Saat Gula-Gula Korupsi Menjerat Sang Aktivis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Saat Gula-Gula Korupsi Menjerat Sang Aktivis

Kamis, 28 Agu 2025 12:40 WIB
Gunarwanto
Chartered accountant dan analis kebijakan publik. Bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan. Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat lembaga.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer mengenakan rompi oranye saat digiring keluar dari ruang pemeriksaan KPK di Jakarta, Jumat (22/8/2025). Ia ditahan bersama sejumlah orang lain usai operasi tangkap tangan.
Foto: Eks Wamenaker Noel Resmi Ditahan KPK (Pradita Utama)
Jakarta -

Apa yang terjadi ketika seseorang yang dulu berteriak lantang "lawan korupsi" di jalanan, sekarang justru tertangkap tangan karena kasus korupsi? Kasus ini bukan sekadar berita, melainkan sebuah tamparan yang memalukan.

Ia adalah ironi paling getir di tengah geliat reformasi yang belum usai: seorang mantan aktivis yang lantang menuntut keadilan, kini justru dicatat dalam daftar panjang orang yang tergelincir oleh godaan gula-gula kekuasaan.

Dari Jalanan ke Ruang Kekuasaan

Aktivis reformasi '98 adalah generasi yang tumbuh dalam kobaran api idealisme. Mereka bersuara lantang, berkorban, bahkan mempertaruhkan nyawa demi sebuah janji: Indonesia yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Immanuel Ebenezer, alias Noel, adalah bagian dari mereka. Di awal Prabowo Subianto menjabat Presiden, ia pernah berkomentar terhadap pidato Prabowo, "Saya suka pidato itu, cocok dengan karakter saya sebagai aktivis '98, yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi."

ADVERTISEMENT

Namun, idealisme dari jalanan itu sering kali diuji saat masuk ke ruang-ruang ber-AC yang disebut birokrasi. Jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan adalah pintu masuk ke sebuah dunia baru yang penuh dengan "gula-gula" korupsi.

Puncak kenikmatan itu ternyata tidak hanya berhenti di sana; Noel juga mendapatkan jatah komisaris PT Pupuk Indonesia. Berbagai jabatan dan fasilitas megah tersebut adalah simbol dari sebuah pencapaian, sebuah "hadiah" atas perjuangan.

Entah kenapa, semua itu tidak terasa cukup. Godaan yang lebih besar, "gula-gula" yang lebih manis saat memegang jabatan, bisa datang dalam banyak bentuk: akses ke dana besar, jaringan kolega dan bisnis yang menggiurkan, hingga perasaan berhak atas kompensasi setelah merasa "berjasa" dalam perjuangan politik. Korupsi tidak selalu datang dalam wujud niat jahat.

Kadang, ia menyusup perlahan, dimulai dari sebuah "bantuan" kecil, "hadiah" dan "komisi" yang dianggap wajar, hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan koruptif yang mematikan.

Korupsi Keji: Saat Keselamatan Menjadi Komoditas

Korupsi sering kali kita bayangkan sebagai pencurian uang negara dalam skala besar. Namun, kasus yang menjerat Noel menunjukkan jenis korupsi yang jauh lebih keji dan mengerikan. Korupsi ini bukan sekadar soal merugikan keuangan, tetapi langsung mengancam nyawa.

Modusnya sederhana tetapi brutal: birokrasi, yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan publik, justru berubah menjadi sarana pemerasan. Dalam konteks ini, jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan seharusnya menjadi benteng untuk memastikan keselamatan pekerja.

Setiap sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah jaminan bahwa sebuah perusahaan telah memenuhi standar untuk melindungi para karyawannya dari risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

Namun, di tangan oknum pejabat dan pelaksana birokrasi rakus, proses sertifikasi itu dijadikan komoditas. Ia bukan lagi soal memenuhi standar, melainkan tentang berapa banyak uang yang bisa diperas dari perusahaan.

Pejabat menggunakan jabatannya sebagai senjata untuk menekan pihak swasta. Mereka tahu bahwa tanpa sertifikasi ini, perusahaan tidak bisa beroperasi, sehingga perusahaan terpaksa "membayar" demi kelancaran.

Dampaknya sangat mengerikan. Ketika sertifikasi K3 bisa dibeli, atau dipersulit penerbitannya, maka standar keselamatan kerja diabaikan. Uang suap menutupi kekurangan persyaratan, prosedur, dan sarana prasarana kerja yang membahayakan nyawa. Korupsi jenis ini bukan lagi sekadar merugikan negara, tetapi merusak fondasi moral dan sosial.

Ia menciptakan sistem di mana nyawa manusia dan hak mereka untuk bekerja dengan aman, dihargai lebih rendah dari selembar kertas sertifikasi yang dibeli dengan uang haram. Di sinilah letak kekejiannya: jabatan yang seharusnya melindungi, malah dipakai untuk memperdagangkan keselamatan orang lain demi keuntungan pribadi.

Teori GONE: Bukan Soal Moral, tapi Sistem

Untuk memahami kasus ini, kita bisa melihatnya melalui lensa teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) dari Jack Bologne dalam bukunya The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime. Teori ini menjelaskan mengapa seseorang, bahkan seorang aktivis, bisa jatuh ke dalam lubang korupsi.

Greed (keserakahan): Dorongan untuk mendapatkan lebih, baik karena ambisi pribadi maupun untuk memenuhi tuntutan kelompok. Perasaan "sekarang giliran saya" bisa menjadi pemicu yang berbahaya.

Sementara, Opportunity (kesempatan): Lubang dalam sistem pengawasan yang lemah. Jabatan wakil menteri dan komisaris BUMN memberi Noel kesempatan untuk mengakses dan memanipulasi proses birokrasi yang rentan itu.

Lalu, Need (kebutuhan): Kebutuhan finansial, baik untuk diri sendiri maupun untuk membiayai jaringan politik. Selain untuk kebutuhan pribadi, bisa jadi Noel perlu biaya untuk memelihara jaringan politiknya.

Terakhir, Exposure (paparan): Risiko terbongkarnya korupsi yang rendah. Ketika hukuman tidak memberi efek jera dan pengawasan publik tidak cukup ketat, pelaku merasa aman.

Teori ini menegaskan bahwa tidak ada yang kebal terhadap godaan korupsi. Bahkan seorang aktivis pun bisa tergelincir jika sistem dan situasinya memungkinkan.

Menjaga Api Reformasi

Kasus Immanuel Ebenezer adalah cermin yang harus kita hadapi. Ia menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi tidak berhenti di jalanan atau di dalam penjara, melainkan harus terus hidup di dalam diri setiap orang yang memegang kekuasaan. Saat seorang aktivis masuk sistem kekuasaan, hendaknya tidak tergoda dengan gula-gula kekuasaan dan korupsi yang menjerat, namun justru harus membersihkannya.

Reformasi bukan hanya soal mengganti rezim, tetapi soal membangun budaya integritas dan pengawasan yang kuat. Aktivis yang masuk ke dalam sistem harus menjadi agen perubahan, bukan korban godaan. Dan kita, sebagai publik, memiliki tanggung jawab untuk terus mengawasi, agar api reformasi yang sudah kita nyalakan sejak 1998 tidak padam oleh manisnya gula-gula korupsi.

Gunarwanto. Chartered accountant dan analis kebijakan publik. Bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan. Tulisan adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat lembaga.

Simak juga Video: Prabowo Resmi Copot Wamenaker Immanuel Ebenezer

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads