Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah perwujudan demokrasi di ruang industri. Buruh sebagai rakyat di ruang ini adalah subjeknya, yang wajib mendapatkan jaminan perlindungan hak ideologisnya.
Karena itulah konsensus global melalui Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menegaskan K3 sebagai instrumen politik perlindungan buruh yang harus ditempatkan sebagai norma hukum positif. Itu artinya, K3 menjadi kontrak sosial yang mengikat negara dan bukan objek sertifikasi yang bisa dinegosiasikan apalagi ditransaksikan.
Penting mengingatkan kita semua bahwa konsensus universal ini lahir dari sejarah panjang penderitaan buruh di awal era industrialisasi skala besar. Kasus ledakan tambang Courrières di Prancis pada tahun 1906 yang menewaskan lebih dari seribu penambang, diyakini banyak akademisi bidang kesehatan kerja dan ketenagakerjaan global sebagai peristiwa kemanusiaan awal yang memicu pergerakan perlindungan buruh yang berorientasi K3.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu tonggak terpenting adalah peristiwa Triangle Shirtwaist Factory Fire (1911) di New York, di mana 146 buruh perempuan imigran tewas terjebak di pabrik tekstil karena pintu darurat dikunci. Tragedi yang mengguncang dunia ini mendasari lahirnya regulasi keselamatan kerja modern di Amerika Serikat. Ini lalu meneguhkan komitmen negara-negara besar di PBB, bahwa tanpa norma internasional, negara dan kapital akan cenderung menekan biaya dengan mengorbankan kesehatan dan nyawa pekerja.
ILO menyempurnakan legalitas perlindungan ini dengan menetapkan Occupational Safety and Health (OSH, 2003) sebagai bagian dari 'fundamental principles and rights at work'. Implikasinya tegas, semua negara anggota, terlepas dari tingkat pembangunan ekonominya, wajib menjamin perlindungan K3. Dan Indonesia juga mengatur tegas hal ini lewat Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Namun, kebijakan K3 juga perlu selaras dengan norma global yang turut memperhitungkan aspek perdagangan dan ekonomi dunia, sehingga memunculkan celah risiko problematika terstruktur. Tekanan produksi dan tuntutan standar global sering kali membuat K3 diterjemahkan secara sempit sebagai lambang kepatuhan pemilik modal, bukan spirit perlindungan hak pekerja semata.
Sejumlah laporan akademis di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM), menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia cenderung berorientasi pada audit checklist demi memenuhi syarat ekspor dan menghindari sanksi, bukan demi membangun sistem perlindungan nyata bagi buruh.
Sebagai contoh, survei pada industri garmen di Jabodetabek (IJCOM, 2022) menemukan hanya 28-persen perusahaan yang rutin mengadakan pelatihan keselamatan bagi pekerja, meskipun hampir semua memiliki sertifikat SMK3 atau ISO 45001. Artinya, sertifikasi seperti menjadi prosedur rutin saja, sementara substansi perlindungan pekerja berisiko terabaikan.
Ketika pasar ekonomi dunia semakin ketat mensyaratkan kepatuhan sosial, termasuk K3, kecenderungan menjadikan SMK3 sebagai komoditas administratif pun semakin besar. Apalagi berbagai kajian akademik memperlihatkan pola berupa semakin tingginya kepemilikan sertifikat manajemen K3 yang tidak berdampak pada penurunan 'lost-time injury' atau kejadian nyaris celaka (near-miss). Artinya, tersertifikasi K3 adalah indikator keberhasilan tempat kerja dalam mengendalikan occupational hazards atau bahaya keselamatan dan kesehatan kerja. Namun faktanya dokumen lulus audit dan tersertifikasi tidak otomatis membuat tubuh pekerja lebih aman!
Yang paling dikhawatirkan dari fenomena ini adalah munculnya difusi tanggung jawab dalam budaya implementasi perlindungan kecelakaan dan kesehatan buruh karena normalisasi pemikiran bahwa tersertifikasi simetris dengan perlindungan.
Data laporan kecelakaan kerja yang meningkat setiap tahun menjadi indikator halus bahwa difusi tanggung jawab yang salah kaprah telah terjadi di industri. Sekadar mengingatkan bahwa di bulan April 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat peningkatan kecelakaan kerja hingga 12-persen, sementara pencapaian lolos audit K3 menunjukkan hasil yang baik!
Di titik ini, pemerintah terutama melalui Kemenaker seharusnya menjadi korektor struktural yang berperan mengembalikan K3 ke ranah hak, bukan sekadar kepatuhan. Pengungkapan kasus suap sertifikasi K3 yang melibatkan birokrat senior di institusi inipun harus disikapi sebagai momentum penting untuk mengembalikan prinsip K3 kepada budaya fundamentalnya yaitu perlindungan kesehatan dan keselamatan pekerja.
Pertanyaan mendasar tentang elemen mana yang masih bisa diubah tentu menjadi proposisi strategis saat ini. Sudah sepatutnya langkah pertama yang perlu dilakukan adalah perlunya memisahkan fungsi sertifikasi dengan fungsi penegakan, auditor tidak boleh menjadi 'gerbang izin' sekaligus 'penilai' untuk pasar.
Kedua, kembalikan indikator K3 hanya pada luaran kesehatan kerja saja, seperti misalnya lost-time injury rate, ataupun surveilans penyakit kerja, dan harus diawasi oleh dokter okupasi independen. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang punya program pendidikan magister kesehatan kerja (MKK) dan prodi spesialis kedokteran okupasi di FKUI. Tingkatkan magnitudo kewenangan para tenaga kesehatan kerja ini sebagai verifikator dan pengawas K3. Karena saat ini, mereka juga ikut-ikutan menjadi objek sertifikasi K3, aneh kan?
Ketiga, perluas cakupan indikator K3 ke sektor informal lewat insentif fiskal, model koperasi keselamatan, dan klinik okupasi berbasis komunitas. Koperasi Merah Putih bisa nantinya membuka unit usaha K3 untuk pekerja informal perkebunan atau perikanan dan kelautan yang menjadi tulang punggung perekonomian negara.
Tugas negara adalah membalik logika itu, mengalihkan pusaran dari audit ke nyawa pekerja. Hanya dengan begitu, K3 tak menjadi rutinitas sertifikasi yang rentan 'jual-beli', namun kembali menjadi apa yang semestinya, yaitu kebijakan yang memastikan setiap pekerja berangkat dengan harapan dan pulang dengan tubuh yang utuh. Dan melindungi nyawa buruh bukanlah pilihan, melainkan kewajiban ideologis bangsa.
Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, Pendiri Health Collaborative Center (HCC) dan Pengajar Kedokteran Kerja di FKUI
Instagram @ray.w.basrowi
(akn/ega)