki), berpotensi untuk mengubah paradigma atau hakekat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya bersifat inspanningsverbintennis menjadi resultaatsverbintennis.
Selanjutnya, hal ini berpotensi untuk menimbulkan gugatan secara perdata dari pasien yang merasa telah dijanjikan keberhasilan atas hasil tindakan medisnya oleh dokter.
Sedangkan, ketentuan di dalam KODEKI yang mengandung makna preventif, di antaranya adalah:
1. Kewajiban dokter untuk bekerja secara independen dan profesional dalam ukuran yang tertinggi (Pasal 2 KODEKI)
Artinya, dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter harus senantiasa melakukan tindakannya sesuai dengan ukuran medis yang tertinggi. Ukuran medis ini adalah berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. KODEKI mengatur suatu hal yang sifatnya ideal, standar tertinggi.
Hal ini berbeda dengan hukum yang hanya mewajibkan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis sekurang-kurangnya berdasarkan kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie) sebagaimana disampaikan oleh Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie."
2. Kewajiban dokter untuk menghormati hak-hak pasien (Pasal 10 KODEKI)
Salah satu hak pasien yang beberapa kali dilupakan oleh dokter adalah hak atas informasi. Mayoritas sengketa medis terjadi karena hak pasien atas informasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, di antaranya disebabkan karena: dokter enggan atau tidak memberikan penjelasan; dokter memberikan penjelasan dengan "bahasa" yang tidak dimengerti dan dipahami oleh pasien; dokter minim dalam memberikan penjelasan.
Hak pasien atas informasi merupakan pondasi dalam pelayanan kesehatan. Hal ini biasanya disebut sebagai informed consent (persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien atas dasar informasi yang diberikan oleh dokter).
Ketentuan di dalam KODEKI dapat mengandung makna kuratif dan rehabilitatif bagi dokter. Kuratif tercermin dari sanksi yang diberikan kepada dokter apabila terbukti telah melakukan pelanggaran etika.
Sanksi bagi dokter yang terbukti telah melakukan pelanggaran KODEKI dapat bersifat: murni Pembinaan; Penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan; Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan; pemberhentian keanggotaan tetap (Pasal 29 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia).
Sedangkan rehabilitatif, wujudnya adalah pemulihan hak-hak profesi bagi dokter yang tidak terbukti melakukan pelanggaran etika atau bagi dokter yang telah selesai menjalani sanksi etika (Pasal 31 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia).
Ditinjau dari ruang lingkup pengaturannya, KODEKI mempunyai ruang lingkup pengaturan yang sangat luas, melampaui ketentuan hukum. KODEKI mengatur pelanggaran etik murni (tidak berimplikasi hukum) dan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum.
Pelanggaran etik murni, misalnya adalah larangan bagi dokter untuk mengiklankan diri dan kemampuan/kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Pasal 4 (2) (3) KODEKI); larangan bagi dokter membuat papan nama dengan ukuran dan ketentuan yang tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh KODEKI (Pasal 4 (4) (a) KODEKI); larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, tanpa persetujuan teman sejawat dan tidak berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 KODEKI); larangan bagi dokter berpraktik dalam kondisi kesehatan yang tidak prima (Pasal 20 (7) KODEKI).
Sedangkan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum, misalnya adalah: dokter yang mempublikasikan rahasia tentang kondisi kesehatan pasien tanpa adanya alasan pembenar (Pasal 16 KODEKI); dokter yang melakukan abortus (Pasal 11 (2) KODEKI), dokter yang melakukan euthanasia (Pasal 11 (2) KODEKI).
Mempertimbangkan substansi dan sifat serta ruang lingkup dari KODEKI, seyogyanya KODEKI menjadi pondasi dalam praktik kedokteran. Pondasi ini harus diperkuat dengan Organisasi Profesi Dokter yang tangguh, tegas dan konsisten dalam mewujudkan profesionalitas dokter. Demi kepastian hukum, harus segera dibentuk peraturan perundang-undangan mengenai Organisasi Profesi Dokter secara meaningful participation untuk menjaga marwah profesi dokter.
Wahyu Andrianto. Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Tonton juga Video: AIPKI Menampik Ada 'Permainan' di Uji Kompetensi Dokter
(rdp/imk)