Kolom

Tesso Nilo: Dilema Manusia, Gajah, dan Hutan

Saurlin P Siagian - detikNews
Kamis, 21 Agu 2025 13:02 WIB
Foto: Ilustrasi Hutan Tesso Nilo (detik)
Jakarta -

Kabar dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) kembali membuat hati berdebar. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) memasang puluhan plang penanda di berbagai titik kawasan. Di dalam salah satu baliho berukuran raksasa di TNTN, dituliskan: Waktu relokasi mandiri diberikan selama 3 (tiga) bulan, yaitu mulai tanggal 22 Mei 2025 sampai dengan 22 Agustus 2025.

Di tengah ketiadaan solusi pemulihan dan alternatif penghidupan, ketegangan pun meningkat. Dikhawatirkan, tanpa mitigasi dan solusi berkeadilan, situasi ini bisa berubah menjadi ledakan konflik agraria.

Kita telah diperingatkan, demo puluhan ribu warga telah berlangsung dua kali di kota Pekanbaru, Riau dalam satu bulan terakhir.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pengalaman di banyak daerah menunjukkan, pengusiran paksa yang dilakukan tanpa musyawarah dan kompensasi memadai sering kali berakhir pada bentrokan, bahkan korban jiwa.

Di Tesso Nilo, masalah ini berlapis: persoalan ekologi, sosial, dan hak asasi manusia bertaut menjadi simpul konflik yang rumit. Benar, hutan Tesso Nilo rusak parah, Namun itu tidak terjadi semalam. Ini adalah hasil dari pilihan negara selama puluhan tahun, buah dari apa yang kita tanam, atau biarkan tumbuh.

Karena situasi ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mendapatkan berbagai pengaduan dari masyarakat sekitar Tesso Nilo, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pemantauan ke lokasi pada minggu pertama Agustus 2025. Selain itu, Tim Komnas Ham juga melakukan kajian dokumen, permintaan keterangan, serta akan segera menyampaikan rekomendasi kepada para pihak.

Ijin Koridor RAPP dan Perambahan Masif

Kerusakan TNTN tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Sejak awal 2000-an, pembukaan koridor transportasi oleh PT RAPP yang diijinkan oleh kementerian terkait-dengan lebar rata-rata 20 meter dan panjang puluhan kilometer, serta perubahan status kawasan disepanjang jalan koridor-telah menghubungkan konsesi Hutan Tanaman Industri di kaki Tesso Nilo dengan pabrik di Pangkalan Kerinci.

Meski dibangun untuk kepentingan logistik industri, koridor ini sekaligus membuka akses lebar bagi masyarakat sekitar, pemburu, dan pendatang baru. Komnas HAM berkesempatan melihat secara langsung jalan koridor yang begitu lebar dan mulus mulai dari jalan lintas Sumatera hingga ke jantung Tesso Nilo, dimana kiri dan kanannya sudah dipenuhi rumah-rumah warga.

Data WWF menunjukkan bahwa pada 2009, sekitar 2.279 keluarga tinggal di dalam kawasan TNTN, dan 1.700 di antaranya adalah pendatang non-lokal. Luas hutan yang dirambah mencapai 28.600 hektar, dengan titik terparah justru berada di sekitar jalur koridor RAPP.

Habitat gajah Sumatera pun terfragmentasi, memicu konflik manusia-satwa yang terus berulang. Tidak ada data yang pasti terkait jumlah Gajah tersisa di hutan yang masih utuh, namun berbagai pihak memperkirakan terdapat 150 gajah tersisa di hutan alami seluas tidak lebih dari 12.000 hektar.

Dampak Kebijakan Satgas PKH

Langkah Satgas PKH memasang plang penanda batas kawasan memang membawa harapan bagi perlindungan hutan. Dari sisi positif, penegasan batas dapat mencegah perambahan baru, memperkuat perlindungan satwa, dan memberi pesan tegas bahwa negara hadir.

Namun, tanpa kejelasan status warga yang telah lama bermukim, kebijakan ini juga memunculkan risiko serius. Pemasangan plang, beserta dengan informasi deadline untuk keluar secara mandiri, kelihatannya kurang berkeadilan.

Bagi masyarakat, kehilangan lahan berarti kehilangan sumber pangan, pendapatan, dan tempat tinggal. Tanpa program relokasi layak, skema perhutanan sosial, atau kompensasi, warga cenderung akan bertahan dan melawan.

Dalam konteks hak asasi manusia, pengusiran paksa semacam ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak ekonomi-sosial, hak atas penghidupan yang layak, dan hak partisipasi.

Upaya RETN 2021-2024

Pada periode Menteri LHK Siti Nurbaya, Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) mencoba menawarkan jalan tengah. Program ini menggabungkan rehabilitasi ekologis, kemitraan konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Hingga 2021, rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) mencapai 3.585 hektar, melibatkan 12 kelompok tani hutan dengan 207 anggota.

Strategi yang diusung RETN mencakup inventarisasi lahan, perhutanan sosial, reforma agraria, perbaikan tata kelola kebun sawit, dan ekowisata berbasis masyarakat. Pada 2023, operasi gabungan berhasil menertibkan 600 hektar kebun sawit ilegal.

Rencana pemulihan 2024-2028 menargetkan rehabilitasi 6.095 hektar dengan pendekatan kolaborasi multipihak: pemerintah, akademisi, TNI-Polri, LSM, dan masyarakat desa.

Rekomendasi Komnas HAM 2016

Komnas HAM telah melihat ancaman ini sejak Konsultasi Nasional Krisis Tenurial Tesso Nilo pada Agustus 2016. Temuan waktu itu menunjukkan bahwa luas hutan alam menyusut drastis, konflik tenurial melibatkan ribuan keluarga dengan klaim tumpang tindih, plus kerentanan sosial-ekonomi yang tinggi.

Rekomendasi yang dihasilkan menekankan perlunya pendekatan luar biasa, kehadiran negara yang penuh, dan rencana aksi kolaboratif yang menyelaraskan pemulihan ekologi dengan keadilan sosial. Pesan kuncinya jelas: penyelamatan Tesso Nilo tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan pendekatan penegakan hukum tanpa solusi sosial.

Selain itu, Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada Juli 2025 juga menegaskan pentingnya kembali merujuk rekomendasi Komnas HAM 2016. BAM menegaskan bahwa pengosongan sepihak di TNTN harus dihentikan dan diganti dengan dialog tripartit antara pemerintah, DPR, dan masyarakat.

BAM meminta perlindungan hak hidup warga yang sudah lama bermukim, pemulihan fasilitas dasar seperti pendidikan dan listrik, serta penyelesaian sengketa lahan dengan mempertimbangkan sejarah legalitas administratif setempat, termasuk kepemilikan SHM yang terbit sebelum penetapan taman nasional.

Menatap ke Depan: Hutan dan HAM Harus Satu Nafas

Siapa yang salah dalam carut marut Tesso Nilo? Tesso Nilo adalah potret wajah kita semua. Disana ada berbagai kebijakan negara dan praktik perijinan mulai dari HPH, HTI, hingga pembiaran puluhan tahun.

Tesso Nilo adalah cermin dilema konservasi di Indonesia: bagaimana menyelamatkan hutan dan satwa langka tanpa mengorbankan manusia yang bergantung padanya. Jalan keluar membutuhkan keberanian politik, kreativitas kebijakan, serta bentuk komunikasi yang bisa dipercaya masyarakat.

Negara perlu menunda pengusiran paksa hingga tersedia skema relokasi, kompensasi, atau perhutanan sosial bagi warga terdampak. Kita perlu melirik kembali program kemitraan konservasi seperti yang dicoba RETN, sambil memperluas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan.

Selain itu, menyelesaikan konflik tenurial secara transparan, dengan verifikasi kelas sosial dengan berpihak kepada penyelamatan warga pemilik lahan skala kecil. Lalu, mengintegrasikan perlindungan satwa dan ekosistem ke dalam kebijakan pembangunan daerah, agar gajah, pohon, dan manusia punya ruang hidup yang sama-sama layak.

Tesso Nilo bukan hanya tentang gajah atau pohon. Ia adalah tentang kita semua-tentang keberanian negara untuk memilih jalan yang melindungi alam tanpa meninggalkan rakyatnya. Di sinilah ukuran sejati peradaban dan penghormatan hak asasi manusia akan diuji. Komnas HAM memberikan atensi untuk memastikan keselamatan manusia, dan disaat yang bersamaan keberlangsungan hutan dan lingkungan hidup.

Saurlin Siagian. Komisioner Komnas HAM/ Ketua Tim Agraria.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork