Kolom

Lanjutkan Terus Reformasi Polri

Habiburokhman - detikNews
Jumat, 19 Sep 2025 10:48 WIB
Foto: Habiburokhman (Agung Pambudhy)
Jakarta -

Belakangan ini, masyarakat sedang dihadapkan dengan pemberitaan tentang adanya tuntutan reformasi Polri yang menginginkan adanya sebuah reformasi di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Hal ini disuarakan oleh beberapa pihak sebagai bagian dari pernyataan pendapat, yang menginginkan sebuah perubahan yang sangat besar pada institusi, struktur, dan kebijakan terkait Polri.

Harapan tersebut memberikan gambaran betapa masyarakat sangat memberi perhatian kepada Polri sebagai institusi besar yang dirasa paling dekat dengan kehidupan masyarakat. Tuntutan dan harapan masyarakat tersebut ditujukan untuk membangun Polri yang profesional, responsif, dan berkualitas secara menyeluruh.

Namun demikian harus diakui bahwa reformasi Polri sebenarnya sudah berjalan walaupun diwarnai berbagai dinamika.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Polri merupakan institusi atau lembaga utama dan krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai perwujudan negara hukum. Oleh sebab itu sejak era reformasi, Polri menjadi salah satu produk utama reformasi, yakni menjadi salah satu penanda bergulirnya reformasi di Indonesia.

Sejak dikeluarkannya TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 pada 18 Agustus 2000, terjadi perubahan paradigma sistem ketatanegaraan dengan memisahkan Polri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kemudian sebagai tindak lanjutnya, dibentuklah berbagai kebijakan untuk mengatur peran dan fungsi Polri.

Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 juga mengatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta melakukan penegakan hukum. Agenda reformasi Polri juga dilakukan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

Perubahan paradigma terhadap Polri dan TNI (aparat) dari sebuah alat kekuasaan atau politisasi penguasa menjadi lembaga penegak hukum yang profesional dan mengayomi masyarakat, ditujukan untuk meningkatkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri dan pemerintah secara linear.

Reformasi terhadap Polri ini juga ditandai dengan penguatan fungsi Polri dalam UU Polri dan pembuatan road map reformasi di tubuh Polri secara berkesinambungan untuk membangun Polri yang kredibel dan terpercaya untuk menciptakan supremasi hukum dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Road map tersebut diwujudkan melalui rencana jangka panjang atau Grand Strategy Polri 2005-2025 yang meliputi berbagai tahap. Tahap pertama yakni Trust Building (2005-2010) dengan membangun kepercayaan masyarakat dan internal Polri.

Tahapan kedua, partnership building (2011-2015), Polri membangun kerjasama dan sinergitas dengan berbagai pihak. Sedangkan tahap ketiga (2016-2025) dibangun untuk tujuan strive for excellence yakni Polri yang unggul dalam pelayanan publik, good governance, profesional, modern, berkapasitas, dan kredibel.

Perwujudan dari Grand Strategy Polri 2005-2025 tersebut kemudian diimplementasikan dalam beberapa rencana kerja dan strategis sesuai dengan arah dan kebijakan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang ditunjuk oleh Presiden dan diserahkan pada DPR sebagai representasi rakyat sipil untuk mendapat persetujuan dari waktu ke waktu.

Polri telah membangun berbagai slogan atau tagline yang mencerminkan transformasi Polri, seperti "Polri Sahabat Masyarakat", "Promoter" (Profesional, Modern, dan Terpercaya), dan tagline saat ini "Presisi" (Prediktif, Responsibiitas dan Transparansi Berkeadilan) di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Dalam implementasinya, upaya reformasi tersebut memang menemui berbagai tantangan dan kendala, walaupun Polri telah menunjukkan upaya keras untuk melakukan perubahan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Prestasi Polri di berbagai ajang dan kesempatan maupun upaya untuk menciptakan citra Polri terkadang bersinggungan dengan beberapa fenomena atau permasalahan oleh beberapa oknum kepolisian atau kejadian-kejadian tertentu.

Terkadang kemudian kita bertanya, apakah reformasi Polri yang telah berjalan tersebut benar-benar nyata dan efektif. Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan gambaran atau penjelasan mengenai seperti apa reformasi yang sesungguhnya sedang dan masih berjalan di tubuh Polri dari perspektif legislator.

Agenda Reformasi Polri

Dalam upaya mewujudkan agenda perubahan, Polri telah didukung dengan UU Polri maupun sejumlah instrumen pendukung. Berbagai regulasi yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Polri secara profesional dan akuntabel juga telah ada. Sebagai contoh, selain KUHAP, Polri telah melahirkan berbagai Peraturan Kapolri (Perkap) atau Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) yang memedomani seluruh tindakan dan fungsi Polri.

Peraturan tersebut antara lain pedoman susunan dan tata kerja organisasi Polri (Perpol Nomor 2 Tahun 2021), penggunaan senjata api (Perkap Nomor 11 Tahun 2017 dan Perpol Nomor 1 Tahun 2022), Gratifikasi kepada Anggota Polri (Perkap Nomor 6 Tahun 2020), Kode Etik Profesi (Perkap Nomor 7 Tahun 2022), Pengawasan Melekat (Waskat) oleh Atasan (Perkap Nomor 2 Tahun 2022).

Selain itu, ada juga Perkap Nomor 9 Tahun 2017 yang mengatur izin dan larangan usaha bagi Anggota Polri, hingga Perkap Nomor 10 Tahun 2017 tentang penerapan pola hidup sederhana atau tidak bergaya hidup mewah. Termasuk juga kebijakan yang adaptif seperti Polri telah menerbitkan Perpol No. 8 tahun 2021 tentang Penerapan Keadilan Restoratif. Berbagai instrumen ini tentu menjadi pegangan bagi Polri maupun masyarakat dalam mengukur implementasi kerja dan profesionalitas Polri.

Dalam perjalanannya, Polri menghadapi beragam permasalahan, yang mana banyak disebabkan oleh pelanggaran oknumnya hingga adanya pengaruh dari luar baik langsung maupun tidak langsung. Polri terkadang juga masih diragukan independensi dan kemandiriannya sebagai konsekuensi Polri di ranah eksekutif dalam sistem ketatanegaraan. Meski begitu, tingkat kepercayaan terhadap Polri relatif masih tinggi walaupun menghadapi sejumlah permasalahan terutama dalam membangun Polisi yang demokratis dan terpercaya.

Indeks persepsi publik terhadap Polri tentu dapat menjadi indikator. Berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas misalnya pada tahun 2022 dimana terdapat kasus Duren Tiga, indeks persepsi kepercayaan publik pada Polri menurun ke angka 65,7 persen. Angka tersebut relatif sama di tahun 2023 (66 persen), dan 65,1 di pertengahan tahun 2024. Pada awal hingga pertengahan tahun 2025, angka ini kemudian meningkat menjadi 69,3 persen. Angka ini menunjukkan masyarakat sebenarnya masih percaya pada Polri.

Periode 2017-2020: Naiknya Represifitas Kala Suhu Politik Memanas

Situasi politik memanas terjadi di periode 2016 -2020, ada kaitannya dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu 2019. Kondisi ini mengakibatkan dinamika meningkatnya represifitas penegakan hukum.

Pada saat itu masih terdapat penindakan terhadap sejumlah kasus yang menarik perhatian masyarakat, seperti kasus yang terkait dengan ujaran kebencian terhadap beberapa aktivis atau tokoh yang mengkritik pemerintah. Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mencatat bahwa tahun 2016 - 2020 mereka menerima ratusan aduan soal masyarakat yang merasa dikriminalisasi hanya karena menyampaikan pendapat atau kritikan di media sosial.

Kita ingat bagaiamana Ahmad Dhani, Buni Yani, Asma Dewi, Eggy Sudjana, Lieus Sungkharisna dan banyak sekali tokoh lain harus menjalani pidana. Termasuk juga tiga emak-emak di Karawang harus dipenjara 6 bulan tahun 2019 karena dianggap melakukan kampanye hitam dan melanggar UU ITE tahun 2019. Puncak tudingan represfititas Polri terjadi saat penanganan unjuk rasa di depan Bawaslu 22 Mei 2019. Saat itu setidaknya 6 pengunjuk rasa meninggalkan dunia serta puluhan orang luka-luka.

Di periode tersebut juga terjadi peristiwa KM 50, yakni peristiwa tewasnya 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab di KM %) Jalan Tol Jakarta-Cikampek pada tanggal 7 Desember 2020.

Sejak 2021 Polri berupaya untuk keluar dari stigma atau sorotan bahwa Polri merupakan alat kekuasaan yang represif. Paradigma ini telah berubah seiring dengan perkembangan penerapan prinsip keadilan restoratif. Pada periode yang dipenuhi berbagai unjuk rasa, Polri menggunakan pendekatan Restorative Justice (RJ/ keadilan restoratif) disamping tindakan pencegahan dan pre-emtif.

Sejak adanya Perpol tentang Keadilan Restoratif, angka penyelesaian melalui RJ meningkat dari 16.000 menjadi 23.053 di tahun 2022, 26.322 (tahun 2023) dan 22.760 di tahun 2024. Angka ini termasuk penerapan RJ pada pelanggaran hukum yang dilakukan saat unjuk rasa maupun ujaran kebencian di media elektronik. Pada tahun ini, Polri telah menerapkan RJ pada 29 kasus. Dari 5.790 pelaku unjuk rasa yang diamankan, 5.179 orang telah dipulangkan.
Bagaimana dengan fungsi pengawasan?

Meski masih terdapat beberapa pelanggaran, Polri menghadapi tren peningkatan penanganan pelanggaran. Dalam tiga tahun terakhir, penanganan terhadap 10.113 kasus di tahun 2022, 10.117 di tahun selanjutnya dan 8.730 di tahun 2024. Hingga pertengahan tahun 2025, Polri sudah menyelesaikan 5.657 kasus. Data tersebut menunjukkan bahwa penanganan terhadap pelanggaran anggota menjadi lebih serius karena penanganan terhadap oknum yang melakukan pelanggaran menjadi lebih terbuka dan tanggap. Sudah banyak oknum Polri yang kemudian diproses secara hukum pidana. Kita teringat juga pada penangkapan terhadap oknum Polri yang menyalahgunakan kewenangan seperti pada kasus Teddy Minahasa maupun kasus-kasus yang terjadi keterlibatan oknum Polri di berbagai tindak pidana.

Keterbukaan publik juga tersedia pada kanal atau media yang memungkinkan masyarakat untuk melapor secara elektronik. Bidang pengawasan maupun intelijen Polri juga melacak dan merespon aduan atau keluhan publik yang terjadi di media resmi maupun media sosial. Keterbukaan dan transparansi sudah tidak terelakkan lagi.


Menguji Responsivitas Polri

Selama ini Komisi III DPR RI menerima ribuan pengaduan dari masyarakat terkait pelaksanaan tugas dan fungsi mitranya. Polri merupakan salah satu mitra yang diadukan paling banyak, baik terkait penyalahgunaan wewenang hingga penggunaan kekerasan. Namun demikian, Komisi III DPR RI mencatat bahwa Polri menjadi institusi yang proaktif dan paling responsif (kisaran 90% di tahun 2024) dalam menanggapi berbagai pengaduan masyarakat yang ada.

Komisi III DPR RI memberikan apresiasi terhadap keterbukaan dan ketegasan Polri, seperti pada penyelesaian kasus meninggalnya tahanan di Provinsi Sulawesi Tengah, penindakan terhadap kasus penembakan di Provinsi Jawa Tengah, kasus salah tangkap anak di Tasikmalaya, dan berbagai kasus lainnya yang menunjukkan penanganan tegas terhadap pelanggaran oleh oknum aparat, yang kemudian tidak hanya diproses secara etik namun juga secara hukum. Impunitas yang selama ini menjadi citra aparat mulai memudar. Polri secara ksatria berani mengakui berbagai kelemahan internal.

Peran Polri juga diapresiasi masyarakat dalam sejumlah kegiatan masyarakat seperti dalam penanganan pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Selain itu pembentukan Satgas Tipikor, Satgas Anti Begal, Satgas Antisipasi Kelangkaan BBM, Satgas Pengamanan Mudik dan Lebaran, Satgas Nusantara, Satgassus Merah Putih, Satgas Ketahanan Pangan untuk merespon kebutuhan masyarakat menjadi nilai tambah.

Presiden juga memberi apresiasi terhadap dukungan Polri pada program Makanan Bergizi Gratis hingga Gerakan Pangan Murah. Terbaru, Polri juga telah membentuk Direktorat Siber dan Direktorat Perempuan, Perlindungan Anak, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Penutup

Sistem penegakan hukum suatu negara tentu akan selalu menghadapi berbagai tantangan dan upaya-upaya untuk memperburuk citra institusi dan pelemahan sistem hukum. Permasalahan ini akan terus timbul sebagai konsekuensi dari sebuah "perlawanan" dari pihak-pihak yang menginginkan institusi penegak hukum (seperti Polri, Kejaksaan, atau KPK) dan peradilan menjadi tumpul dan terpengaruh pada kepentingan tertentu. Hal ini yang kemudian menjadi kekhawatiran kita bersama sebagaimana disampaikan Presiden Prabowo bahwa negara gagal adalah negara yang tidak mampu melindungi rakyatnya karena lemahnya sistem hukum.

Oleh sebab itu dalam agenda reformasi hukum, penguatan penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel menjadi sangat penting. RUU KUHAP misalnya menjadi jalan untuk menyeimbangkan antara pelindungan HAM dan kewenangan penegakan hukum serta menghadirkan keadilan yang substantif. Demikian pula reformasi di berbagai kebijakan institusional.
Di era Polri yang "Presisi", responsivitas, transparansi, dan akuntabilitas menjadi hal yang seharusnya sudah dikedepankan.

Kini masyarakat dapat langsung melaporkan dan menyuarakan berbagai kritik dan aduan di berbagai media. Oleh sebab itu, responsivitas dan profesionalitas menjadi sebuah tantangan besar yang akan dihadapi Polri dalam melaksanakan tugasnya.

Polri juga akan terus menghadapi berbagai kritik dan persepsi negatif, hingga berbagai wacana pelemahan, seperti adanya wacana restrukturisasi Polri di bawah Kementerian atau penyempitan kewenangan maupun berbagai tuntutan dan tuduhan yang bernarasi ketidakercayaan. Hal ini mengindikasikan tuntutan masyarakat terhadap kinerja Polri untuk menjadi sangat tinggi dan harapan agar Polri dapat menjadi lebih sempurna.

Faktanya, harus diakui bahwa reformasi Polri yang seringkali dipersepsikan agak stagnan atau lambat, masih tetap berjalan sesuai agenda jangka panjangnya. Polri masih berkutat dengan berbagai celah dan kelemahan, sehingga reformasi Polri terlihat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itu, harus ada upaya bersama untuk memperbaiki Polri.

Selain dari reformasi kultur dan struktur internal Polri, upaya harus datang dari kebijakan dan dukungan masyarakat. Pengawasan terhadap kinerja Polri harus terbuka. Pengaturan kewenangan harus diatur melalui prinsip check and balances yang efektif dan sistematis.

"Karena nila setitik rusak susu sebelanga" agaknya dapat menjadi gambaran Polri saat ini. Ditengah sejumlah prestasi dan kinerja apik, bisa saja rusak karena segelintir oknum atau kesalahan prosedural lainnya. Oleh sebab itu, Polri harus berhati-hati dan konsisten untuk menjaga kualitas dan profesionalitas kinerja.

Polri tetap harus terbuka terhadap kritik dan masukan serta sensitif terhadap dinamika masyarakat. Polri harus berani "keluar dari zona lama" untuk lebih menunjukkan integritas dan citra Polri yang bersih, profesional, dan terpercaya.


Habiburokhman. Ketua Komisi III DPR RI.




(rdp/tor)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork