Beberapa waktu belakangan ini, kita seringkali mendengar dari berbagai pemberitaan terkait dengan turbulensi politik global yang mana memicu berbagai protes dan unjuk rasa pada berbagai pemerintahan di negara-negara. Tak terhindarkan penyampaian unjuk rasa tersebut terkadang berakhir ricuh sehingga bersinggungan dengan aparat keamanan. Hal ini juga terjadi di Indonesia.
Kita tentu masih ingat dan menyayangkan terjadinya kericuhan atau kerusuhan tersebut, namun menjadi pengingat bahwa masyarakat menuntut adanya sebuah perubahan. Berbagai tuntutan disuarakan oleh beberapa elemen masyarakat di berbagai bidang, termasuk di bidang hukum.
Salah satu yang kini paling hangat dibicarakan adalah tuntutan untuk terhadap Polri dengan slogan Reformasi Polri, penggunaan istilah Reformasi Polri Jilid II, atau berbagai pernyataan sejenis yang menginginkan perubahan di tubuh Polri. Pesan tersebut menyampaikan harapan untuk dilakukannya perubahan kebijakan hingga struktur dan kultur organisasi pada Korps Bhayangkara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun pertanyaan selanjutnya: apakah reformasi Polri yang sebenarnya telah berjalan selama ini? Bagaimana arah dan tujuannya?
Inilah yang sebenarnya ingin didengar oleh masyarakat. Reformasi Polri sebagaimana kita ketahui sebenarnya telah terjadi di era reformasi 1998. Pada saat itu terjadi pemisahan Polri dari TNI yang disebut dwifungsi ABRI, melalui pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) sebagaimana diamanatkan dalam perubahan atau amandemen Konstitusi.
Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 jo. Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) mengatur peran, tugas, dan fungsi Polri sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta melakukan penegakan hukum.
Perubahan ketatanegaraan ini menegaskan supremasi hukum dan sipil sebagai tujuan utama sistem pemerintahan yang demokratis. Polri kemudian dituntut untuk memberi jalan bagi demokrasi dalam kehidupan politik dan kenegaraan melalui fungsi-fungsi kemasyarakatan disamping penegakan hukum.
Selain UU Polri, Polri juga didukung dengan sejumlah instrumen aturan dan beleid. Berbagai regulasi yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Polri secara profesional dan akuntabel juga telah hadir dan selalu diperbaharui. Sebagai contoh, Peraturan terkait pedoman susunan dan tata kerja organisasi Polri (Perpol Nomor 2 Tahun 2021), penggunaan senjata api (Perkap Nomor 11 Tahun 2017 dan Perpol Nomor 1 Tahun 2022), Gratifikasi kepada Anggota Polri (Perkap Nomor 6 Tahun 2020).
Selain itu, ada juga Perkap Nomor 9 Tahun 2017 yang mengatur izin dan larangan usaha bagi Anggota Polri, hingga Perkap Nomor 10 Tahun 2017 tentang penerapan pola hidup sederhana atau tidak bergaya hidup mewah.
Alhasil, Polri juga diganjar dengan persepsi publik yang cukup tinggi. Layanan yang inovatif seperti di bidang lalu lintas dan pelayanan publik cukup mengesankan dan membanggakan. Hal ini mempengaruhi Indeks persepsi publik terhadap Polri.
Berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas yang naik dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2022 di mana terjadi kasus FS. Angka tersebut kemudian relatif meningkat di tahun 2023 dan 2024, dan di Semester I tahun 2025. Indikator yang sebenarnya cukup bagi Polri untuk
terus mencapai kemajuan dan prestasi kerja.
Sedangkan dalam upaya bertransformasi dari citra represif ke humanis, Polri melahirkan tagline Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan), yang berkeinginan melakukan transformasi di sektor organisasional, operasional, pengawasan, dan layanan publik.
Polri juga melahirkan sejumlah aturan seperti Perpol Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Senjata Api, Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat, dan Perkap Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi.
Aturan-aturan ini berupaya mendukung pembangunan citra Polri yang ingin berbenah dan menunjukkan responsivitasnya.
Di lapangan, tren ini dapat dilihat juga dari angka penanganan pelanggaran terhadap anggota yang bermasalah. Polri sadar bahwa anggotanya pun bisa saja bermasalah. Angka penanganan terhadap pelanggaran meningkat di era kepemimpinan Polri sekarang.
Pengawasan lebih efektif dan penerapan pengawasan melekat menjadi jalan terbuka bagi seorang pimpinan di sektor atau fungsi tertentu untuk menerapkan kehati-hatian dan good governance.
Polri juga telah membangun sistem pelayanan dan informasi publik yang memudahkan masyarakat untuk mengadu atau melaporkan anggota Polri yang menyimpang. Tidak heran mengapa Ombudsman RI juga melihat angka pengaduan terhadap Polri menurun di tahun 2024-2025 seiring keterbukaan dan peningkatan kepuasan terhadap layanan publik.
Selama ini Komisi III DPR juga mencatat responsivitas yang tinggi dalam menindaklanjuti pengaduan-pengaduan terkait pelaksanaan tugas dan fungsi Polri. Komisi III DPR memberikan apresiasi terhadap keterbukaan dan ketegasan Polri dalam berbagai kasus, seperti kasus tahanan di Palu, penindakan terhadap kasus penembakan di Jateng, kasus salah tangkap anak di Tasikmalaya, atau kasus permintaan ekshumasi di Sumatera Barat. Polri secara tegas menindak anggota yang melakukan pelanggaran, bahkan juga tidak segan melakukan penanganan melalui jalur hukum.
Peran Polri juga mendapat terasa di masyarakat pada saat sulit. Polri terlibat aktif dalam mendukung penanganan pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Untuk kebutuhan tertentu, Polri juga telah membentuk berbagai Satuan Tugas untuk merespon permasalahan yang sedang terjadi, seperti pada permasalahan Tipikor, Begal, Pangan, BBM, TPPO, Cybercrime atau pelindungan Perempuan dan Anak. Presiden juga meminta dukungan Polri dalam sejumlah kegiatan masyarakat, yang kemudian direspon dengan pembentukan Satgas Ketahanan Pangan dukungan Polri pada program Makanan Bergizi Gratis hingga Gerakan Pangan Murah.
Presiden bahkan memuji peran dan dukungan yang konsisten dan sinergis dari Polri untuk memudahkan tangan Pemerintah dalam melayani dan membantu masyarakat.
Polri juga cukup responsif dalam mereformasi fungsi penegakan hukumnya. Misalnya, Polri telah memiliki pedoman dalam Perpol No. 8 tahun 2021 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Sejak adanya Perpol tersebut, angka penyelesaian melalui restoratif meningkat tajam.
Pada tahun 2020-2021 angka penyelesaian perkara melalui perdamaian sekitar 16.000-an kasus meningkat menjadi 23.053 di tahun 2022. Di tahun 2023 juga melonjak ke angka 26.322 kasus dan sebanyak 22.760 kasus di tahun 2024.
Terakhir, Polri telah menerapkan RJ pada 29 kasus pada unjuk rasa di bulan Agustus 2025. Dari 5.790 pelaku unjuk rasa yang diamankan, 5.179 orang telah dipulangkan.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Polri?
Tulisan ini mencoba mengangkat potret kinerja dan upaya reformasi oleh Polri, termasuk dalam berbagai kelemahan dan tantangan yang dihadapi Polri. Dalam perjalanannya, reformasi yang dilakukan Polri juga dipengaruhi oleh fenomena perubahan kepemimpinan hingga strategi kebijakan Polri yang menyesuaikan terhadap dinamika politik dan sosial masyarakat.
Jalan reformasi di tubuh Polri ini tidak sepenuhnya mulus. Polri justru menemui banyak batu penghalang atau berbagai hambatan yang menurunkan semangat reformasi Polri secara utuh dan konsisten. Apa yang terjadi pasca UU Polri memperlihatkan perubahan peran Polri di dalam sistem pemerintahan dan masyarakat.
Tingkat kepercayaan terhadap Pemerintah dan Polri seiring meningkat, level demokrasi yang dibangun juga terangkat. Akan tetapi selayaknya terjadi di negara berkembang, Polri juga menghadapi banyak tantangan dan kendala. Meskipun telah memiliki peta jalan reformasi
Polri untuk mencapai Polri yang berkualitas dan terpercaya; institusi Polri masih ternoda dengan kesalahan maupun beberapa oknum anggota Polri yang belum mencerminkan Polri yang humanis, demokratis, profesional, dan berintegritas. Beberapa permasalahan atau penyebabnya tentu beragam, sehingga menekan pula pada tingginya angka pelanggaran.
Kredibilitas dan prestasi Polri di sejumlah kegiatan masih tercemar dengan beberapa permasalahan seperti budaya represif atau kekerasan, penyalahgunaan kewenangan, keterlibatan dalam tindak pidana atau kegiatan ilegal, pelanggaran kode etik, isu politisasi dan kriminalisasi, dan berbagai permasalahan dalam internal Polri sendiri.
Kendala ini memang bisa terjadi karena Polri memang salah satu lembaga atau kesatuan terbesar di Indonesia, sehingga pengawasan dan pembinaan dalam tata kelola organisasinya akan semakin sulit dan rumit. Namun yang patut diacungi jempol adalah bagaimana Polri kini semakin terbuka terhadap kritik dan perubahan serta semakin responsif. Polri seperti memiliki "telinga" yang efektif untuk mendengar kritikan dan masukan.
Kita mulai melihat bahwa kini anggota Polri yang dahulu sangat kental dengan citra tertutup, eksklusif, dan cenderung membela anggotanya (esprit de corps), perlahan berubah menjadi Polri yang sipil, terbuka, dan bahkan berani untuk menindak anggotanya yang bersalah baik secara hukum maupun etik.
Kini Kapolri, Jenderal Listyo Sigit telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri sebagaimana upaya menjawab tuntutan reformasi Polri di samping menunggu Komite Reformasi Polri yang telah dibentuk oleh Presiden.
Meski begitu, pembentukan tim ini masih mengundang banyak reaksi masyarakat hingga sentimen negatif. Melihat dari tren responsivitas Polri terhadap sejumlah permasalahan, diyakini Polri akan mampu mengidentifikasi sejumlah permasalahan mendasar dan mencoba merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden, baik yang dapat ditindaklanjuti secara jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
Namun begitu, masyarakat tentu masih menunggu gebrakan perubahan nyata dan mendasar yang akan dihasilkan oleh Tim ini.
Transformasi Kultur dan Struktur Polri Agenda reformasi hukum merupakan hal yang tidak boleh berhenti dalam suatu negara. Pembangunan dan reformasi sistem hukum (substansi, struktur, dan kultur hukum) sebagaimana teori Lawrence Friedmann harus tetap berlangsung. Pembaruan hukum yang konsisten dan berkelanjutan menjadi jalan bagi kehadiran negara dalam melindungi dan menjamin hak dan kewajiban warga negaranya.
Bangsa yang maju dan berdaulat memiliki agenda pembangunan sistem hukum (termasuk sistem penegakan hukum dan peradilan) yang berkualitas, adil, berkepastian hukum dan bermanfaat. Oleh sebab itu dibutuhkan institusi hukum yang kuat, bersih, dan profesional.
Pada saat ini, responsivitas, konsistensi, dan transparansi menjadi kunci dalam membangun kredibilitas institusi dan kepuasan publik. Maka Polri harus mampu menghadirkan transparansi dan responsivitas atau sensitif terhadap perkembangan dan dinamika masyarakat maupun dinamika hukum dalam setiap peranannya; disamping berbagai inovasi dan konsistensi kerja.
Polri maupun seluruh lembaga tidak boleh anti-kritik dan secara terbuka mengakui dan melaporkan seluruh hasil kerjanya. Ke depan, Polri akan terus menghadapi masukan maupun kritik atau bahkan dipersepsikan negatif.
Fenomena ini memang menjadi dampak dari keterbukaan di era modern dan penggunaan media elektronik dan teknologi. Pada saat ini, masyarakat menunggu arah dan tujuan reformasi Polri yang akan disandingkan dengan hasil nyata maupun outcome dari strategi perubahan tersebut.
Masyarakat tentu tidak hanya berharap adanya perubahan struktur, namun juga kultur atau fondasi dari Korps Bhayangkara. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian setidaknya adalah bagaimana menjamin adanya transparansi dan independensi Polri. Selain itu, perbaikan di sistem tata kelola SDM dan organisasi, perbaikan kualitas dan integritas kerja, pengawasan yang lebih nyata dan efektif, di samping pembangunan sistem tata kelola kerja
dan institusi (dari rekrutmen, pendidikan, hingga sistem kelola jabatan) yang lebih terukur dan obyektif.
Adapun perubahan kebijakan seperti UU Polri atau regulasi lain terkait fungsi dan struktur organisasi tentu akan menyesuaikan dengan prioritas kebutuhan.
Inovasi dan terobosan diperlukan untuk menghadirkan transformasi reformasi yang "kekinian" seperti perubahan paradigma Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat daripada penegakan hukum dan kekuasaan semata serta Polri yang kredibel.
Polri dapat menghadirkan pembangunan otomatisasi sistem kerja yang profesional dan akuntabel melalui pengawasan dan kepemimpinan yang efektif dan berbudaya kerja nyata.
Demikian pula, penggunaan modern police seperti pada konsep smart-policing atau epolicing yang bertujuan untuk menghadirkan budaya kerja yang responsif, berkualitas, profesional, dan terawasi. Polri harus terus berinovasi dalam satu arah yakni: "Polri yang Berintegritas, Adil, dan Handal". Dengan begitu, arah transformasi dan reformasi yang dijalankan akan tertuju pada satu cita-cita besar yang dapat diwujudkan dengan nyata.
Nazaruddin Dek Gam. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan dan Anggota Komisi III DPR RI.
Simak Video 'Mahfud Md Setuju Gabung Tim Reformasi Polri, Ini Kata Puan':
(rdp/tor)