Kolom

Ketika Nilai Kemanusiaan Memudar di Balik Kekerasan

Saiful Maarif - detikNews
Kamis, 11 Sep 2025 13:33 WIB
Alvi Maulana pelaku pembunuhan dan Mutilasi Pacar yang jasadnya dipotong dan dibuang di Pacet (Foto: Enggran Eko Budianto)
Jakarta -

Kasus-kasus mutilasi dan pembunuhan dalam wujud penganiayaan sadis kembali mengguncang ranah publik. Dari berita di berbagai platform media hingga perbincangan di media sosial, kebrutalan yang terjadi tidak hanya menyisakan luka fisik bagi korban, tetapi juga trauma kolektif bagi masyarakat. Hanya dalam hitungan jam, kita ditunjukkan aksi pembunuhan satu keluarga dan mutilasi yang terjadi di Indramayu dan Mojokerto.

Aparat kepolisian memang mampu menangkap pelaku, namun, sekali lagi, kita terlanjur disuguhkan drama sosial yang mengiris hati: bagaimana mungkin seseorang dimutilasi hingga ratusan potong atau betapa sadisnya sekeluarga dibunuh di mana terdapat anggota keluarga korban yang masih balita di dalamnya.

Data dari Komnas Perempuan (2024) mencatat bahwa kekerasan berbasis gender, termasuk kasus ekstrem seperti mutilasi, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, laporan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri (2024) menunjukkan bahwa motif di balik kekerasan ini sering kali dipicu oleh hal-hal sepele seperti cemburu, dendam, atau konflik personal yang tidak terselesaikan.

Pendidikan, media, dan tekanan sosial-ekonomi

Meski demikian, secara sosial, kita patut melihatnya lebih jauh karena beberapa hal. Pertama, gagalnya penanaman nilai kemanusiaan secara komprehensif. Pendidikan karakter yang seharusnya menjadi fondasi sejak dini tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah besar. Sekolah-sekolah lebih fokus dan berlomba pada capaian akademik, sementara pelajaran tentang empati, pengendalian diri, dan penyelesaian konflik secara damai sering terabaikan. Akar masalah ini kian diperburuk oleh lingkungan sosial yang individualistis, ditandai dengan solidaritas dan kepedulian terhadap sesama yang mulai memudar.

Kedua, amplifikasi media sosial. Alih-alih menjadi ruang untuk menyebarkan nilai positif, platform daring kerap menjadi panggung glorifikasi kekerasan dengan beragam pembenaran. Video-video penganiayaan atau narasi yang memicu kebencian menyebar dengan cepat, seolah menormalkan sadisme. Tak heran jika sebagian individu, terutama generasi muda yang rentan, terpapar dan terinspirasi oleh konten-konten yang menyajikan tayangan sadistik ini.

Dalam konteks demikian, Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri mencatat, pada tahun 2024 anak muda (pelajar dan mahasiswa) menempati posisi ketiga terbanyak selaku pelaku pembunuhan setelah petani, nelayan, dan pedagang (1), serta karyawan swasta (2).

Ketiga, tekanan ekonomi dan sosial pada keluarga. Keluarga sebagai institusi pertama dalam membentuk karakter individu memainkan peran krusial. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa banyak keluarga kini terjebak dalam tekanan ekonomi atau disfungsi sosial. Hal ini menyebabkan pendidikan moral anak sering terabaikan. Anak kehilangan kehangatan suasana kekeluargaan dan lunturnya kebersamaan dari ruang paling dekat mereka.

Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa melepaskan diri dari kondisi ini. Ketika tetangga, teman, atau komunitas sekitar memilih diam atas tanda-tanda kekerasan, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau bullying, maka benih-benih kebrutalan dibiarkan tumbuh. Jangan sampai pembiaran kasus penikaman Irina Zarutska (23) baru-baru ini di subway di Amerika Serikat hingga tewas, terjadi di depan banyak orang, dan tanpa satupun yang tergerak memberi atensi, terjadi di Indonesia.

Perspektif sosiologis

Fenomena mutilasi dan pembunuhan sadistik ini mengingatkan kembali pada pandangan sosiolog Emile Durkheim yang sudah klasik tentang teori anomi. Sosiolog Prancis, yang dikenal sebagai salah satu pendiri sosiologi modern, ini mengembangkan konsep anomi (anomie) dalam karya-karyanya, terutama dalam buku The Division of Labor in Society (1893) dan Suicide (1897).

Teori anomi Durkheim menjelaskan kondisi sosial di mana norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dalam masyarakat melemah atau hilang, menyebabkan kebingungan, ketidakpastian moral, dan potensi perilaku menyimpang, termasuk kekerasan ekstrem seperti mutilasi atau tindakan tak berperikemanusiaan.

Dalam masyarakat yang sehat, norma-norma sosial memberikan panduan yang jelas tentang perilaku yang dapat diterima, menciptakan solidaritas, dan kohesi sosial. Durkheim mendefinisikan anomi sebagai keadaan "tanpa norma" (normlessness) atau ketidakseimbangan sosial di mana aturan-aturan moral dan sosial yang biasanya mengikat individu ke dalam tatanan kolektif menjadi lemah atau tidak lagi relevan.

Di titik tanpa norma inilah kemudian nilai kemanusiaan hilang. Dalam Violence without Moral Restraint: Reflections on the Dehumanization of Victims and Victimizers (1973), Herbert Kelman menjelaskan bahwa dehumanisasi adalah proses psikologis di mana pelaku kekerasan memandang korbannya sebagai entitas yang tidak lagi memiliki kualitas kemanusiaan.

Akibatnya, korban kehilangan status sebagai individu yang layak mendapatkan empati, rasa hormat, atau perlakuan moral. Kelman mengidentifikasi dehumanisasi sebagai salah satu mekanisme utama yang memungkinkan pelaku melakukan tindakan keji tanpa merasa bersalah atau terkekang oleh norma moral. Menurut Kelman, dehumanisasi terjadi ketika korban dipandang sebagai bukan manusia (subhuman), tidak layak secara moral, dan ancaman atau musuh.

Berdasarkan pandangannya tentang dehumanisasi, Kelman menawarkan empat jalan untuk ke luar dari situasi dehumanisasi yang tetap relevan hingga kini. Pertama, penguatan pendidikan empati. Program pendidikan yang menekankan pengenalan emosi dan perspektif orang lain dapat mengurangi kecenderungan dehumanisasi. Ini sejalan dengan teori pembelajaran sosial di mana empati dapat diajarkan melalui contoh positif.

Kedua, regulasi media. Dipahami, upaya mengontrol konten kekerasan di media sosial dapat dengan sendirinya mencegah desensitisasi (penumpulan empati). Dalam konteks ini, pemerintah dan platform digital perlu bekerja sama untuk membangun kesepahaman dalam menyaring narasi yang memicu dehumanisasi.

Ketiga, intervensi psikologis. Terapi berbasis empati, seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT), dapat membantu individu dengan kecenderungan agresif untuk mengenali kemanusiaan orang lain. Intervensi psikologis seperti ini sangat dimungkinkan dalam konteks manajemen kesehatan mental yang baik dan mumpuni ke semua kalangan dan jenjang usia.

Yang terakhir adalah penguatan norma sosial. Masyarakat perlu membangun kembali norma kolektif yang menekankan solidaritas dan penghormatan terhadap individu, untuk melawan proses otorisasi dan rutinisasi kekerasan. Kekerasan tidak boleh dinormalisasi atas nama apapun. Hal ini menjadi penting terutama dalam konteks upaya mengembalikan nilai kemanusiaan dalam masyarakat.


Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Kemenag dan pegiat Birokrat Menulis

Tonton juga video "Cerita Unit K-9 Saat Cari Potongan Tubuh Korban Mutilasi di Mojokerto" di sini:




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork