Delapan puluh tahun, delapan dekade—apapun hitungannya, saban 17 Agustus selalu memaksa kita berhenti sejenak, me-rewind, melihat kembali perjalanan bangsa. Kita mengekspresikan kemerdekaan dengan lagu, upacara, dan perayaan-perayaan. Namun perayaan itu seolah-olah berjarak dari realitas bangsa kita sehari-hari. Terlebih keadilan sosial yang dijamin oleh konstitusi negara Pasal 33 UUD 1945, dimana hajat hidup orang banyak harus dimanifestasikan dalam pemanfaatan sumber daya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun, hampir seabad Indonesia merdeka, air dan udaranya masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Melihat realitas tersebut, timbullah satu pertanyaan sederhana dan reflektif namun menohok: apakah kita benar-benar merdeka jika kita masih bergelut dengan lingkungan yang memperpendek napas dan kehidupan warganya?
Tentu, refleksi ini harus berdiri di atas fakta. Maka, jika kita mau jujur dan menyelami data resmi hingga kajian independen, kita akan tekejut bagaimana data tersebut menunjukkan gambaran semua itu yang jauh dari kata "sehat".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, soal air sungai. Dalam pantauan Onlimo (online monitoring) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan per 14 Agustus 2025, dipaparkan bahwa dari 347 stasiun pemantauan air sungai, hanya sekitar 4% yang memenuhi baku mutu kelas II. Sisanya berada pada kategori tercemar ringan hingga berat, bahkan 32,9% stasiun tidak memiliki data sehingga mengonfirmasi bahwa monitoring dan transparansi kualitas lingkungan masih menjadi pekerjaan rumah klasik. Dengan kata lain, mayoritas sungai yang menjadi urat nadi pasokan air, irigasi, dan ekosistem, menunjukkan kondisi yang memprihatinkan.
Kedua, soal timbunan sampah—masalah yang berkaitan erat dengan pencemaran air. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dan publikasi KLHK mencatat timbulan sampah nasional pada kisaran puluhan juta ton per tahun. Bahkan angka tahun 2023 dilaporkan berkisar antara 56,6 juta ton sampai 69,9 juta ton, tergantung sumber dan cakupan penghitungan. Komposisinya didominasi oleh sisa makanan (~41,6%) dan plastik (~18,7%), dan sebagian besar sumber berasal dari rumah tangga. Perbedaan angka ini sendiri lagi-lagi memperlihatkan tantangan tata kelola data, tetapi konsistensi pesan utamanya: timbulan sampah sangat besar dan pengelolaannya belum tuntas.
Ketiga, kualitas udara. Dalam panduan terbaru standar kesehatan internasional WHO (2021) merekomendasikan nilai ambang tahunan untuk PM2.5 sebesar 5 µg/m³,angka yang menjadi tolok ukur kesehatan masyarakat. Namun konsentrasi partikulat halus di banyak kota Indonesia jauh melampaui angka tersebut. Laporan kualitas udara dunia oleh IQAir (2024) menunjukkan kualitas udara nasional dengan rata-rata konsentrasi PM2.5 sebesar 35,54 µg/m³, bahkan laporan terbaru menyebutkan Jakarta sebagai salah satu kota paling tercemar ke-4 di dunia dengan PM2.5 mencapai 43,8 µg/m³, tentu jauh melebihi ambang tahunan serta menempatkan Indonesia peringkat 15 terburuk secara global dalam polusi udara. Dalam analisis lain oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (2024), beberapa kota di Pulau Jawa sering mengalami kualitas udara "moderate" hingga "unhealthy for sensitive groups", beberapa bahkan lebih buruk. Data-data tersebut bukan sekadar angka, melainkan paparan jangka panjang PM2.5 yang meningkatkan risiko penyakit pernapasan, penyakit kardiovaskular, dan memotong harapan hidup.
Keempat, beban kesehatan. Estimasi Global Burden of Disease dan ringkasan oleh State of Global Air (2019) menunjukkan puluhan ribu kematian tahunan di Indonesia yang dapat dikaitkan dengan paparan ambient PM2.5 serta puluhan ribu lagi akibat household air pollution. Dampak ini diterjemahkan menjadi disability-ajusted life years (DALYs) atau tahun kehidupan yang disesuaikan dengan disabilitas dan beban ekonomi—yang pada perkiraan International Institute for Applied System Analysis dalam Cost Inaction: Indonesia (2023) bisa mencapai puluhan miliar USD jika tindakan tidak diambil. Laporan Nafas Indonesia (2024) menunjukkan polusi udara terutama di Jakarta disebut mengakibatkan lebih dari 10.000 kematian per tahun, ribuan rawat inap kasus kardiovaskular dan pernapasan, ribuan dampak pada anak-anak, serta estimasi biaya ekonomi signifikan mencapai USD 2,94 miliar atau setara Rp47,7 triliun.
Angka-angka di atas bukan sekadar statistik, mereka adalah nama, keluarga, anak yang tak lagi bersekolah karena sakit, produktivitas yang hilang, dan ongkos kesehatan yang menjerat rumah tangga miskin.
Mengurai Sebab Struktural, Mengapa Pencemaran Jadi Normal
Pencemaran air dan udara bukanlah kecelakaan; mereka adalah hasil dari pilihan kebijakan, pasar, dan perilaku kolektif. Mulai dari pola produksi-konsumsi linear, dimana ekonomi modern di banyak daerah masih berbasis "ambil-buat-buang". Produk sekali pakai dan kemasan plastik murah mendorong konsumsi yang meninggalkan limbah besar. Tanpa penggeseran ke ekonomi sirkular dan kebijakan tanggung jawab produsen, sampah akan terus menimbun. Bersamaan dengan itu, banyak daerah belum memiliki sistem pengumpulan, pemilahan, pemrosesan, dan pembuangan akhir yang memadai. Ketiadaan sarana ini membuat sampah berakhir di sungai, bantaran, dan lautan. Begitu pula instalasi pengolahan air limbah domestik (SPALD/IPAL) masih sangat terbatas, sehingga limbah domestik langsung dibuang ke badan air.
Disamping itu, regulasi mungkin ada, tetapi implementasi dan penegakan di lapangan seringkali menemui hambatan, seperti kapasitas pemerintahan daerah, konflik kepentingan ekonomi, hingga perilaku korupsi. Industri yang menyalahi aturan pembuangan limbah dan praktek pembakaran sampah yang ilegal kerap tidak disanksi tuntas. Ditambah emisi dari kendaraan bermotor, pembangkit berbahan bakar fosil, dan pembakaran lahan atau biomassa—termasuk kebakaran hutan dan lahan—yang menyumbang beban partikel halus dan gas berbahaya. Upaya transisi energi yang lamban memperpanjang eksposur publik terhadap polutan.
Yang tidak kalah penting ialah ketimpangan kapasitas adaptasi dimana kelompok paling rentan—warga miskin perkotaan, penduduk pesisir, dan komunitas adat—paling merasakan dampak, namun memiliki kapasitas adaptasi dan akses ke layanan kesehatan paling rendah.
Habis Merdeka dari Penjajah, Terbitlah Terjajah Polusi
Mengutip Bung Karno, bahwa kemerdekaan nasional adalah soal kehendak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, hari ini nasib yang ditentukan dalam konteks lingkungan yang rusak adalah nasib yang dibatasi: anak-anak yang tumbuh di area berpolusi; nelayan yang kehilangan tangkapan karena ekosistem terpapar; petani yang mengandalkan irigasi dari sungai tercemar mengalami penurunan produktivitas.
Jika kemerdekaan juga berarti kebebasan dari ancaman terhadap kehidupan, maka perjuangan kita belum lengkap. Merdeka dari penjajahan fisik tidak cukup—kita harus merdeka dari kondisi lingkungan yang melemahkan hak atas kesehatan, pekerjaan, dan masa depan.
Setidaknya refleksi ini harus dibarengi oleh "perlawanan" dengan beberapa kebijakan dan langkah yang—jika sungguh-sungguh diimplementasikan—dapat mengubah narasi dari "airnya tercemar, udaranya terpapar" menjadi "airnya pulih, udaranya bersih". Pertama, perkuat pengelolaan sampah dari hulu dengan penerapan kebijakan pengurangan sampah pada sumber—larangan atau pengurangan produk sekali pakai, skema deposit-refund untuk kemasan, dan insentif produk isi ulang—harus digabungkan dengan program edukasi massal. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperluas infrastruktur pemilahan dan pengolahan organik (komposting skala kota) dan mendukung perbankan sampah/ekonomi sirkular, ditambah SIPSN harus diperkuat agar data pengelolaan menjadi kompas kebijakan.
Kedua, investasi sistem pengolahan air limbah domestik dengan menargetkan cakupan IPAL domestik yang lebih luas di kota dan desa. Investasi ini mengurangi beban pencemaran sungai dan menurunkan risiko penyakit. Pendanaan bisa melalui skema APBD, BUMD bekerjasama dengan swasta, dan mekanisme pembiayaan berbasis hasil (output-based financing). Ketiga, tegakkan regulasi pencemaran industri dan pertanian dengan inspeksi rutin dan berkala, standar baku mutu yang jelas, dan sanksi nyata harus diberlakukan. Selain hukuman, ada pula insentif bagi industri yang beralih ke teknologi ramah lingkungan.
Keempat, percepatan transisi transportasi rendah emisi dan energi bersih dengan perencanaan jangka menengah dan panjang untuk menaikkan angkutan publik massal, ruang pejalan kaki, dan insentif kendaraan listrik, disertai pengembangan energi terbarukan di pembangkit listrik. Kelima, melakukan monitoring, transparansi, dan partisipasi publik. Dengan arti, data kualitas air dan udara harus tersedia dan mudah diakses publik (open data). Partisipasi warga dalam pemantauan (citizen science monitoring) dan pelaporan pelanggaran memperkuat akuntabilitas. Keenam, perlindungan kelompok rentan dan pendidikan dengan melakukan program kesehatan preventif di kawasan terdampak polusi, pendidikan lingkungan di sekolah, dan dukungan alternatif ekonomi bagi pekerja yang terdampak degradasi lingkungan.
Kemerdekaan yang Sejati ialah Ekosistem yang Lestari
Tahun angka peringatan tidak bisa menjadi alasan untuk sekadar nostalgia. Merayakan kemerdekaan adalah momen untuk memperluas makna merdeka: bukan hanya bebas dari penjajahan luar, tetapi juga bebas dari kondisi yang merampas kualitas hidup warganya sehari-hari.
Air yang tercemar dan udara yang terpapar bukan masalah teknis semata—keduanya ialah cerminan pilihan kolektif kita: prioritas pembangunan, budaya konsumsi, dan seberapa jauh kita menghargai hak hidup generasi mendatang. Perubahan memerlukan keberanian politik untuk menggeser kepentingan jangka pendek, serta solidaritas sosial untuk mendorong kerja bersama di level komunitas.
"Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya", ialah penggalan lirik Indonesia Raya (3 stanza) ciptaan W.R. Supratman yang menjadi alarm bahwa keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan tidak bisa dipisahkan, karena keselamatan rakyat tidak mungkin tanpa keselamatan ekosistem. Maka, kemerdekaan yang sejati adalah saat rakyat bisa hidup sehat, generasi muda terlindungi dari ancaman iklim, dan tanah air tetap sakti.
Aldi Agus Setiawan. Mahasiswa S2 Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Ilmu Lingkungan.
Simak juga Video: Prabowo Instruksikan Penanganan Sampah Selesai di 2029