Kolom

Rasionalitas Pemilih Indonesia

ahan syahrul arifin - detikNews
Jumat, 03 Okt 2025 10:54 WIB
Foto: Ilustrasi Pemilu (Freepik/freepik)
Jakarta -

Dalam tatanan masyarakat, tindakan individu yang memiliki makna memainkan peranan sentral menggambarkan fakta-fakta sosial. Tindakan-tindakan sosial akan menunjukkan karakter, pola dan dinamika dalam masyarakat. Menurut Marx Weber, motivasi seseorang dalam melakukan tindakan sosial dipengaruhi oleh faktor untung-rugi/instrumental, pendekatan nilai-nilai, aspek tradisi dan variabel afeksi. Sebuah dasar yang membentuk perilaku politik seseorang.

Tipologi yang dalam temuan Geertz terbagi karakter abangan, priyayi dan santri. Standing position politik yang menunjukkan anatomi politik dan perilaku pemilih di Indonesia, Jawa pada khususnya.

Masyarakat dengan kultur abangan akan merepresentasikan pilihan politiknya ke partai-partai nasionalis-sekuler, sedangkan kelompok santri akan cenderung memilih partai dalam arsiran ideologi berbasis agama. Sementara kaum priyayi akan menentukan politiknya pada partai-partai yang cenderung berpaham kebangsaan dan teknokratis.

Sayangnya, sejak reformasi kita kesusahan untuk memilah mana partai-partai yang memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Hampir semua partai politik memiliki idiom, program, slogan hingga cara kampanye yang mirip (catchall party). Tidak ada distingsi yang jelas antara partai berbasis agama dengan yang nasionalis.

Di saat yang sama, pengaruh desain politik massa mengambang dari orde baru terasa masih kental, pemilih dengan jenis kelamin yang tidak jelas, a-politis, tidak memiliki spektrum politik tertentu masih sangat dominan untuk dijadikan mangsa partai-partai politik saat pemilihan berlangsung.

Massa mengambang inilah yang kemudian dapat dibeli dengan uang, dimobilisasi dengan iming-iming pengganti transport. Kelompok ini melakukan tindakan sosialnya karena untung rugi karena mendapatkan uang saku atau menjadikan sebagai instrumen memanfaatkan aktivitas politik untuk kepentingan pragmatis dirinya saja. Tidak ada nilai, tidak ada ideologi, dan tujuan dari aktivitas politiknya.

Sekumpulan massa yang tidak memiliki imajinasi tentang masa depan, martabat dan bangsanya. Pasukan yang hanya membebek pada perintah. Cukup dengan nasi bungkus diubah perspektif dan cara berpikirnya.

Corong Pilihan

Seiring perkembangan waktu dalam pemilu-pemilu pasca reformasi, penelaahan terhadap perilaku memilih menjadi kajian yang sangat menarik. Hasil-hasil penelitian mutakhir menunjukkan loyalitas politik berbasis keluarga, patronase religius, dan bantuan material masih dominan di pedesaan, sementara pemilih muda perkotaan memperlihatkan pergeseran melalui media sosial, isu spesifik, dan pengaruh kelompok sebaya.

Pemilih berbasis perkotaan menunjukkan selektivitas rasional berbasis kompetensi kandidat. Fenomena baru yang ditemukan adalah orientasi rasional-emosional, di mana pemilih menggabungkan preferensi berbasis isu dengan keterhubungan emosional melalui gaya komunikasi digital kandidat. Tapsell (2021) menemukan peran media digital dalam memperluas arena politik dan memperkenalkan bentuk kampanye yang lebih personal serta interaktif.

Dengan meningkatnya penetrasi media sosial, kandidat dapat menjangkau pemilih secara langsung melalui narasi yang menekankan aspek personalisasi dan gaya komunikasi informal melalui kanal sosial media. Pandangan ini selaras dengan temuan Setiawan (2019) dan Faiz (2024) yang memperlihatkan bagaimana media sosial menjadi instrumen penting dalam membentuk persepsi politik, terutama bagi pemilih muda dan pemilih pemula.

Dalam studi Santoso (2020) loyalitas terhadap partai lama tetap kuat, khususnya di wilayah pedesaan, meskipun terdapat indikasi fluiditas pilihan di kalangan pemuda perkotaan. Pemuda yang lebih terpapar pada pendidikan tinggi dan media digital cenderung memperlihatkan fleksibilitas dalam menentukan pilihan politik mereka. Temuan ini menegaskan adanya perbedaan yang signifikan antara pemilih pedesaan dan perkotaan dalam cara mereka membangun preferensi politik, sekaligus menunjukkan pentingnya mempertimbangkan faktor demografis dan geografis dalam menganalisis perilaku memilih.

Melalui banyaknya studi-studi perilaku pemilih, beragam faktor-faktor kini saling bersinggungan dan saling mempengaruhi. Muhtadi (2013) menegaskan bahwa politik uang masih signifikan di Indonesia, terutama pada pemilih tanpa ikatan partai. George et al. (2017) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan berpengaruh pada sikap toleransi pemilih terhadap politik uang. Haryanto (2014) menunjukkan peran party-ID dalam menentukan pilihan politik, sementara Wasisto (2022) menekankan bahwa pemilih perkotaan cenderung rasional dengan mengutamakan visi, misi, dan program kandidat.

Tipologi Pemilih Kontemporer

Artinya, dinamika perilaku pemilih pasca reformasi terbentuk dan dipengaruhi faktor baru yaitu kampanye digital dan politik uang. Kedua faktor ini memberikan dampak timbal balik yang berbeda pada pemilih dengan basis geografis yang berbeda, pemilih pedesaan dan perkotaan.

Sementara pada basis sosiologis umur, pendidikan dan pendapatan pengaruh kedua faktor memberikan impact yang khas. Pemilih muda dengan pendidikan tinggi sangat tidak toleran dengan politik uang, begitu sebaliknya. Apalagi faktor pendapatan, mereka yang berpendapatan tinggi tentu tak bisa dipengaruhi dengan politik uang. Uang diterima, pilihan tetap sesuai nurani. Kelompok pemilih transformatif.

Sementara kelompok pemilih tradisional yang terbentuk dari budaya, faktor agama, dan warisan politik tidak mudah mengalihkan pilihannya hanya karena kedua faktor tersebut. Pilihan politiknya membentuk "loyalitas tanpa batas" yang tak bisa digeser oleh variabel kampanye digital maupun politik uang. Pilihan politiknya tak lekang oleh waktu dari pemilu ke pemilu.

Sikap yang sangat berkebalikan dengan para massa mengambang yang mudah dimobilisasi untuk kepentingan jangka pendek. Pemilih yang dimobilisasi adalah jenis pemilih pragmatis, yang tindakan sosialnya hanya didasarkan pada aspek untung-rugi jangka pendek.


Ahan Syahrul Arifin. Tenaga Ahli di DPR RI, Mahasiswa S-3 di Universitas Brawijaya Malang.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork