Kolom

Pertahanan Semesta Presiden Prabowo

Said Abdullah - detikNews
Senin, 06 Okt 2025 08:44 WIB
Foto: Arsip Istimewa
Jakarta -

Tanggal 26 Desember 1991 Uni Soviet bubar, runtuhnya negeri beruang kutub ini juga menandai bubarnya Blok Timur. Praktis Blok Barat menjadi 'penguasa' tunggal dunia.

Banyak ilmuwan mengira dari kekuasaan Barat akan semakin menguatnya agenda liberalisasi politik, dan ekonomi di berbagai kawasan. Bahkan Francis Fukuyama (1989) mengajukan premis, bahwa demokrasi liberal titik akhir dari evolusi dari ideologi manusia.

Titik pijak premis Fukuyama tentu cukup gegabah karena melihat kebangkrutan sosialisme-komunisme. Padahal dunia masih diliputi berbagai pertengkaran ideologi-politik, pasar dan militer.

Kebangkrutan sosialisme-komunisme sebagai jalan politik tidak serta merta membuat dunia dalam genggaman Blok Barat. Munculnya ideologi berbasis absolutisme agama, konflik perebutan sumber daya alam, terorisme internasional dengan beragam bentuknya, hingga konflik kawasan karena perebutan wilayah membuktikan dunia terus bergejolak.

Keberadaan absolutisme agama, pasca runtuhnya komunisme menandai babak baru pertengkaran ideologi dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Wujudnya paling konkret mungkin direpresentasikan oleh Iran dan Afganistan. Kedua negara ini secara diametris berhadap hadapan dengan Amerika Serikat dan sekutunya.

Bagaimana dengan Tiongkok? Tiongkok belajar dari bubarnya Uni Soviet. Sejak era Deng Xiaoping tahun 1978, komunisme Tiongkok lebih revisionis.

Penerusnya seperti Jiang Zemin dan Hu Jintao malah makin revisionis. Tiongkok menjelma menjadi hibriditas politik, antara komunisme dengan pasar.

Tiongkok membangun aliansi aliansi politik melalui pendekatan ekonomi pasar, seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa), maupun melalui proyek jalur sutra baru, dari Asia Tengah hingga ke Eropa, maupun jalur sutra maritim yang terhubung hingga ke Indonesia dan Afrika.

Menguatnya Tiongkok, dan Rusia harus kita akui sebagai 'poros baru' dari kekuatan politik, ekonomi dan militer. Banyak negara dunia ketiga, di Asia dan Afrika berlabuh ke Tiongkok dan Rusia ketika kondisi dalam negeri mereka diobok-obok oleh sekutu.

Bahkan saat Rusia perang dengan Ukraina sejak tahun 2022, Tiongkok membantu Rusia baik secara ekonomi, dengan membeli gas dan minyak Rusia, sekaligus membantu Rusia di meja diplomasi internasional.

Saat Iran perang dengan Israel, Rusia dan Tiongkok menjadi sandaran untuk membantu peralatan perang, serta diplomasi di Dewan Keamanan PBB. Demikian pula saat Presiden Bashar Al-Assad digulingkan oleh proxy-nya Amerika Serikat, Rusia memberi tempat perlindungan bagi Bashar Al-Assad dan keluarganya.

Cerita di atas memperlihatkan kekuatan internasional bergeser dari dominasi sekutu, perlahan lahan menuju 'bipolar' kembali namun basisnya pragmatisme, bukan lagi ideologi. Uniknya, Amerika Serikat tidak lagi solid dengan sebagian sekutunya.

Amerika Serikat memusuhi sekutu terdekatnya seperti Inggris, Perancis, dan Kanada melalui kebijakan tarif dagang. Amerika Serikat juga ditinggalkan sekutunya ketika membela Israel, dengan mengakui keberadaan negara Palestina, sebagai solusi dua negara atas penjajahan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Pertahanan Kita

Dengan tatanan geopolitik di atas, bagaimana kita merumuskan pertahanan negara? Apakah kita cukup puas dengan penobatan sebagai kekuatan militer terkuat di ASEAN, dan peringkat 13 dunia oleh Global Firepower?

Jawabannya tentu bukan soal puas dan tidak puas. Tetapi yang kita perlukan menganalisis kembali, apakah sistem pertahanan, dan apakah jalan kita menuju Minimum Essential Force (MEF) sudah on the track?

Doktrin pertahanan yang diajukan oleh Presiden RI Prabowo tidak bergeser dari sistem pertahanan semesta. Sistem pertahanan semesta dirumuskan oleh Jenderal AH Nasution, dalam Bukunya Pokok Pokok Gerilya.

Sifat dari sistem pertahanan semesta melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional dalam membangun pertahanan. TNI dan Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan utama, yang ditopang oleh partisipasi aktif rakyat terlatih dalam bela negara.

Doktrin ini masih sangat relevan, sebab dunia kini tidak hanya mengarah pada perang konvensional, tetapi juga ada perang politik, ekonomi, budaya dan cyber. Dalam perang non konvensional, TNI dan Polri tentu ada keterbatasan.

Oleh sebab itu, diperlukan dukungan rakyat terlatih, kaum profesional yang ahli di bidangnya masing masing, terintegrasi dengan kekuatan TNI dan Polri.

Walaupun medan perang mutakhir sudah multifront, tidak serta merta kekuatan pertahanan konvensional tidak diperlukan. Karena itu, MEF TNI diperlukan sebagai alat konfirmasi, apakah TNI sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum pertahanan yang ideal?

Untuk memenuhi MEF TNI, dibutuhkan dukungan pengembangan organisasi, kemampuan industri militer, dukungan anggaran, dan profesionalitas prajurit.

Dari sisi organisasi, sejak Presiden Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, beliau telah membentuk enam Komando Daerah Militer baru, 14 Komando Daerah Angkatan Laut, tiga Komando Daerah Angkatan Udara, satu Komando Operasi Udara, enam grup Komando Pasukan Khusus, 20 Brigade Teritorial Pembangunan, satu Brigade Infanteri Marinir, satu Resimen Korps Pasukan Gerak Cepat, 100 Batalyon Teritorial. Pembangunan lima Batalyon Infanteri Marinir, dan lima Batalyon Komando Korps Pasukan Gerak Cepat.

Industri nasional yang menopang kebutuhan alat pertahanan (alutsista) juga berkembang. Kita telah memiliki PT PAL yang mampu membuat kapal perang, kita memiliki PT Pindad yang memproduksi tank, senapan tempur, dan artileri berat lainnya.

Kita juga memiliki proyek pengembangan pesawat tempur dengan Korea Selatan untuk pengembangan pesawat tempur generasi 4.5 berkode KAI KF 21 Boramae. Prototipe sudah ada, dan sempat uji coba, entah kenapa lajunya proyek ini lambat sekali.

Intinya, industri pertahanan nasional kita perlukan untuk membangun kemandirian alutsista nasional. Dari sisi anggaran, kami di Badan Anggaran DPR selalu mendukung kebutuhan anggaran TNI untuk mencapai MEF.

Jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran negara negara maju dengan kekuatan militer canggih, alokasi anggaran pertahanan Indonesia memang masih rendah. Defend Budget Rank 2025 yang dirilis oleh Global Firepower menempatkan Indonesia di urutan 29, di bawah Singapura (urutan 26).

Tentu ini belum ideal mendukung MEF, karena keterbatasan fiskal kita. Ke depan, kita perkuat kebutuhan anggaran pertahanan, sejalan dengan upaya penyehatan fiskal.

Terakhir, profesionalitas prajurit TNI menjadi modal penting bagi TNI membangun kekuatan pertahanan. Profesionalitas TNI berarti netral dari politik praktis, sebaliknya politisi sipil tidak menarik TNI ke arena politik.

TNI hanya berada pada kebijakan politik pertahanan negara. Profesional TNI juga berarti prajurit TNI mampu memenuhi kecakapan mengemban tugas pertahanan.

Secara individual, prajurit TNI memiliki kemampuan tempur terlatih, disiplin, loyal dan setia pada janji sapta marga. TNI dibangun dengan merit sistem yang ketat, prestasi menjadi acuan kenaikan pangkat.

Bravo, Dirgahayu TNI ke-80 tahun. Jadilah patriot bangsa gagah berani.

Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan

Simak juga Video Prabowo: TNI Harus Intropeksi Diri, Bantu Penegak Hukum




(ega/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork