Kolom

Pola Konsumtif di Era Digital, Sebuah Peluang Pajak?

Kawas Rolant Tarigan - detikNews
Rabu, 13 Agu 2025 12:07 WIB
Foto: Ilustrasi pajak (freepik/Freepik)
Jakarta -

Pendapatan negara merupakan urat nadi pembangunan. Meski ekonomi Indonesia terus tumbuh, namun tax ratio justru stagnan di kisaran 9-10% dalam lima tahun terakhir. Angka ini jauh dari target ideal 15% untuk negara berkembang, bahkan lebih rendah dibanding negara ASEAN lain seperti Thailand (14%) atau Vietnam (16%). Lebih lagi, rata-rata negara OECD atau Asia Pasifik berada di kisaran 19-33%.

Transformasi digital telah mengubah wajah ekonomi Indonesia. Transaksi e-commerce, layanan on-demand, konten digital, bahkan aset kripto tumbuh pesat. Namun, pertumbuhan ini belum sepenuhnya tercermin dalam penerimaan pajak.

Banyak potensi pajak digital yang masih lolos dari garapan pajak, baik secara formal maupun material. Kondisi ini menciptakan tax gap yang makin melebar seiring meningkatnya aktivitas ekonomi digital yang tidak tercatat (underground economy).

Era digital menciptakan informasi yang luas, tetapi juga anonimitas tinggi. Platform digital menciptakan rasa "tak terlihat", sehingga penghasilan dari pasar digital belum dilaporkan secara sukarela. Kesadaran pajak digital belum secepat pertumbuhan pengguna digital, sementara otoritas pajak masih menyesuaikan diri secara regulasi dan teknologi.

Era Digital dan Perilaku Konsumtif

Teknologi telah menghadirkan efisiensi, kenyamanan, dan akses informasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Era ini menciptakan ekosistem yang sangat kondusif bagi perilaku konsumtif. Cukup klik, bayar, tunggu barang datang, kapan saja, di mana saja.

Teknologi AI, algoritma, dan data tracking memungkinkan iklan tampil sangat personal. Hasilnya, konsumen terpicu membeli barang yang sebenarnya tidak direncanakan, hanya karena merasa iklan tersebut adalah personalisasi dirinya. Era digital menciptakan budaya Fear of Missing Out (FOMO)--ketakutan tertinggal tren atau momentum sosial tertentu.

Content review, unboxing, dan life goals di media sosial membuat orang merasa harus ikut tren, punya barang yang sama, tampil sama keren. Dorongan konsumtif datang bukan dari kebutuhan, tapi dari paparan sosial digital. Banyak platform menggunakan strategi psikologis dan gamifikasi untuk mendorong konsumsi, seperti poin loyalitas, badge, countdown flash sale, sehingga konsumen didorong merasa harus segera bertindak sebelum "kehilangan kesempatan".

Shopee mencatat di Q3 2020 telah memproses 310 juta transaksi, yang berarti rata-rata 3,4 juta transaksi setiap hari. Data historis Tokopedia menunjukkan lebih dari 9,7 juta merchant aktif dan lebih dari 100 juta pengguna aktif per bulan hingga akhir 2020.

Menurut Grips Intelligence (CEIC data), catatan tertinggi transaksi online pernah melonjak dramatis sebesar 17.517.000 transaksi pada saat promo besar seperti Harbolnas.

Dari sisi jasa, nilai Gross Transaction Value (GTV) GoTo group (seperti GoRide, GoFood, dan GoSend) di tahun 2022, mencatat keseluruhan GTV senilai Rp 613,36 triliun, dengan rata-rata transaksi harian sekitar Rp 1,6 triliun per hari dan estimasi Rp 7,5 juta pesanan setiap harinya.

Untuk Grab, secara global, Gross Merchandise Value (GMV) Grab sepanjang tahun 2023 menunjukan nilai sekitar US$20,98 miliar (±Rp328 triliun). Jika diasumsikan kontribusi Indonesia sebesar 20% dari total GMV, maka nilai GTV Grab Indonesia diperkirakan mencapai Rp58,75 triliun pada tahun 2024.

Peluang: Pajak atas Konsumsi

Besarnya tingkat konsumsi di era digital menjadi peluang dalam pengenaan pajak atas konsumsi, khususnya Pajak Penjualan. Pajak penjualan hadir dengan gagasan sederhana: "siapa yang menikmati, dia membayar". Dari prinsip manfaat (benefit principle), konsumen membayar pajak karena mereka mendapatkan manfaat dari konsumsi barang tersebut. Dari aspek keadilan horizontal, semua konsumen akan dikenai pajak yang sama atas barang yang sama, tanpa melihat latar belakang ekonominya.

Pajak penjualan dirancang untuk memungut penerimaan negara dari aktivitas konsumsi, bukan dari pendapatan atau kekayaan. Dari kesederhanaan administrasi, pajak penjualan dikenakan hanya sekali di titik akhir distribusi (penjualan ke konsumen akhir). Pendekatan compliance by design (seperti embedded taxation) menjadikannya alat yang strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dan meminimalisir free rider.

Dari segi netralitas terhadap produksi, pajak penjualan tidak mempengaruhi keputusan produksi antar pelaku bisnis dalam rantai pasokan karena hanya dikenakan di titik akhir. Hal ini membantu menjaga efisiensi ekonomi.

Dari fungsi pajak sebagai regulerent, pajak penjualan bisa berfungsi sebagai alat pengendali konsumsi, sejalan dengan prinsip pajak sebagai alat rekayasa sosial (fiscal instrument for social behavior). Berbagai sisi unggul tersebut, maka wajar jika negara maju seperti Amerika Serikat masih mengadopsi Sales Tax.

Sekarang mari coba hitung potensi pajaknya dengan nalar. Asumsi saja transaksi harian e-commerce terdapat 3 juta transaksi barang dan 7 juta transaksi jasa, total 10 juta transaksi per hari. Andai dikenakan pajak penjualan Rp1.000 setiap transaksi (angka ini menyerupai biaya jasa aplikasi, atau sekitar 0,5-1% dari nilai transaksi), maka setiap hari pundi negara akan bertambah Rp10 miliar (atau mendekati 1% nilai transaksi harian e-commerce sekitar Rp1 triliun per hari).

"Uang receh" yang dikumpulkan secara massal ini akan menyumbang pajak, sedikitnya Rp 3 triliun per tahun. Angka ini akan lebih bombastis bila dihitung dengan presisi dan diterapkan adil pada semua platform e-commerce. Lebih dari itu, penerimaan pajak bukan sekedar soal angka, tapi partisipasi kolektif semua rakyat.

Penerapan pajak penjualan mungkin terlihat seperti kebijakan kontra-populer. Akan timbul pertanyaan: akankah pengenaan pajak penjualan menimbulkan kericuhan dan penolakan dari masyarakat yang merasa makin terbebani dengan pajak? Kemungkinan bisa saja ada. Namun mari lihat dari pengalaman yang dilakukan platform e-commerce ketika mereka mulai mengenakan biaya tambahan jasa aplikasi (dan sejenisnya) kepada konsumen.

Dari awalnya gratis, e-commerce di Indonesia mulai mengenakan biaya jasa aplikasi (platform fee atau application service fee) secara eksplisit pada sekitar tahun 2019-2022, seiring dengan pertumbuhan pesat pengguna dan kebutuhan monetisasi platform.

Shopee mulai Juni 2020 mengenakan biaya layanan sebesar 1-2% kepada pembeli. Lalu Tokopedia mulai Agustus 2022 mengenakan biaya layanan Rp1.000-Rp2.000 per transaksi kepada pembeli.

Gojek sejak 2019 mulai mengenakan biaya platform bagi layanan transportasi seperti GoRide dan GoCar. Pada 2021, Gojek memperluas pengenaan biaya ini ke layanan GoFood dan GoSend, dengan biaya rata-rata sekitar Rp 3.000 per transaksi untuk GoFood. Grab pertengahan tahun 2020, mulai menerapkan biaya sewa aplikasi (application service fee) yang dibayar oleh pelanggan selain tarif perjalanan.

Lalu apakah masyarakat lantas huru-hara dan meninggalkan e-commerce? Sejarah menjawab tidak. E-commerce masih jadi idola. "Kecilnya" tambahan biaya tersebut masih terjangkau, dan tidak sebanding dengan kemudahan, dan timbal balik lain yang mereka dapat dari e-commerce, sehingga tidak menurunkan gairah beli masyarakat.

Maka, kebijakan pajak atas konsumsi ini layak menjadi potensi berharga bagi otoritas pajak untuk mengkaji lebih dalam, sebagai satu langkah menstimulus tax ratio.

Kawas Rolant Tarigan. Kepala KP2KP Paringin.

Simak juga Video: Jualan Online Makin Cuan? Selamat, Kini Kena Pajak 0,5%




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork