Bisakah Pajak Mengejar Masa Depan?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bisakah Pajak Mengejar Masa Depan?

Selasa, 26 Agu 2025 18:25 WIB
Elam Sanurihim Ayatuna
Pegawai Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan RI.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi pajak
Foto: Ilustrasi pajak (Andhika Prasetia/detikcom)
Jakarta -

Di dunia hukum, ada sebuah adagium yang terkenal, yakni "het recht hinkt achter de feiten aan". Ungkapan berbahasa Belanda ini kurang lebih berarti "hukum selalu tertinggal dari peristiwanya". Maknanya, peraturan sering kali dirumuskan setelah sebuah fenomena sosial, ekonomi, atau teknologi telah terjadi dan meluas di masyarakat.

Adagium ini terasa begitu relevan ketika kita menyoroti dunia perpajakan. Pajak sebagai bagian dari hukum administrasi negara untuk mengumpulkan pundi-pundi penerimaan, kerap kali tergagap dalam merespons kecepatan aktivitas ekonomi.

Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, otoritas pajak seakan berlari maraton untuk mengejar kereta supercepat inovasi bisnis yang terus melaju. Keterlambatan ini bukan sekadar soal waktu, tetapi juga potensi penerimaan negara yang menguap.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada beberapa bukti nyata dari ketertinggalan ini. Salah satu contohnya, pajak atas aset kripto. Aset kripto yang muncul sejak 2009, mulai mendapatkan popularitas signifikan di Indonesia sekitar tahun 2017.

Platform jual-beli aset kripto lokal mengalami lonjakan pengguna dan volume transaksi yang masif, terutama pada periode 2020-2021.

ADVERTISEMENT

Namun regulasi pemajakan yang spesifik, baru berlaku efektif pada 1 Mei 2022 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 68/PMK.03/2022. Ada jeda bertahun-tahun di mana triliunan rupiah transaksi kripto terjadi dalam zona abu-abu perpajakan.

Kedua, pemajakan atas transaksi digital dari penyedia layanan luar negeri. Perusahaan layanan digital telah meraup pendapatan dari jutaan pelanggan di Indonesia cukup lama.

Namun, mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Produk dan Jasa Digital dari luar negeri (dikenal sebagai PPN PMSE) baru efektif berjalan pada 1 Juli 2020. Kebijakan ini merupakan terobosan, tetapi ia datang setelah bertahun-tahun tanpa kontribusi pajak langsung dari transaksi tersebut.

Ketiga, pemajakan melalui lokapasar (marketplace). Berbagai platform lokal Indonesia telah menjadi raksasa ekonomi digital selama lebih dari satu dekade. Namun, penunjukan marketplace sebagai pemungut PPN untuk para penjual di platformnya baru diatur secara lebih tegas pada tahun 2025. Lagi-lagi, regulasi datang jauh setelah ekosistemnya matang dan menjadi urat nadi ekonomi digital UMKM.

Masa depan nantinya juga tidak akan lebih mudah. Penegakan hukum pajak akan terus dihadapkan pada aktivitas ekonomi yang hari ini bahkan belum bisa kita bayangkan. Hal-hal baru yang tengah kita songsong seperti aset virtual di metaverse, karya seni yang dihasilkan Artificial Intelligence (AI), atau jasa dari ekonomi kolaborasi (gig economy) yang semakin terdesentralisasi.

Selain itu, tantangan ke depan tidak lagi hanya sebatas "apa" yang akan dipajaki, melainkan pula "bagaimana" cara memajakinya secara efektif dan adil. Tidak hanya bagaimana hukum pajak atau peraturan perundang-undangan menjawab tantangan zaman, namun bagaimana implementasi penegakan hukum pajak dapat berjalan dengan baik di era digital.

Untungnya, teknologi yang sama yang menciptakan tantangan ini juga menawarkan solusi. Pemanfaatan blockchain untuk transparansi data transaksi, big data analytics untuk mengidentifikasi pola penghindaran pajak, dan artificial intelligence untuk otomasi proses audit adalah beberapa jalan keluar yang dapat ditempuh. Pemerintah Indonesia melalui proyek Pembaruan Core Tax Administration System (CTAS) telah melangkah ke arah ini.

Namun, jalan tersebut tidak mulus. Setidaknya, ada tiga hambatan utama yang perlu diatasi.

Pertama, investasi teknologi. Meskipun proyek CTAS telah melangkah jauh sebagai terobosan, secara historis investasi Indonesia dalam teknologi administrasi pajak masih perlu ditingkatkan. Hal ini terutama untuk bersaing dan beradaptasi dengan kecepatan ekonomi digital global.

Anggaran pengumpulan pajak (cost of collection) Indonesia relatif masih rendah. Menurut data OECD (2024), Indonesia hanya mengalokasikan 0,4% dari total pendapatan negara untuk mendanai administrasi pajak. Jumlah ini masih jauh dibandingkan negara jiran Malaysia yang mengalokasikan 1,8%.

Sementara negara maju lainnya, seperti Singapura mengalokasikan sebesar 0,7%, Jepang sebesar 1,0%, dan Tiongkok sebesar 0,8%. Konsekuensinya, alokasi yang terbatas ini membuat ruang untuk pengembangan dan pemeliharaan teknologi administrasi perpajakan menjadi sangat sempit.

Kedua, kapasitas sumber daya manusia (SDM). Jumlah aparatur Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini sekitar 43.000 orang. Jumlah ini cukup sedikit apabila dibandingkan pegawai otoritas pajak negara lainnya.

Amerika Serikat sebagai negara maju dengan teknologinya memiliki pegawai pajak sebesar 80.000-an orang. Negara maju lainnya, Tiongkok bahkan lebih besar lagi dengan 755.000 aparatur pajak. Sementara itu, Jepang dengan luas wilayah dan penduduk yang lebih kecil dari Indonesia justru memiliki pegawai pajak lebih banyak. Jumlahnya sekitar lebih dari 56.000 pegawai pajak.

Terbatasnya jumlah aparatur pajak ini menyebabkan masih banyak SDM masih terkonsentrasi di unit non-inti atau pendukung. Sedangkan alokasi pada fungsi penggalian potensi perpajakan seperti analisis data, forensik digital, atau intelijen siber masih sangat jauh dari cukup. Kelemahan di sektor ini membuat DJP sulit mengendus dan menindaklanjuti triliunan transaksi digital yang kompleks.

Walau teknologi banyak mereduksi pekerjaan-pekerjaan administratif birokrasi, namun jumlah SDM yang belum ideal sejak awal tersebut masih menyisakan banyak ruang perbaikan.

Ketiga, fleksibilitas birokrasi. Rantai koordinasi yang panjang menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Untuk merumuskan satu kebijakan teknis perpajakan digital, DJP harus melalui serangkaian proses di internal Kementerian Keuangan, lalu berkoordinasi dengan instansi lainnya. Proses yang esensial untuk tata kelola yang baik ini, sayangnya sering kali memakan waktu. Begitu pula saat hendak membentuk unit kerja atau tim khusus yang lincah untuk menangani pajak digital, otoritas pajak harus melewati berbagai prosedur birokrasi yang kaku.

Menjadi Lebih Lincah

Mengejar ketertinggalan memang sebuah keniscayaan. Hanya saja, untuk menghadapi masa depan, sekadar mengejar tidaklah cukup. Otoritas pajak harus bertransformasi menjadi institusi yang lebih kuat, fleksibel, dan adaptif.

Pembentukan unit-unit khusus yang semi-otonom dengan kewenangan dan sumber daya yang memadai untuk menangani sektor ekonomi baru bisa menjadi solusi. Perekrutan dan pengembangan talenta digital harus menjadi prioritas. Selain itu, kerangka regulasi perlu dirancang lebih antisipatif. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis prinsip (principle-based) ketimbang berbasis aturan (rule-based) yang kaku, sehingga dapat mencakup inovasi yang belum muncul sekalipun.

Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan "Bisakah pajak mengejar masa depan?" sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan otoritas pajak untuk berubah. Jika tidak, pajak akan selamanya berlari terengah-engah, tertinggal jauh di belakang realitas zaman.

Elam Sanurihim Ayatuna. Pegawai Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan RI.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads