Revisi UU Pemilu (UU No.7/2017) dan UU Pilkada (UU No.10/2016) masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) Prioritas 2025. Sederet kritik muncul dari beberapa kalangan. Komisi II DPR mengkhawatirkan risiko teknis dan logistik Pemilu 2029 karena revisi yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu.
Para legislator juga mengkhawatirkan instabilitas lembaga pemilu. Perubahan yang menyasar status kelembagaan penyelenggara dan pengawas pemilu berisiko melemahkan keduanya. Maka, pilihan memperbaiki dan memperkuat kelembagaan lebih tepat daripada mengubah secara drastis status kelembagaan itu.
Sementara kalangan penyelenggara pemilu lebih menyarankan perbaikan implementasi. Perubahan UU yang sering dilakukan bisa berdampak pada konsistensi pelaksanaan pemilu. Karenanya, pilihan remidi, seperti peningkatan kapasitas penyelenggara, pengawasan dana kampanye, dan literasi pemilih, lebih relevan ketimbang perubahan aturan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para akademisi juga menyuarakan bahwa Putusan MK atas gugatan UU Pemilu dan Pilkada tidak harus ditindaklanjuti revisi UU secara total. Sebaliknya, opsi evaluasi sistematis dan teknis lebih baik ketimbang revisi reaktif dan segera.
Terakhir, muncul suara kekhawatiran proses revisi sebagai ajang manuver elit politik. Revisi bukannya memperbaiki kualitas pemilu, melainkan kesempatan elit tertentu meloloskan kepentingan yang menguntungkan golongannya.
Argumen Kedaulatan Pemilih
Sebagai pemegang kedaulatan rakyat, kepentingan pemilik suara harus menjadi pertimbangan utama perubahan UU. Argumen transformasi perilaku memilih yang menguatkan demokrasi bisa dikedepankan. Agar seimbang, kepentingan demokrasi juga harus sejalan dengan perbaikan kesejahteraan.
Literatur internasional menjelaskan perilaku memilih yang ideal bagi demokrasi dan kesejahteraan. Dahl (1998) menekankan pentingnya pemilih memahami isu-isu publik dan membuat pilihan berdasarkan argumen dan informasi, bukan identitas atau loyalitas sempit. Sementara Page dan Gilens (2017) menambahkan pentingnya pemilih yang berdaya, menyuarakan kebutuhan publik, bukan hanya mendukung kepentingan elit.
Achen dan Bartels (2016) pesimis dengan pemilih rasional. Keduanya meyakinkan pentingnya upaya kolektif membangun perilaku memilih yang deliberatif, bukan impulsif atau emosional. Bagi Sen (1999), demokrasi yang sehat harus ditopang oleh kekuatan pilihan yang memperluas kapabilitas individu. Maka, pemilih perlu mendukung kandidat atau partai yang memperjuangkan kebijakan redistributif, perlindungan HAM, dan perluasan akses layanan publik.
Pemilih ideal tidak hanya menggunakan hak pilih secara langsung dan bebas, tapi juga peduli terhadap transparansi, akuntabilitas, dan keadilan elektoral (Norris, 2015). Di luar bilik suara, pemilih ideal berpartisipasi dalam diskusi dan pengawasan kebijakan publik (Pateman, 1970). Franklin (2004) menambahkan pentingnya pemilih partisipatif, rasional, dan strategis agar berkontribusi mendorong sistem yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat.
Selain gagasan akademik, kita perlu berkaca pada kearifan pemilih nusantara.
Nilai dan norma integritas perilaku memilih yang sesuai konteks bisa dikedepankan. Demokrasi Indonesia lebih memprioritaskan kepentingan bersama daripada rasionalitas kepentingan politik individual.
Sebagian besar budaya dan wilayah menganut musyawarah dan mufakat. Dua prinsip tersebut bisa mendorong pemilih menjatuhkan pilihan pada kandidat atau partai yang mengutamakan kepentingan bersama dan harmoni. Memegang nilai harga diri dan empati di sebagian budaya juga penting mendorong integritas pemilu, menolak politik uang, dan memilih pemimpin bermoral dan jujur.
Pun, gotong royong, rasa malu (isin), keseimbangan, dan etika komunitas dianut pada sebagian besar konteks budaya. Nilai-nilai tersebut bisa dianjurkan agar pemilih bertanggung jawab secara sosial atas pilihan politiknya.
Selain argumen normatif, bukti-bukti ilmiah empiris penting sekali dipertimbangkan. Analisis hasil exit poll nasional oleh sejumlah lembaga survei (LSI Lembaga, Indikator, SMRC, dan Poltracking) pada empat pemilu terakhir (2009-2024) membantu memahami dinamika perilaku memilih.
Pemilu 2009 menjadi momentum awal personalisasi politik dan penguatan efek ekor jas ketokohan kandidat presiden. Pemilih cenderung loyal terhadap tokoh dan mempertimbangkan signifikansi kontribusi kinerja calon petahana terhadap stabilitas ekonomi.
Pemilu 2014 menunjukkan kuatnya polarisasi politik dan efek media terhadap perilaku memilih. Di satu sisi, pemilih memperhatikan program yang meyakinkan dan penilaian karakter tokoh capres antara tegas dan merakyat. Di sisi lain, pemilih makin responsif terhadap komunikasi politik langsung dan simbolisme kandidat.
Pemilu 2019 menunjukkan stabilitas pilihan dan rasionalitas pemilih. Mereka mempertimbangkan program kerja dan kinerja pemerintahan. Pemilih memperhatikan rekam jejak dan kinerja pemerintahan.
Terakhir, Pemilu 2024 menunjukkan pentingnya faktor persona capres (karisma, citra digital), bukan lagi afiliasi partai. Pemilih muda yang makin dominan secara proporsi cenderung lebih cair dalam memilih. Media sosial dan representasi visual di media digital menjadi pertimbangan penting, termasuk isu aktual, seperti biaya hidup dan ketahanan ekonomi.
Implikasi
Dengan mempertimbangkan prinsip normatif dan temuan empiris tersebut, maka alasan transformasi perilaku memilih konsisten dengan langkah revisi UU Pemilu. Amandemen tidak sekadar mengakomodasi putusan MK dan manuver elit politik, namun karena dinamika keputusan memilih yang makin kompleks dan terus bergerak akibat perubahan teknologi dan komposisi demografis pemilih.
Revisi UU Pemilu dalam Prolegnas 2025 sebaiknya mendorong desain sistem pemilu yang menumbuhkan perilaku pemilih dialogis (argumentatif) dan berintegritas, bukan hanya reaktif, transaksional, dan emosional.
Selain itu, perlu pengaturan kampanye digital, termasuk iklan politik dan penindakan pelanggaran disinformasi. Revisi juga harus mendorong peran parpol yang makin representatif dan strategis bagi pemilih, bukan sekadar kendaraan politik.
Alhasil, transformasi perilaku memilih merupakan alasan fundamental revisi UU Pemilu. Tanpa perubahan, maka perilaku memilih berisiko tetap berada dalam ancaman faktor personalistik, emosional, dan mengabaikan kesejahteraan jangka panjang.
Wawan Sobari. Dosen Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya.
Tonton juga video "Cak Imin Pede PKB Bisa Menang di Pemilu 2029" di sini:
(rdp/rdp)