Kolom

Keselamatan Kerja dan Mentalitas Rente

Irwan Hafid - detikNews
Rabu, 27 Agu 2025 12:40 WIB
Foto: Kepalkan Tangan, Eks Wamenaker Noel Resmi Ditahan KPK (Pradita Utama)
Jakarta -

Kasus dugaan pemerasan dalam layanan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang menyeret Wakil Menteri Ketenagakerjaan kembali menohok kesadaran publik. Layanan yang seharusnya melindungi nyawa buruh justru diperdagangkan.

Praktik ini menyingkap wajah lama birokrasi, pelayanan publik masih dipandang sebagai ladang rente.

Bahaya terbesar dari praktik rente bukan hanya kerugian finansial, melainkan hilangnya kepercayaan publik. Buruh yang seharusnya merasakan negara sebagai pelindung justru memandangnya sebagai pemalak. Begitu kepercayaan runtuh, legitimasi hukum ikut tergerus.

Mengapa Korupsi Terus Terjadi?

Pertama, teori pilihan rasional (rational choice theory) yang dikemukakan oleh Gary Becker (1968) dalam Crime and Punishment: An Economic Approach. Becker menjelaskan bahwa individu akan menghitung untung-rugi sebelum melakukan kejahatan.

Jika peluang keuntungan besar dan risiko hukuman kecil, korupsi dipandang sebagai pilihan rasional. Dalam konteks K3, sertifikasi bernilai ekonomi tinggi bagi perusahaan, sementara pengawasannya masih lemah.

Kedua, teori "strain" yang dikembangkan Robert K. Merton (1938) dalam Social Structure and Anomie. Merton menekankan bahwa perilaku menyimpang muncul ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan sosial dan sarana legal yang tersedia.

Tekanan gaya hidup pejabat, ekspektasi sosial, bahkan kebutuhan pembiayaan politik sering mendorong penyalahgunaan kewenangan sebagai jalan pintas.

Ketiga, teori kesempatan atau routine activity theory (Cohen & Felson, 1979) dalam artikel Social Change and Crime Rate Trends. Teori ini menegaskan bahwa kejahatan terjadi karena hadirnya tiga unsur: pelaku yang termotivasi, target yang bernilai, dan ketiadaan pengawas yang efektif.

Birokrasi K3 yang berbelit menciptakan target empuk, sementara lemahnya mekanisme kontrol membuat praktik rente berulang.

Keempat, faktor budaya juga berperan. Susan Rose-Ackerman dalam Corruption: Causes, Consequences and Agenda for Further Research (1999) menunjukkan bahwa korupsi sering mengakar sebagai praktik yang dianggap normal. Di banyak birokrasi, uang pelicin dianggap "tradisi", sehingga perilaku korup sulit diberantas hanya dengan sanksi hukum.

Membenahi dari Hulu

Karena penyebabnya multidimensi, solusi juga harus menyentuh hulu. Pertama, reformasi regulasi mutlak dilakukan. Celah aturan yang memberi ruang diskresi terlalu besar harus ditutup agar prosedur sederhana, seragam, dan bebas dari negosiasi yang berujung pada pemerasan, suap, dan gratifikasi.

Kedua, digitalisasi layanan publik wajib diterapkan. Seluruh proses sertifikasi K3 harus berbasis sistem daring yang transparan, dengan jejak digital yang bisa dilacak pemohon. Transparansi ini otomatis menutup peluang tawar-menawar di bawah meja.

Ketiga, pengawasan internal dan eksternal diperkuat. Inspektorat Jenderal harus diberi mandat kuat dan dipantau publik, bukan sekadar formalitas administratif. Mekanisme whistleblower wajib dijamin perlindungannya agar laporan pungli tidak berujung intimidasi.

Keempat, budaya birokrasi yang sehat perlu dibangun. Integritas tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus ditumbuhkan melalui reward and punishment. Aparat bersih diberi promosi, sedangkan pelaku penyalahgunaan kewenangan dicopot dan diproses hukum tanpa kompromi.

Mengembalikan Kepercayaan

Pelayanan publik adalah wajah negara sehari-hari. Perusahaan yang mengurus sertifikasi K3 sejatinya sedang berhadapan langsung dengan negara. Jika layanan vital ini berubah menjadi mesin rente, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar uang, tetapi nyawa pekerjanya.

Kasus Kemenaker harus menjadi momentum untuk keluar dari mentalitas rente. Mengandalkan OTT saja tidak cukup, sebab itu hanya menyasar gejala. Yang jauh lebih penting adalah membenahi sistem agar peluang korupsi tidak pernah muncul sejak awal.

Akhirnya, ukuran keberhasilan bukan diukur dari berapa banyak pejabat ditangkap, melainkan dari seberapa kecil peluang korupsi tersedia. Jika reformasi ini dijalankan konsisten, publik akan kembali percaya bahwa negara tidak sedang memperdagangkan keselamatan warganya, tetapi benar-benar menjaganya.

Irwan Hafid. Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga.

Simak juga Video: Bukannya Tumpas Pemerasan K3, Ebenezer Malah Minta Jatah




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork