Fenomena bendera One Piece yang ramai menjelang HUT RI ke-80 memunculkan perdebatan sengit. Ada yang menganggapnya sebagai tanda pemberontakan terhadap simbol negara, ada pula yang membacanya sebagai ekspresi budaya populer anak muda.
Di tengah keramaian ini, menarik untuk melihat satu hal yang jarang dibahas, bahwa nilai-nilai yang dihidupkan dalam cerita One Piece ternyata punya kemiripan dengan sikap dan kebijakan Presiden Prabowo hari ini.
One Piece bukan sekadar kisah bajak laut mencari harta karun. Ceritanya sarat tentang perlawanan terhadap penindasan, keberanian melawan ketidakadilan, dan kesetiaan pada sahabat.
Luffy dan kru Topi Jerami selalu berdiri di pihak rakyat tertindas, melawan pemerintah dunia yang korup dan para bangsawan arogan yang kebal hukum.
Narasi ini dekat dengan perasaan anak muda Indonesia yang muak pada ketidakadilan dan ingin perubahan nyata. Kalau dicermati, ada paralel menarik antara karakter Luffy dan kebijakan yang dibawa Presiden Prabowo.
Program makan bergizi gratis, misalnya, lahir dari ketidakmauan Prabowo melihat rakyatnya kelaparan-sama seperti Luffy yang selalu marah melihat rakyat menderita.
Komitmen Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi dan menutup tambang liar yang merusak lingkungan, juga sejalan dengan spirit One Piece, yaitu melawan sistem busuk dan membela mereka yang lemah.
Upaya pemerintah mengambil kembali lahan sawit dari korporasi gelap pun terasa mirip momen kru Topi Jerami merebut kembali wilayah yang dirampas penguasa zalim dalam cerita anime itu.
Prabowo sendiri dikenal sering mengingatkan publik tentang sejarah, larangan, dan perintah yang lahir dari pengalaman panjang bangsa.
Cara beliau menjelaskan kisah masa lalu dan makna larangan bukan sekadar retorika politik, tapi juga pengingat bahwa setiap kebijakan punya dasar moral dan nilai kebangsaan.
Ini tak beda dengan One Piece yang menyembunyikan kebenaran sejarah "Void Century" sebagai inti perjuangan Luffy dan kawan-kawannya, yaitu menemukan masa lalu untuk menyelamatkan masa depan. Fenomena bendera One Piece tidak bisa dilepaskan dari konteks ini.
Anak muda yang mengibarkan simbol bajak laut itu bukan sedang menolak Merah Putih, tetapi sedang mencari simbol yang mereka rasa mewakili idealisme mereka: kebebasan, keadilan, dan solidaritas.
Ironisnya, tanpa mereka sadari, figur pemimpin mereka hari ini justru memiliki karakteristik yang serupa dengan tokoh yang mereka kagumi.
Presiden Prabowo sedang berjuang membersihkan sisa-sisa kotor di pemerintahan, melawan korupsi, dan memperjuangkan keadilan sosial. Nilai-nilai itu persis yang mereka rayakan di dunia One Piece.
Tentu, Merah Putih tetap sakral dan tak tergantikan. Itu simbol resmi bangsa dan pemersatu kita semua. Namun merespons fenomena ini dengan stigma atau ketakutan berlebihan hanya akan memperlebar jarak antara negara dan generasi mudanya.
Kita perlu bersikap tenang dan jernih, mendengar dulu, memahami keresahan mereka, lalu mengarahkan semangat itu ke gerakan nasionalisme yang kreatif.
Anak muda hari ini bukan anti-negara. Mereka justru sedang mencari cara mencintai negaranya. Mereka ingin simbol yang mereka hormati juga mendengarkan isi hati mereka.
Jika pemerintah bersedia mendengar, rasa kecewa itu bisa berubah menjadi energi positif. Dan energi itu bisa jadi kekuatan besar untuk mendukung agenda besar negara, memberantas korupsi, menutup tambang ilegal, merebut kembali aset negara yang dikuasai korporasi nakal, dan memastikan tak ada lagi rakyat yang kelaparan.
Fenomena bendera One Piece ini bukan ancaman, tapi alarm sosial. Alarm yang mengingatkan kita bahwa nilai keadilan dan kebebasan tidak boleh absen dalam kebijakan negara.
Dalam kisah One Piece, perjuangan Luffy berakhir ketika dunia berubah jadi lebih adil.
Dalam dunia nyata, tugas kita, dan juga Presiden Prabowo sebagai pemimpin, adalah memastikan Merah Putih bukan sekadar berkibar di tiang, tapi juga lahir dari cerita cerita yg terasa di hati mereka yang hari ini memilih bicara lewat simbol bajak laut.
Immanuel Ebenezer. Wamen Ketenagakerjaan RI.
Simak juga Video: One Piece Turut Meriahkan Agustusan
(rdp/rdp)